Sabtu, 09 Agustus 2014

ISIS dan Romantisme Khilafah (Suara Pembaruan Sabtu, 9 Agustus 2014)

ISIS dan Romantisme Khilafah Iding R. Hasan* Fenomena gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ternyata kian mengkhawatirkan. Dukungan terhadap kelompok ekstremis ini tampaknya cenderung meluas di kalangan masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Bahkan sekarang mereka sudah berani secara terang-terangan mendeklarasikannya di negeri ini, dan mengklaim sebagai bagian dari gerakan yang lahir dari Timur Tengah tersebut. Mereka juga agaknya aktif merekrut pengikut-pengikut baru terutama kalangan anak-anak muda. Salah satu daya tarik ISIS di kalangan masyarakat Islam Indonesia adalah tujuannya untuk mendirikan khilafah Islamiyah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu saja banyak orang Islam Indonesia yang merasa terwakili oleh yang ditawarkan ISIS tersebut sehingga kemudian mereka memberikan dukungan sepenuhnya. Tidak heran kalau para pengikutnya di sini setiap hari semakin bertambah. Karena itu, jika tidak segera dibandung, ia akan terus berkembang. Romantisme Sejarah Khilafah Islamiyah di kalangan umat Islam memang dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting untuk kepentingan Islam. Tetapi persoalannya adalah apakah keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah di negeri Indonesia merupakan langkah yang tepat? Apakah semata-mata karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dapat dijadikan argumentasi yang kuat untuk mendukung keinginan tersebut? Kalau dilihat dari tipologi gerakan-gerakan radikal Islam yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah, pada umumnya tampak memiliki pola yang sama. Mereka, meminjam istilah Ernest Bormann, pencetus teori konvergensi simbolik, memiliki dan berbagi tema-tema fantasi (fantacy themes) yang sama, bahwa khilafah merupakan pemerintahan paling ideal yang telah ditetapkan Allah Swt; dan bahwa keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat direalisasikan di bawah pemerintahan khilafah tersebut. Dalam pandangan mereka, berbagai praktik penyelewengan umat manusia selama ini seperti ketidakadilan, kesenjangan antara kaya dan miskin, diskriminasi dan sebagainya merupakan akibat dari pemerintahan sekarang yang tidak mau tunduk pada aturan Tuhan atau sesuai bahasa mereka, tidak mau menerapkan khilafah. Itulah yang mereka sebuat sebagai pemerintahan thaghut, yakni pemerintahan kaum kafir yang kejam, despotik atau sewenang-wenang pada rakyatnya. Sayangnya, mereka agaknya tidak memahami bahwa segala urusan duniawi, termasuk masalah pemerintahan (khilafah) bersifat kontekstual. Artinya, ia boleh jadi merupakan pilihan tepat, tetapi hanya berlaku untuk ukuran saat itu. Sedangkan di saat yang lain belum tentu tepat jika diterapkan. Tidak bisa orang kemudian menggeneralisasi sedemikian rupa bahwa sebuah sistem akan berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Khilafah pada masa Nabi dan khalifah-khalifahnya memang sangat layak diterapkan. Ketika itu Islam tengah menguasai dunia bahkan sampai tembus ke belahan Eropa seperti Spanyol, Italia dan sebagainya. Selain itu, pemerintahan pusat di Madinah juga secara tegas menyebutkan dirinya sebagai negara Islam. Karena itu, tidak akan ada pihak yang berani menghalangi pembentukan khilafah. Situasi di Indonesia tentu saja sangat berbeda. Benar bahwa mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi dasar negaranya adalah Pancasila dengan prinsip bhineka tunggal ika. Oleh karena itu, tidak boleh bagi pengikut sebuah agama, sekalipun jumlahnya mayoritas, menuntut untuk menerapkan sistem (pemerintahan) yang sesuai dengan agamanya saja. Sebaliknya, mereka mesti mau bertoleransi terhadap pengikut agama-agama lain, karena hanya dengan toleransilah ikatan kemajemukan sebuah bangsa akan kuat dan kokoh. Dengan demikian, jika ada kelompok yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia, termasuk oleh ISIS, apalagi dengan menghalkan penggunaan kekerasan, jelas hal itu merupakan tindakan a-historis dan mencermin ketidakpahamannya akan konteks masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Sama sekali tidak ada argumentasi yang kuat, dari sudut pandang manapun, untuk melakukan hal tersebut. Atau dengan kata lain mereka sebenarnya hanyalah sedang berasyik ma’syuk dengan romantisme sejarah kegemilangan Islam di masa lalu seraya menutup mata akan realitas umat Islam kekinian di Indonesia. Dekonstruksi Gerakan ISIS dan gerakan-gerakan radikal Islam lainnya umumnya memiliki doktrin serupa yang mendorong, untuk tidak mengatakan memaksa, mereka berani melakukan tindakan-tindakan yang tidak toleran, penuh kekerasan dan sebagainya. Di antara doktrin-doktrin yang kerap kita dengar adalah takfiri (mengkafirkan pihak yang berlainan agama atau yang dianggap musuhnya) dan jihad fi sabilillah (berjuang dengan mengkat senjata di jalan Allah). Konstruksi pemahaman mereka atas dua doktrin di atas sebenarnya keliru dari sudut Islam yang diajarkan oleh Nabi sendiri. Karena itu, perlu ada upaya dekonstruksi terhadap doktrin tersebut. Tetapi setelahnya harus pula disertai dengan rekonstruksi sehingga bisa meluruskan kekeliruan itu. Doktrin takfiri, misalnya, tidak lagi relevan untuk saat ini apalagi di Indonesia. Dikotomi "muslim" dan "kafir" menjadi ambigu jika dikaitkan dengan masyarakat kita sekarang ini. Siapakah di antara mereka yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam kelompok kafir dzimmi dan harbi, tentu sulit sekali dibedakan. Kata kafir sendiri sebenarnya memiliki makna yang tidak tungggal. Kafir tidak semata-mata diartikan sebagai non muslim. Dalam konteks ini, interpretasi yang dilakukan ulama NU bahwa kafir bisa diterapkan untuk koruptor sangat menarik dan lebih relevan untuk sekarang. Dilihat dari arti harfiah kafir sebagai orang yang inkar, interpretasi tersebut sangat tepat. Tentu saja akan ada dukungan besar jika ISIS melancarkan serangan takfirinya pada para koruptor. Mengenai doktrin jihad, kaum radikal juga sudah sangat keliru dalam penerapannya. Berjuang mengangkat senjata, yang kerap didengungkan mereka, bahkan oleh Nabi sendiri dianggap sebagai "jihad kecil." Jihad yang benar adalah bersungguh-sungguh dan berusaha keras dalam suatu hal seperti dalam menuntut ilmu, mencari rizki dan sebainya. Mati dalam usaha tersebut justeru dianggap mati syahid dan dijanjikan surga oleh Tuhan. Dengan demikian, rekonstruksi atas pemahaman kaum radikal yang keliru tersebut harus terus dilakukan sehingga penyebaran ISIS sedikit banyak dapat ditangkal. Dalam konteks ini, para ulama sebagai pemuka pendapat (opinion leader) diharapkan dapat memainkan perannya dengan menyebarkan pemahaman tersebut ke tengah-tengah masyarakat, khususnya kalangan anak muda sehingga tidak mudah terbujuk rayuan ISIS. Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta