Jumat, 28 November 2014

Pertaruhan Politik Golkar (Jawa Pos 28 Nopember 2018)

Partai Golkar benar-benar tengah menyajikan drama politik yang panas di panggung politik Indonesia. Perang pernyataan yang saling menegasikan antar dua kubu yang berseberangan antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dengan kubu Presidium Penyelemat Partai yang dikomandani Agung Laksono terus terjadi. Sebelumnya, bentrokan fisik berdarah pun tak terhindarkan lagi. Inilah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya setiap kali Golkar hendak menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Biasanya konflik-konflik antar kader dapat diselesaikan dengan lebih elegan tanpa melibatkan benturan fisik. Tetapi jelang Munas IX yang waktu penyelenggaraannya diperdebatkan oleh kedua kubu didahului oleh bentrokan berdarah yang tentu saja bisa menodai perhelatan politik tersebut. Pertaruhan Politik Apa sesungguhnya yang tengah dipertontonkan oleh aktor-aktor politik di tubuh partai beringin tersebut dan mengapa konflik tersebut tersaji di ruang public sedemikian panas. Dan yang terpenting apakah implikasinya bagi masa depan partai ini setidaknya untuk lima tahun ke depan? Sulit dibantah bahwa konflik yang menimpa tubuh partai beringin tersebut tidak lain karena persoalan rebutan pucuk pimpinan antara Ical dengan rival-rivalnya. Sebagai petahana Ical agaknya masih menyimpan ambisi besar untuk tetap berkuasa. Karena itu, meski banyak suara miring terkait kemampuannya, Ical tetap ngotot maju kembali bahkan melakukan berbagai macam cara untuk mempermudah dirinya meraih kembali kekuasaan termasuk dengan mempercepat munas. Justeru di sinilah letak masalahnya. Dalam pandangan rival-rival Ical, keputusan Golkar mempercepat munas tersebut sebagai bentuk rekayasa Ical dan para loyalisnya agar dirinya terpilih kembali dan sekaligus dapat mempersempit ruang gerak pesaingnya untuk bermanuver. Padahal sebelumnya kubu Ical selalu menolak upaya untuk mempercepat munas dan tetap bersikukuh mengikuti keputusan Munas Riau. Tetapi kenyataannya sekarang berbalik. Inilah yang membuat para pesaingnya meradang sehingga konflik pun tak dapat dihindari lagi. Seyogianya Ical mau berintrospeksi diri terkait kepemimpinannya selama lima tahun ini. Golkar di bawah kendalinya lebih banyak menampilkan kegagalan ketimbang keberhasilan. Di level legislatif, perolehan suaranya menurun dari 107 kursi pada 2009 menjadi hanya 91 kursi pada 2014. Memang di beberapa daerah Golkar berhasil menguasai DPRD, tetapi kalau dicermati secara mendalam, hal itu bukan karena faktor Ical seperti yang diklaim para loyalisnya, melainkan karena mesin partai dan infrastrukturnya yang berjalan dan paling modern dari semua partai. Di level eksekutif nasib partai beringin lebih menyedihkan lagi. Ical yang dicapreskan Golkar sejak jauh-jauh hari dan dikampanyekan secara masif melebihi capres-capres lainnya malah gagal total. Tidak ada satu pun tokoh yang bersedia mendampingi Ical untuk menjadi cawapresnya. Bahkan ketika Ical bersedia menurunkan penawaran dirinya untuk hanya menjadi cawapres bagi capres lainnya, ternyata juga tak laku. Ironis sekali, seorang capres dari partai besar tersisih dari bursa kepemimpinan nasional bahkan sebelum gelanggang pertempuran dimulai. Dengan kenyataan menyedihkan yang menimpa Golkar tersebut pantas kalau kemudian banyak elemen di tubuh partai beringin yang menginginkan regenerasi kepemimpinan terutama di kalangan kader-kader muda. Namun, karena keinginan mereka secara kasat mata dihadang kaum loyalis Ical meski dengan dalih konstitusi partai, maka hal itu telah menjadi ledakan ketidakpuasan yang sangat kuat. Sebenarnya jika situasi ini tetap berlangsung demikian akan sangat membahayakan bagi Golkar sebagai institusi paling tidak untuk lima tahun ke depan. Ada banyak hal yang dipertaruhkan di sana. Pertama, besar kemungkinan Golkar akan semakin loyo di masa mendatang. Dengan minimnya prestasi, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, Golkar di bawah pimpinan Ical, partai ini diyakini akan semakin sulit bersaing. Apalagi pada Pemilu 2019 nanti pemilu akan dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan anggota legislatif. Kedua, Jika konflik yang sudah semakin panas ini tidak segera dicarikan jalan keluarnya, bukan tidak mungkin akan berakhir dengan perpecahan. Masih kental dalam ingatan kita, Prabowo Subianto pernah tersingkir dari persaingan merebutkan pucuk pimpinan partai beringin kemudian keluar dan mendirikan Gerindra. Demikian pula Surya Paloh mengalami hal yang sama dan kemudian ia mendirikan Nasdem. Bukan tidak mungkin hal yang seperti itu bisa terjadi kembali. Ketiga, cara-cara mempertahankan kekuasaan secara tidak fair dan tidak demokratis seperti yang dipertontonkan kubu Ical jelas akan memberikan citra yang buruk terhadap Golkar di mata publik. Ical dianggap hanya mementingkan kekuasaan dirinya dan kelompoknya saja. Karena itu, Golkar bisa kehilangan momentum penting dari Munas IX untuk menata kembali eksistensi kepartaiannya seraya melakukan refleksi ke depan bagi Golkar. Dengan demikian, kekisruhan pertaruhan yang tengah melanda partai beringin tersebut memiliki implikasi politik yang sangat merugikan. Meskipun Golkar memiliki aktor-aktor politik yang sangat berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti ini, tetapi tidak ada jaminan mereka akan berhasil. Karena itu, apa yang tengah dipertontonkan Golkar tersebut akan menjadi pertaruhan politik di masa mendatang. *Penulis, Staf Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.