Selasa, 15 April 2014

Menggagas Koalisi Sederhana (Pikiran Rakyat, 16/04/14)

Menggagas Koalisi Sederhana Iding R. Hasan* Setelah Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 usai digelar kini fokus perhatian partai-partai politik (parpol) bergeser ke penjajakan koalisi antar satu dengan lainnya. Tidak adanya parpol yang dominan atau memenuhi syarat pengusulan pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) secara sendiri membuat koalisi menjadi pilihan mutlak. Berbagai kalkulasi politik coba dibuat oleh sejumlah kalangan terkait koalisi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang pemilu, meski masih menunggu keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU, membuat koalisi besar. Argumentasinya bukan hanya sekadar mempermudah jalan capresnya, yaitu Joko Widodo (Jokowi) menuju kursi Presiden RI, tetapi juga supaya bisa menguasai parlemen secara dominan. Sebagian lain berpandangan bahwa PDIP tidak perlu membuat koalisi besar. Dengan raihan suara yang hampir menyentuh level 20 persen versi hitung cepat (quick count) sebenarnya partai kepala banteng tersebut tidak perlu repot-repot membuat koalisi besar. Cukup dengan mengajak satu atau dua parpol langkah PDIP tidak akan mengalami kesulitan. Pertimbangan Ideologis Koalisi antar parpol dalam sebuah sistem politik biasanya didasarkan pada tiga pertimbangan: ideologis, strategis dan taktis. Namun dalam praktiknya, terutama dalam politik Indonesia, kecenderungan koalisi lebih banyak didasarkan pada pertimbangan strategis dan taktis. Pertimbangan ideologis justeru kerapkali terabaikan kalau tidak dibuang sama sekali. Kecenderungan tersebut tampaknya tidak lepas dari orientasi pragmatis dari hampir setiap parpol di Indonesia. Bahwa politik semata-mata dipahami sebagai, meminjam ungkapan Harold D. Lasswell siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how). Masuk ke dalam dunia politik tanpa mendapatkan kekuasaan dianggap sia-sia belaka. Akibatnya, bagi-bagi kekuasaan menjadi tujuan utama dari koalisi seperti itu. Itulah fenomena koalisi antar parpol di Indonesia. Contoh paling nyata adalah koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) di parlemen. Tidak ada pertimbangan ideologis di sana, kecuali pertimbangan strategis dan taktis sebagai cerminan dari pragmatisme politik. Kekuasaan Demokrat sebagai pemimpin koalisi berlangsung aman dan parpol-parpol anggotanya mendapatkan kue kekuasaan. Sayangnya koalisi tambun yang hanya didasarkan pada orientasi pragmatisme politik memang sangat rapuh sehingga mudah sekali terjadi perpecahan. Demikianlah dalam perjalanannya kerap terjadi saling serang antar parpol anggota Setgab. Jelas hal tersebut tidak kondusif bagi jalannya pemerintahan SBY-Boediona seperti yang sering kita saksikan. Koalisi Sederhana Menurut hemat penulis, lebih baik bagi PDIP untuk membuat koalisi sederhana dengan hanya menggandeng dua parpol saja. Pertimbangan ideologis mesti menjadi dasar utama pembentukan koalisi tersebut, baru setelah itu pertimbangan strategis dan taktis. Kedua pertimbangan ini juga penting terkait dengan mekanisme dan berjalannya koalisi nanti. Di antara parpol-parpol yang tepat digandeng PDIP adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Keduanya memiliki basis ideologis yang sama dengan PDIP yaitu nasionalis. PKB meskipun sering diklaim sebagai partai Islam atau berbasis massa Islam karena identik dengan NU tetapi sebenarnya merupakan partai nasionalis. Selain itu, secara historis PKB dan warga nahdliyin secara umum relatif lebih dekat dengan PDIP, berbeda dengan PPP, PAN, PKS dan PBB. PKB juga termasuk anggota koalisi yang paling patuh dibandingkan dengan anggota lainnya seperti yang terlihat di Setgab kemarin. Sementara Nasdem jelas berada di sayap yang sama dengan PDIP selain juga kedekatan elite antar keduanya relatif baik, yakni antara Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh. Meskipun partai pendatang baru tetapi suara Nasdem cukup bagus yakni di kisaran 6 persen.bahkan mampu mengalahkan partai lama Hanura yang hanya berada di kisaran 5 persen. Dari perspektif di atas agaknya cukup tepat kalau PDIP menggandeng PKB dan Nasdem untuk koalisi untuk menyongsong pemerintahan Indonesia ke depan. Meskipun jumlah suara ketiganya tidak menjadi mayoritas mutlak, yakni sekira 35 persen, tetapi peluangnya untuk menang pada Pilpres Juli 2014 cukup besar. Apalagi karakteristik pilpres berbeda dengan pileg. Pada pilpres kekuatan figur jauh lebih dominan. Boleh jadi efek Jokowi yang banyak dipertanyakan pada pileg kemarin justeru pada pilpres akan lebih terasa. Logikanya banyak pemilih yang suka pada figur (Jokowi) tetapi tidak suka pada partainya (PDIP. Dengan demikian, koalisi sederhana sudah cukup mampu mengamankan PDIP untuk menjadi partai penguasa setidaknya untuk periode 2014-2019. PDIP akan fokus mengelola negara karena koalisi sederhana relatif lebih solid dan tidak rentan dengan konflik internal. *Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Jumat, 11 April 2014

Peluang Poros Islam (Republika, 12 April 2014)

Peluang Poros Islam Iding R. Hasan* Ada satu kenyataan yang menarik dari gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 yang baru saja selesai, yakni naiknya perolehan suara partai-partai politik (parpol) Islam. Hal ini menurut hasil sementara baik berdasarkan hitung cepat (quick count) maupun exit poll dari sejumlah lembaga survei. Menurut exit poll dari Indonesia Research Center, misalnya, diketahui bahwa di antara parpol-parpol Islam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh suara tertinggi, yakni 9,50 persen. Disusul kemudian oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,11 persen; Partai Amanat Nasional (PAN) 7,07 persen; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6,81 persen dan Partai Bulan Bintang (PBB) 1,61 persen. Perolehan suara parpol-parpol Islam tersebut ternyata berbeda dengan prediksi hasil jajak pendapat dari beberapa lembaga survei yang dilakukan sebelum pileg. Umumnya hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa parpol-parpol Islam akan jeblok pada Pileg 2014. Menrut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2013, perolehan suara parpol Islam semuanya berada di bawah angka 5 persen PKB (4,5 persen), PPP (4 persen), PAN (4 persen dan PKS (3,7 persen). Terlepas dari apakah naiknya perolehan suara parpol-parpol Islam tersebut akibat mendapatkan limpahan suara dari Partai Demokrat yang pada pemilu kali ini mengalami kemerosotan tajam atau karena faktor-faktor lainnya, satu hal yang pasti bahwa kini parpol-parpol Islam seolah-olah mendapatkan energi baru dengan kenaikan perolehan suara tersebut. Poros Islam Jilid Dua Mungkinkah peningkatan suara parpol-parpol Islam di Pileg 2014 akan membuka kembali peluang munculnya poros Islam? Beberapa waktu lalu sempat mengemuka usulan tersebut yang dilemparkan oleh PKS, tetapi ternyata tidak mendapatkan respons tinggi dari parpol-parpol Islam lainnya. Namun dengan kenyataan yang ada sekarang bukan tidak mungkin parpol-parpol Islam tersebut bersedia membuka pintu kembali bagi gagasan poros Islam jilid dua. Peluang tersebut memiliki potensi cukup besar kalau dilihat misalnya dari segi kuantitas jumlah suara. Jika keseluruhan suara parpol Islam hasil pileg kemarin digabungkan, maka jumlahnya bisa mencapai kurang lebih 30 persen. Jelas angka tersebut bukan jumlah yang kecil dan sudah lebih dari cukup untuk memunculkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sendiri. Barangkali satu-satunya kendali besar bagi munculnya poros Islam jilid dua adalah persoalan traumatis yang masih dirasakan oleh PKB. Sebagaimana diketahui bahwa poros Islam yang dipelopori Amien Rais, Ketua Umum MPR ketika itu, mendesak pemakzulan terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2001 padahal poros Islam pulalah yang mendukung naiknya Gus Dur ke kursi Presiden RI pada 1999. Tetapi dalam politik segala sesuatu bisa terjadi. Seperti adagium yang sangat terkenal dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan itu sendiri. Maka, PKB bisa saja mengubah sikapnya terhadap gagasan poros Islam jika dilakukan negosiasi di antara elite-elite parpol Islam. Kepentingan Bersama Satu kecenderungan yang menurut hemat penulis memungkinkan terjadinya poros Islam untuk saat ini adalah perolehan suara PKB yang tertinggi di antara parpol-parpol Islam lainnya. Hal ini jelas membuat posisi tawar rumah politik warga Nahdliyyin tersebut lebih tinggi. Dengan kata lain, partai ini bisa menjadi pemimpin poros Islam jilid kedua nanti. Dalam konteks ini, PKB tentu memiliki hak mendapatkan jatah untuk mengusung capres sedangkan cawapresnya bisa diambil dari kalangan internal parpol-parpol Islam lainnya atau mungkin saja dari kalangan eksternal yang dapat menyumbang elektoral tinggi sehingga menjadi duet yang menjanjikan di Pilpres 2014. Mungkin saja PKB mengajukan Rhoma Irama sebagai capres dari poros Islam karena selama ini partai pimpinan Muhaimin Iskandar tersebut telah menggadang-gadang sang raja dangdut sebagai capresnya. Boleh jadi perolehan suara tinggi PKB bukan saja karena mendapatkan limpahan suara Demokrat, melainkan karena faktor Rhoma Irama yang sangat popular di kalangan umat Islam. Meskipun belum ada penelitian resmi mengenai hal ini, tetapi faktor figur dalam politik Indonesia memang sangat berpengaruh. Bukan tidak mungkin pada situasi seperti ini akan ada resistensi dari parpol-parpol Islam yang umumnya telah memiliki capresnya sendiri. Yang paling kuat resistensinya kemungkinan besar datanng dari PAN karena jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan Hatta Rajasa sebagai capres. Adapun PPP, PKS dan PBB relatif lebih mudah atau tingkat resistensinya tidak akan terlalu tinggi. Pada akhirnya, para elite parpol Islam semestinya jangan terlalu mengedepankan ego kepartainnya, melainkan harus mendahulukan kepentingan bersama, yakni kepentingan politik Islam. Kalau memang perolehan suara PAN misalnya kalah signifikan, sudah semestinya para elite PAN tidak terlalu ngotot untuk membidik kursi nomor satu. Bagaimana pun poros Islam jilid pertama telah pernah berjaya pada Pemilu 1999. Salah satu faktor utamanya adalah adanya sikap untuk mendahulukan kepentingan bersama di antara para elite parpol Islam ketika itu. Bukan tidak mungkina dengan sikap yang sama poros Islam jilid kedua juga akan mengalami nasib yang sama pula. *Penulis Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Selasa, 08 April 2014

Sukses Pemilu, Sukses Demokrasi (Koran Sindo, 07/04/14)

Sukses Pemilu, Sukses Demokrasi Iding R. Hasan* Salah seorang ilmuwan politik, Robert Dahl, mengatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) sesungguhnya merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Dengan demikian, pemilu menjadi instrumen yang sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi di sebuah negara. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu akan berpengaruh besar terhadap kesuksesan demokrasi. Dalam konteks ini, pemilu legislatif (pileg) yang akan digelar pada 9 April 2014 oleh pemerintah Indonesia dapat dimaknai sebagai suatu ikhtiar untuk mempertahankan dan memperkuat sistem demokrasi yang sekarang ini sedang berjalan, terlepas dari segala kekurangannya. Tidak heran kalau pemerintah dan terutama pihak-pihak penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan sebagainya berusaha sekuat tenaga untuk menyukseskan pemilu. Pada sisi lain, masyarakat Indonesia sebagai para pemilih sebenarnya juga memiliki kepentingan yang sama terhadap keberhasilan pemilu tersebut. Sebagai masyarakat yang telah menyatakan dirinya sebagai pemegang nilai-nilai demokrasi, tentu konsekwensinya adalah bagaimana mereka mampu menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan politik, antara lain menyukseskan pemilu dengan berpartisipasi aktif di dalamnya. Partisipasi Politik Partisipasi politik aktif masyarakat dalam pemilu misalnya dengan memberikan suara tidak dapat dimungkiri merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi kesuksesan pemilu. Salah satu indikator paling kasat mata dari kesuksesan pemilu adalah tingkat partisipasi publik dalam memberikan suara. Semakin tinggi tingkat partisipasinya, semakin besar tingkat kesuksesannya. Menurut hemat penulis, dalam situasi politik seperti sekarang memberikan suara atau memilih merupakan alternatif terbaik. Terlepas dari (kemungkinan) berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu yang pernah diselenggarakan pada zaman Orde Baru (orba), kita menyadari betul bahwa pemilu yang digelar sejak zaman reformasi jauh lebih baik dalam berbagai hal. Memilih untuk tidak memilih atau yang biasa disebut golongan putih (golput) agaknya bukanlah langkah yang tepat untuk saat ini. Jika pada masa orba hampir tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu karena sudah disetting sedemikian rupa oleh pihak penguasa. Maka, golput tentu memiliki makna sebagai penegasan sikap. Namun saat ini, ketika perubahan politik ke arah yang lebih baik terbuka dengan pemilu, tentu golput akan sia-sia. Pemilu, misalnya, memiliki fungsi politik yang sangat penting terkait dengan keajegan demokrasi, yakni sirkulasi elite, di samping fungsi-fungsi lainnya seperti legitimasi politik, perwakilan politik, dan pendidikan politik. Sirkulasi elite menjadi penting karena bisa membuat kekuasaan lebih terdistribusikan. Dan pemilulah yang memungkinkan terjadinya sirkulasi elite tersebut. Menjadi persoalan besar ketika sirkulasi elite tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, kekuasaan terkonsentrasi pada sekelompok orang yang pada gilirannya dapat menimbulkan oligarki politik. Itulah yang terjadi pada msa orba. Oleh karena itu, jika masyarakat berpartisipasi politik dengan memberikan suaranya pada pemilu, maka mereka telah memainkan peran dalam melancarkan sirkulasi elite tersebut. Sirkulasi elite akan semakin bermakna bagi demokrasi jika didukung oleh aktor-aktor politik yang memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini, peran masyarakt sangat penting untuk menyeleksi calon-calon legislator (caleg) yang memegang komitmen tersebut. Pada sisi lain, perhelatan demokrasi yang masif seperti pemilu tentu tidak akan terlepas dari munculnya persaingan dan konflik di tengah masyarakat yang diakibatkan oleh banyaknya parpol kontestan pada Pemilu 2014. Sebagaimana diketahi terdapat 12 parpol ditambah 3 parpol lokal yang akan bersaing. Namun dalam perspektif demokrasi, persaingan dan konflik tersebut dianggap sesuatu yang positif selama dilakukan dalam koridor-koridor demokrasi. Bahwa persaingan tersebut bisa saja berubah menjadi konflik justeru di situlah letak pentingnya pemilu. Salah seorang pakar politik Ramlan Surbakti, misalnya, menegaskan bahwa pemilu sebenarnya merupakan sebuah mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat agar integrasi masyarakat tetap terjamin. Dengan demikian, pemilu dapat digunakan untuk menjaga konflik sehingga tidak sampai terus berlanjut pada tingkat akar rumput. Pengetahuan Politik Partisipasi politik masyarakat dalam pemilu akan lebih sempurna jika dibarengi dengan bekal-bekal politik, antara lain pengetahuan politik (political knowledge) yang memadai. Dengan kata lain, masyarakat bukan hanya sekadar berpartisipasi dengan memberikan suara mereka pada saat pemilu, tetapi juga memiliki pengetahuan politik yang cukup, misalnya mengenal betul siapa caleg-caleg yang mereka akan pilih. Dalam konteks ini, masyarakat tidak perlu segan-segan untuk mencari tahu misalnya dengan menelurusi rekam jejak (track record) dari para caleg yang hendak mereka pilih. Hal ini menjadi penting karena dengan bekal pengetahuan politik yang memadai, maka masyarakat dapat memilih caleg-caleg yang layak untuk mengisi gedung parlemen. Memang sekarang ini ada kecenderungan bahwa banyak sekali caleg yang tidak dikenal masyarakat. Hal ini, selain karena kurang masifnya sosialisasi dari pihak penyelenggara pemilu, tetapi terutama karena kurang intensifnya kerja-kerja politik parpol selama ini. Pada umumnya parpol hanya aktif melakukan kerja-kerja politik menjelang pemilu, sehingga tidak cukup waktu untuk mensosialisasikan caleg-calegnya ke masyarakat. Oleh karena itu, inisiatif masyarakat untuk melakukan penelusuran terhadap rekam jejak para caleg jauh lebih baik. Inilah sebenarnya bentuk dari literasi politik masyarakat. Artinya, ketika masyarakat sudah melek (literate) politik, maka partisipasi politik mereka di dalam pemilu jauh lebih berkualitas. Partisipasi aktif yang didasarkan pada pengetahuan politik dari segenap masyarakat Indonesia inilah yang sesungguhnya dapat menjadikan pemilu sukses, dan pada gilirannya menjadikan demokrasi sukses. Maka, sukses pemilu adalah sukses demokrasi. *Penulis, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Pejabat dan Kampanye Permanen (Analisis Politik Sindonews, 26/03/14)

Pejabat dan Kampanye Permanen Oleh : Iding R. Hasan Persoalan kampanye pejabat seperti para kepala daerah, menteri-menteri dan bahkan presiden sebenarnya merupakan masalah yang cukup riskan. Itulah kenapa pada saat dibuat undang-undang atau peraturan yang memungkinkan para pejabat melakukan kampanye pada saat pemilihan umum (umum) timbul pro dan kontra. Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam peraturan mengenai kampanye pejabat madalah sulitnya bagi para pejabat untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) pada saat kampanye. Misalnya penggunaan fasilitas-fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi dan sebagainya, termasuk pemakaian anggaran yang sejatinya digunakan untuk kepentingan departemen atau daerah yang dipimpinnya. Sementara itu kalangan yang pro atas peraturan kampanye pejabat --mereka biasanya berasal dari partai politik (parpol) yang berada dalam lingkaran kekuasaan-- pada umumnya berdalih bahwa para pejabat terkait pai stmampu membedakan antara kepentingan partai dan kepentingan negara. Dengan kata lain, mereka tidak akan menggunakan fasilitas negara demi kepentingan partainya. Meskipun pada akhirnya peraturan mengenai kampanye pejabat tersebut disepakati, yaitu UU Pemilu dan Peraturan KPU No 15 tahun 2013, tetapi kekhawatiran atas pelanggaran terhadap peraturan itu sangat kuat. Dan ternyata kekhawatiran dari banyak kalangan itu terbukti di lapangan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), misalnya, menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan sejumlah pejabat ketika melakukan kampanye. Mereka antara lain diduga telah menyalahgunakan fasilitas negara untuk kampanye. Menurut Bawaslu, ada laporan indikasi pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye yang dilakukan para pejabat antara lain, Menteri Kelautan dan Perikanan, pada saat rapat umum Partai Golkar di Demak dan di Simpanglima, Demak. Demikian pula Menteri Agama yang diduga melakukan kampanye terselubung dalam pondok pesantren dan dalam acara kementerian saat menghadiri acara silaturahmi dan peresmian rusunawa Pondok Pesantren se-Malang Raya di Pondok Pesantren Shirotul Fuqoha, Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Kampanye Permanen Perlukah sebenarnya pejabat berkampanye pada saat pemilu? Dalam kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Bruce I. Newman, salah seorang teorisi marketing politik dalam salah satu tulisannya, Political Marketing: Theory, Research, and Application (dalam Lynda Lee Kaid, 2004: 23), menyebutkan bahwa pada saat seseorang terpilih untuk menduduki jabatan politik melalui pemilu, maka ia harus terus menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik marketing politik. Hal ini penting ketika dia mulai memerintah, membuat kebijakan dan sebagainya sehingga apa yang dilakukannya tetap berorientasi pada pasar atau rakyat sehingga mendapat respons yang baik dari mereka. Itulah yang dimaksud Bruce I. Newman sebagai kampanye permanen (permanent campaign) yang dilakukan oleh pejabat. Kampanye permanen yang berbasis pada marketing politik ini juga menjadi penting bagi para pejabat atau pemegang kekuasaan karena para rival mereka selalu berusaha untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Di pemilu berikutnya tentu mereka akan menjadi sasaran kampanye menyerang (attacking campaign) dari rival-rival tersebut. Dari sisi marketing politik harus ada sesuatu (produk) yang bisa “dijual” kepada konsumen atau khalayak oleh para pejabat sehingga akan terus mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Menurut hemat penulis, produk marketing politik yang tepat dalam konteks ini adalah kinerja mereka sendiri selama memerintah atau menjabat kekuasaan. Kalau kinerja para pejabat bagus, tentu respons publik juga akan bagus, dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, bagi para pejabat, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka memegang kekuasaan. Dengan sendirinya publik akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pejabat yang memiliki kinerja yang baik tanpa diminta sekalipun. Dengan kata lain, kinerja yang baik dari para pejabat sejatinya merupakan produk terpenting dari marketing politik mereka. Tanpa harus terlibat dalam urusan kampanye yang belum tentu memiliki efektivitas terhadap meningkatnya persepsi publik, mereka sesungguhnya telah melakukan “kampanye” sepanjang waktu dengan kinerja baiknya tersebut. Inilah sesungguhnya sisi keuntungan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang-orang yang baru akan masuk ke dalam arena kekuasaan. Oleh karena itu, hemat penulis, para pejabat sebenarnya tidak perlu harus terlibat dalam kampanye pada pemilu sehingga mengorbankan banyak waktunya untuk urusan yang bukan kepentingan tugas utamanya. Biarlah urusan kampanye diserahkan pada orang-orang lain, sementara mereka tetap fokus bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya. Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.