Jumat, 26 September 2014

Dramaturgi SBY dan RUU Pilkada

Palu sudah diketok. Sidang Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada yang berlangsung selama kurang lebih dua puluh empat jam itu selesai. Sorak sorai fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Gerindra demikian membahana begitu opsi pilkada tidak langsung atau melalui DPRD muncul sebagai pemenang dengan voting. Sebanyak 226 suara mendukung pilkada tidak langsung dan hanya 135 suara yang mendukung pilkada langsung. Dramaturgi SBY Voting yang menghasilkan kemenangan opsi pilkada tidak langsung diwarnai oleh drama keluarnya (walk out) fraksi Demokrat dari sidang paripurna. Sebelumnya partai yang berlambang mercy tersebut mengajukan 10 syarat untuk penyelenggaraan pilkada secara langsung. Tetapi karena persyaratan tersebut tidak diterima, fraksi Demokrat akhirnya memilih untuk bersikap netral atau tidak ikut terlibat dalam voting. Satu hal yang menarik dicermati adalah sikap fraksi Demokrat yang seolah berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Seperti diketahui, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat kerap menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung di berbagai kesempatan. Ia tidak ragu untuk menegaskan bahwa pilkada langsung sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang harus terus dijaga. Namun demikian, fakta yang terlihat secara gamblang di rapat paripurna ternyata tidak seperti itu. Apakah SBY tidak dapat mengendalikan anggota-anggotanya yang berada di fraksi Demokrat sehingga seolah-olah tidak mendengar sikapnya selama ini? Boleh jadi asumsi tersebut benar jika melihat bahwa di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu terdapat faksi yang tidak selalu sejalan dengan SBY. Tetapi, hemat penulis, apa yang dilakukan fraksi Demokrat tersebut sebenarnya atas sepengetahuan SBY sendiri. Dengan kata lain, SBY memang merestui sikap fraksi Demokrat untuk walk out dari paripurna. Sulit dimungkiri bahwa hal itu merupakan skenario yang memang telah dirancang sejak awal. Di awal-awal Demokrat seolah-olah memberikan harapan pada PDIP sebagai motor pendukung pilkada langsung, tetapi kemudian berbalik menghantamnya di saat-saat akhir. Dari pengajuan 10 syarat oleh fraksi Demokrat sebenarnya dapat dibaca dengan jelas bahwa partai biru tersebut tengah memainkan peran dalam sebuah drama politik yang canggih. Pasalnya persyaratan tersebut jelas tidak mungkin diterima oleh forum paripurna karena konstelasinya berpihak pada koalisi KMP dan hal ini sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Demokrat. Tentu Demokrat kemudian menjadikan penolakan paripurna atas persyaratan yang diajukannya itu sebagai alasan untuk walk out sehingga seolah-olah aksinya itu bukan karena menolak pilkada langsung. Dari perspektif dramaturgi Erving Goffman (1955), apa yang dilakukan SBY dan fraksi Demokrat tersebut dapat dijelaskan dengan tepat. Dukungan SBY dan juga fraksi Demokrat di awal terhadap pilkada langsung tampaknya merupakan permainan peran di panggung depan (fronts stage) belaka. Hal ini tentu saja dilakukan dalam rangka pengelolaan kesan (management of impression) mereka sehingga publik menilai seolah-olah mereka berpihak pada kedaulatan rakyat. Tetapi di panggung belakang (back stage) boleh jadi SBY dan fraksi Demokrat memainkan peran yang sama sekali berbeda dengan panggung depan. Panggung belakang yang tidak terlihat oleh publik memang sangat mungkin dijadikan tempat untuk melakukan hal tersebut. Ibarat aktor-aktor film yang memainkan peran-peran heroik di filmnya, setelah melepaskan peran itu dan kembali dalam kehidupan nyata, perilakunya kadang malah berseberangan. Bad Ending Story Bagi Demokrat dan terutama SBY, sikap politiknya tersebut mungkin saja akan menjadi akhir cerita yang buruk (bad ending story) bagi pemerintahannya. SBY yang merupakan produk pertama dari pemilihan langsung oleh rakyat justeru menjadi orang yang juga mengakhiri proses pemilihan yang mengedepankan kedaulatan rakyat tersebut. Jelas hal ini merupakan sesuatu yang sangat ironis apalagi jika melihat pernyataan-pernyataannya yang selama ini seolah mendukung kedaulatan rakyat. Alih-alih mendapatkan citra yang baik dari publik dengan sikap politiknya itu, SBY justeru tengah mendegradasikan citranya tersebut. Ia, misalnya, akan makin dipandang publik sebagai orang yang benar-benar tidak konsisten atau plin plan seperti yang dikerap disematkan orang kepadanya. Banyak kasus yang memperlihatkan keplinplanan sikapnya selama ini, dan ketidakkonsistenannya atas dukungan pilkada langsung kian menambah daftar panjang sikapnya itu. Entah disadari SBY atau tidak, sikap politiknya terhadap RUU Pilkada seperti disebutkan di atas boleh jadi akan menjadi sejarah yang akan dicatat oleh tinta buruk dalam politik Indonesia. Betapa tidak, reformasi yang telah melahirkan semangat kebebasan sipil dan memanifestasikan kedaulatan rakyat dalam berbagai bentuknya antara lain pilkada langsung, kini pelan-pelan mulai berakhir. Bukan tidak mungkin, dari pilkada langsung akan bergeser ke yang lainnya, sehingga satu demi satu kedaulatan rakyat akan terampas kembali seperti era sebelumnya. Padahal SBY sebenarnya bisa mengakhiri masa pemerintahannya selama dua periode itu dengan akhir cerita yang menyenangkan (happy ending story). Andai saja ia mau mengendalikan semua anggota fraksi Demokrat untuk tetap konsisten mendukung pilkada langsung, bukan sekadar pencitraan, tentu konstelasi politik juga berubah, karena suara partai penguasa itu saat ini bisa mengubah peta politik di DPR. Sangat mungkin opsi pilkada langsung akan menang dalam voting. Jika ini yang terjadi, bukan saja opsi yang mengusung kedaulatan rakyat tersebut akan menang di paripurna, melainkan juga akan mengangkat citra SBY dan Demokrat sendiri. Bagi SBY sebagai presiden, pastilah hal tersebut akan diapresiasi sangat tinggi oleh publik dan pada akhirnya masa pemerintahan SBY akan dicatat oleh tinta emas dalam sejarah politik Indonesia. Tetapi sayang, SBY tidak melakukan itu. *Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy renInstitute

Rabu, 10 September 2014

Aroma & Manuver Politik RUU Pilkada (Pikiran Rakyat, 8 September 2014)

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang sejak masa reformasi dilakukan secara langsung kini terancam nasibnya. Hal ini terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sebentar lagi akan disahkan di DPR. Poin paling kontroversial dari RUU tersebut adalah usulan agar pilkada tidak diselenggarakan secara langsung, tetapi dikembalikan lagi ke DPRD seperti pada masa-masa sebelumnya. Sejumlah fraksi di DPR tampaknya memberikan dukungan penuh terhadap keinginan untuk mengembalikan pilkada pada DPRD, bahkan ada yang bersuara dengan cukup lantang. Hal ini, misalnya, terlihat dari sikap fraksi Gerindra dan Golkar seperti yang diungkapkan oleh sejumlah elitenya dalam beberapa kesempatan. Fraksi-fraksi lain pun, meski tidak sekencang kedua partai di atas, agaknya banyak yang mendukung pula. Dukungan sejumlah frkasi atas usulan pelaksanaan pilkada oleh DPRD sebenarnya sangat mengherankan bagi publik. Pasalnya selama ini hampir semua fraksi di DPR tidak pernah terdengar memberikan dukungan terhadap usulan itu. Meskipun ada masukan dari beberapa elemen masyarakat bahwa pilkada secara langsung kerap menimbulkan konflik, kerusuhan dan sebagainya, tetapi mereka tetap berpendapat pilkada secara langsung jauh lebih baik. Lalu mengapa sekarang fraksi-fraksi, terutama Gerindra dan Golkar tiba-tiba berbalik mendukung pengembalian pilkada de DPRD? Hal ini agaknya terkait dengan perolehan suara kedua partai ini di berbagai daerah yang cukup dominan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) kemarin. Tentu saja dengan kondisi tersebut, kedua partai yang berasal dari koalisi yang sama itu sama-sama diuntungkan. Dengan demikian, dukungan fraksi-fraksi di DPR lebih merupakan manuver politik belaka, terutama yang dimainkan oleh Gerindra dan Golkar. Jika RUU Pilkada ini kemudian disahkan, maka besar kemungkinan kepala-kepala daerah lebih banyak yang berasal keduanya, dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan politik yang bisa diandalkan di kemudian hari. Selain itu, ada hal lain yang menarik dari rencana pengesahan RUU Pilkada di DPR, yakni keterbelahan fraksi-fraksi. Tampaknya pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres) yang belum lama selesai masih terlihat cukup jelas. Seperti diketahui, ada dua koalisi besar pada pilpres kemarin, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Koalisi Gotong Royong (KGR) yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kini dalam sikapnya terhadap RUU Pilkada keterbelahan fraksi-fraksi di DPR tampak dengan jelas. Fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, Golkar, PKS dan PPP memberikan dukungan atas RUU tersebut. Sebaliknya, fraksi-fraksi yang berasal dari Koalisi Gotong royong seperti PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura menyatakan penolakan atas RUU dan menghendaki agar pilkada dilaksanakan secara langsung. Menurut hemat penulis, sangatlah disayangkan jika sikap fraksi-fraksi tersebut terhadap RUU Pilkada lebih didasarkan pada sentimen koalisi ketimbang pada pertimbangan substansi. Hanya karena solidaritas antar sesama anggota koalisi lalu mereka menyuarakan hal yang sama, meski sebenarnya tidak setuju, tentu bukanlah sikap politik cerdas dalam konteks ini. Masalahnya adalah RUU Pilkada tersebut tidak mendapatkan dukungan publik secara luas. Diyakini bahwa publik akan tetap memberikan dukungan jika pilkada dilaksanakan secara langsung. Bagi publik justeru dalam pilkada langsunglah partisipasi politik mereka benar-benar dapat diterapkan. Jika pilkada dikembalikan ke DPRD mereka hanya akan menjadi penonton. Dengan demikian, hak politik mereka seolah-olah direnggut oleh anggota legislatif. Oleh karena itu, sikap fraksi-fraksi yang mendukung pilkada dikembalikan ke DPRD, apalagi hanya karena solidaritas koalisi justeru tidak akan menguntungkan secara politik di masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin publik akan memandang partai-partai tersebut sebagai tidak reformis. Golkar, misalnya, yang memiliki slogan “suara Golkar suara rakyat” jelas akan dicibir publik karena sikapnya justeru bertentangan dengan slogannya itu. Dengan demikian, fraksi-fraksi yang mendukung pengembalian pilkada ke DPRD hanya berpikir dalam kerangka kepentingan praktis pragmatis saja, yakni memperkuat barisan kekuasaan di daerah. Sementara mereka mengabaikan satu hal, bahwa sikapnya itu justeru bisa menjadi semacam investasi politik yang buruk dalam jangka panjang bagi masa depan partainya. Publik tentu akan mencatat dalam ingatan mereka tentang sikap politik partai tersebut.

Oposisi Juga Seksi (Koran Sindo 27 Agustus 2014)

Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang dilayangkan Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait dengan masalah ini banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana masa depan koalisi merah putih yang beranggotakan partai-partai politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur untuk masuk ke dalam kekuasaan? Kekuasaan yang Menggoda Bukan tidak mungkin sebagian anggota koalisi merah putih akan berpindah haluan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, tetapi sejumlah elite partai ini banyak yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai anggota koalisi merah putih lainnya mulai melakukan manuver. Golkar, misalnya, bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari koalisi merah putih. Hal yang sama juga kini tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar biasa. Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di luar, mereka seoalah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Hal ini diperparah dengan kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memeroleh apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how). Akibatnya, mereka lebih memilih untuk berada di dalam kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil resiko untuk berada di luar kekuasaan. Oposisi, Mengapa Tidak? Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk kesewenangan lainnya. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di negeri ini pada masa Orba. Kekuatan penyeimbang tdak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota koalisi merah putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis, oposisi sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik .Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar besar kemungkinan oposisi akan menjadi investasi politik di masa-masa yang akan datang. Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti. Demikianlah kita, misalnya, menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode berikutnya. Oleh karena itu, publik sangat berharap anggota koalisi merah putih seperti Gerindra, PKS dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota koalisi merah putih lainnya, untuk konsisten memainkan peran oposisi paling tidak selama tahun ke depan. Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada hal-hal berikut. Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, melainkan harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai oposisi pada saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik. Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain, partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justeru akan menimbulkan antipati publik. Hal ini malah membahayakan bagi partai-partai itu sendiri. Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang oleh rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki reformasi oposisi mulai muncul, meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada dua periode pemerintahan kemarin, misalnya, PDIP telah memainkan peran oposisi dengan cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka, sangat tepat kalau Gerindra , PKS dan partai anggota koalisi merah putih lainnya juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan menempuh jalur oposisi. Di masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih bergantinya kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini, sebaliknya ia justeru merupakan isu seksi yang mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Maka, sekali lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi.

Menolak Rangkap Jabatan (Pikiran Rakyat 12 Agustus 2014)

Keinginan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar menteri-menteri yang berasal dari kalangan partai politik (parpol) untuk melepaskan jabatannya di parpol patut diapresiasi. Hal itu semata-mata agar para menteri tersebut dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada tugas-tugas kementerian tanpa terbebani oleh kepentingan-kepentingan parpol. Publik jelas memandang keinginan Jokowi tersebut sebagai sebuah langkah maju, pasalnya hal itu, meski kerap diangkat ke publik, tetapi hanya berhenti menjadi wacana tanpa pernah diwujudkan dalam kenyataan. Sementara parpol-parpol pendukung Jokowi di pilpres kemarin tidak seragam menyikapinya. Nasdem dan Hanura secara tegas mendukung, tetapi PKB menolak. Meskipun kemungkinan besar keinginan Jokowi tersebut tidak mudah dilaksanakan karena masih ada ketidaksepakatan di kalangan parpol pendukungnya, tetapi tampaknya Jokowi akan didukung sepenuhnya oleh publik. Ini artinya, kalau PKB tetap keukeuh dengan sikapnya, bukan tidak mungkin parpol ini akan mendapatkan perlawanan publik. Tentu saja hal tersebut tidak akan menguntungkan secara politik bagi parpol pimpinan Muhaimin Iskadar itu. Bahaya Rangkap Jabatan Mengapa gagasan seorang menteri agar melepaskan jabatannya di parpol mesti didukung sepenuhnya? Pada kenyataannya, perangkapan jabatan di kementerian dan parpol dalam praktik pemerintahan Indonesia selama ini justeru lebih banyak menimbulkan sisi yang negatif. Setidaknya, ada tiga sisi negatif dari perangkapan jabatan tersebut. Pertama, kencenderungan untuk penyalahgunaan jabatan (abuse of power) jika seorang menteri merangkap jabatan dengan di parpol. Kenyataan yang terjadi dalam politik Indonesia memperlihatkan dengan jelas betapa kasus-kasus penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, misalnya, selalu berkaitan atau malah bersumber pada parpol. Dengan kata lain, parpollah yang justeru menjadi muara korupsi tersebut. Dalam situasi yang sedemikian rupa menteri-menteri yang berasal dari parpol alih-alih membentengi kementeriannya dari kencenderungan korupsi justeru malah menjadi pelakunya. Dalam konteks ini, seringkali seorang menteri menggunakan berbagai fasilitas negara padahal tujuannya bukan untuk kepentingan negara, melainkan parpolnya. Hal ini bisa dilakukan dengan dalih kunjungan kerja, pemberian bantuan sosial dan sejenisnya. Maka, konflik kepentingan (conflict of interest) tidak dapat dihindari lagi. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa kementerian-kementerian yang dipimpin oleh menteri yang berasal dari parpol kerap menjadi “sapi perahan” atau “Anjungan Tunai Mandiri/ATM” bagi parpol terkait. Tidak heran kalau sebuah pos kementerian dipimpin kader Partai A, maka kebijakan-kebijakannya akan selalu menguntungkan partai tersebut. Berbagai cara atau strategi pun dilakukan sang menteri agar aliran dana ke kas partainya terus berlangsung. Kasus korupsi yang melibatkan dua parpol pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediona, yakni Demokrat dan PKS secara gamblang menunjukkan kecenderungan tersebut. Yang pertama terkait dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dipimpin kader Demokrat, sedangkan yang kedua terkait dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin kader PKS. Ketiga, seyogianya saat seseorang ditunjuk menjadi menteri, ia tidak lagi mereprsentasikan lembaga atau organisasi dari mana ia berasal. Sepenuhnya ia sudah menjadi abdi negara yang bekerja hanya untuk kepentingan negara, bukan dirinya atau kelompoknya. Karena itu, ia dituntut untuk dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada pekerjaannya sebagai menteri. Konsekwensinya, ia harus melepaskan atribut kepartaiannya. Sementara kalau masih merangkap jabatan di partai, tentu menteri akan terpecah konsentrasinya sehingga pekerjaannya tidak biaa optimal. Bagaimanapun, ia masih harus memikikirkan pula kepentingan partainya. Apalagi kalau sudah mendekati waktu pemilu berikutnya, menteri akan selalu disibukkan dengan urusan-urusan partainya seperti sosialisasi, kampanye dan lain-lain sehingga kerap mengabaikan pekerjaannya sebagai menteri. Dari beberapa kecenderungan sisi negatif di atas, sudah saatnya praktik rangkap jabatan menteri dalam politik Indonesia ditinggalkan. Kita sangat berharap jika pos-pos kementerian dibentengi atau dibebaskan dari atribut-atribut parpol, potensi penyalahgunaan kekuasaan seperi korupsi dapat diminimalisasi atau bahkan diberantas sama sekali. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung keinginan Jokowi agar para menteri yang berasal dari parpol bersedia melepaskan jabatan di parpolnya. Kita pun sebagai publik, apapun preferensi politik kita pada saat pilpres kemarin, sangat berharap kabinet yang akan dipimpin duet Jokowi-Jusuf Kalla (JK) nanti benar-benar merepresentasikan kabinet profesional atau yang sering disebut dengan zaken cabinet.