Selasa, 14 Januari 2014

Beban Berat Demokrat, Suara Pembaruan, Senin 13 Januari 2014

Beban Berat Demokrat Iding R. Hasan* Pasca ditahannya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum,at 10/01 lalu disinyalir banyak kalangan akan semakin memperberat perjalanan politik partai berlambang mercy tersebut khususnya jelang Pemilu 2014. Elektabilitas Demokrat, misalnya, yang terus mengalami penurunan sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah lembaga survei besar kemungkinan sulit membaik kembali. Sebagian pihak bahkan memprediksi, jika kasus Anas masuk ke dalam proses pengadilan sebelum gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) pada Apri 2014, elektabiliras Demokrat akan semakin merosot. Hal ini karena boleh jadi dalam proses pengadilan tersebut Anas akan mengungkap sejumlah nama elite partai biru tersebut. Menurut hemat penulis, sekalipun proses pengadilan Anas baru digelar setelah Pileg, tetap saja bagi Demokrat tidak akan mudah untuk menaikkan kembali citranya di mata publik Indonesia. Hal ini antara lain karena kubu Anas tentu akan terus menerus melakukan konstruksi opini yang hendak memperlihatkan kepada publik bahwa apa yang terjadi pada Anas bukan semata-mata proses hukum, melainkan kental dengan aroma politik. Sebagai aktor politik yang sarat pengalaman dan piawai dalam mengendalikan situasi Anas mampu mengkonstruksi opini, bukan sekedar dengan komunikasi verbal, melainkan juga non-verbal. Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Pebruari 2013 lalu sebagai penerima gratifikasi mobil Harrier terkait kasus Hambalang, Anas mampu mengkonstruksi opini, baik melalui media massa konvensional maupun media sosial seperti Twitter. Bahkan saat keluar dari ruang pemeriksaan KPK dengan baju rompi tahanan berwarna oranye Anas tetap melakukan konstruksi opini yang tampaknya sudah dipersiapkannya dengan matang. Ungkapan bahwa apa yang sedang dialaminya itu sebagai proses pencarian kebenaran dan keadilan yang ditutup dengan ungkapan bahwa kebenaran akan menang jelas sebagai upaya Anas untuk mengkonstruksi bahwa dirinya adalah representasi dari kebenaran tersebut yang tengah mengalami penzaliman. Selain itu ucapan terima kasih yang diungkapkan Anas kepada sejumlah nama pimpinan dan penyidik KPK dan terutama pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu bukanlah ucapan terima kasih yang lazim. Dalam perspektif komunikasi, apa yang diungkapkan Anas tersebut sebagai bentuk dari komunikasi tingkat tinggi (high context communication). Model komunikasi seperti ini biasanya diekspresikan dengan ungkapan simbolik dan kode atau tidak diungkapkan secara terus terang dan apa adanya. Sebagai politisi yang berasal dari Jawa Anas tentu piawai dalam melakukan komunikasi tersebut. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih Anas tersebut mesti ditafsirkan sebagai retorika satiris yang ditujukan pada nama-nama yang disebutkannya. Tetapi yang paling menghunjam adalah ungkapan yang ditujukan Anas pada SBY dengan dua frasa “di atas segalanya” dan “hadiah tahun baru 2014”. Opini yang dibangun Anas tersebut boleh jadi akan bergaung kuat karena kepiawaiaanya dalam memanfaatkan momentum ketika memainkan isu ke tengah publik. Sebagai politisi yang sadar kamera Anas pintar memanfaatkan momentum. Di hadapan puluhun jepretan kamera saat hendak menuju rutan KPK, dengan ekspresi wajahnya yang tetap tenang, ia melontarkan peluru-peluru tajam, sehingga kemudian menjadi headline di semua media baik cetak maupun elektronik. Sekarang meskipun sudah berada di balik jeruji opini tersebut tetap disuarakan loyalis-loyalis Anas terutama yang tergabung dalam Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) yang bermarkas di rumah Anas sendiri. Beban Berat Bagi Demokrat, situasi politik ini tentu sangat berat. Kondisi ini diperparah oleh kekurangpiawaian elite-elite partai dalam melakukan komunikasi publik. Salah satu yang paling nampak adalah lemahnya manajemen komunikasi antar para aktor politik di tubuh partai biru tersebut dalam menyikaspi sebuah kasus, termasuk kasus Anas. Kerap kali terjadi ketidaksinkronan pernyataan yang dikeluarkan para elite Demokrat sehingga terkesan tidak ada koordinasi dengan baik. Misalnya, ketika Anas membentuk PPI, ungkapan para elite Demokrat begitu reaktif sehingga tampak berbeda-beda satu dengan yang lain. Pada saat yang sama tidak ada tokoh di tubuh Demokrat yang betul-betul piawai dalam mengendalikan situasi. Syarif Hasan, misalnya, sebagai ketua harian sering gagap dalam mengeluarkan pernyataan ke publik. Parahnya Demokrat menunjuk Ruhut Sitompul sebagai juru bicaranya yang justeru sering membuat pernyataan yang kontraproduktif terhadap citra yang hendak dibangun kembali Demokrat. Kondisi ini tentu cukup berbahaya ketika para elite Demokrat tersebut berhadapan dengan opini yang sekarang kian gencar dibangun kubu Anas terutama mengenai keterlibatan Cikeas dalam kasus Anas. Dalam konteks ini, kounter opini yang mesti mereka bangun harus dilakukan secara cerdas, tidak reaktif dan emosional. Kalau tidak, salah-salah opini publik bisa mengarah ke kubu Anas. Jika ini yang terjadi, jelas beban Demokrat akan semakin berat. Penulis adalah Deputi Direktur The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta

Anas Versus KPK, Pikiran Rakyat, Senin 13 Januari 2014

Anas Versus KPK Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum’at (10/01) kemarin. Sempat mangkir pada dua pemanggilan sebelumnya, tetapi Anas kemudian hadir di KPK sekalipun para penasihat hukumnya menyarankan untuk tidak hadir. Diketahui kemudian bahwa kedatangan Anas memang atas inisiatifnya sendiri seperti diungkapkan Juru Bicara KPK, Johan Budi. Anas tampaknya menyadari bahwa menolak panggilan KPK tidak menguntungkan karena boleh jadi ia akan dianggap melakukan pembangkangan terhadap institusi penegak hukum. Dari perspektif opini public, jelas Anas akan kian terpojokkan pasalnya sampai saat ini publik masih memberikan kepercayaan pada KPK sebagai lembaga yang otoritatif untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dalam konteks inilah agaknya Anas kemudian memutuskan untuk hadir di KPK sekalipun mengetahui bahwa ia akan ditahan. Aroma Politik Sejak Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Pebruari 2013 terkait kasus proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, wacana pengaitan penetapan tersebut dengan politik kerap digaungkan terutama oleh para pendukung Anas dan tentu saja oleh Anas sendiri. Menurut mereka, KPK tidak independen dari intervensi partai berkuasa yang notabene dibawah genggaman Cikeas (SBY) untuk menyingkirkan Anas dari Demokrat. Bahkan dengan tegas mereka menyebut Anas sebagai “tumbal politik” Cikeas. Kubu Anas tampaknya terus melakukan perang opini ke tengah publik bahwa kasus Anas memang kental dengan aroma politik. Anas sendiri dengan gaya dan retorika politiknya yang khas kerap melancarkan wacana yang menyindir Cikeas baik melalui media sosial seperti twitter maupun dalam sejumlah wawancara dengan media massa. Kondisi ini terus berlangsung secara leluasa karena proses penyidikan Anas berlangsung cukup lama sejak ditetapkan sebagai tersangka. Dalam pernyataannya jelang dibawa ke Rutan KPK Anas masih terus melancarkan sindirannya pada SBY meskipun dibungkus dalam bahasa yang halus kasih. Meskipun sindiran Anas juga ditujukan pada pimpinan dan penyidik KPK, tetapi terhadap SBY tampak sangat jelas. Anas, misalnya, mengatakan, “…di atas segalanya saya terima kasih besar pada Pak SBY. Semoga peristiwa ini mempunyai arti dan makna dan menjadi hadiah tahun baru SBY.” Pernyataan Anas di atas jelas merupakan sindiran yang tajam pada SBY. Ungkapan “di atas segalanya” dapat ditafsirkan bahwa semua yang terjadi pada dirinya sampai ia ditahan oleh KPK merupakan sebuah skenario di mana penulis dan sutradaranya adalah SBY sendiri. Memang ungkapan Anas tersebut dikemas dalam bentuk ucapan terima kasih, tetapi jelas itu merupakan ungkapan satiris yang menohok SBY. Sebagai sesama orang Jawa tentu SBY juga akan merasakan nada sindiran tajam dari kalimat Anas tersebut. Menjadi Martir? Kini Anas sudah secara resmi ditahan di KPK. Anas tentu tidak bisa lagi melakukan perlawanan politik secara leluasa seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat dilakukan Anas adalah melakukan perlawanan secara hukum melalui proses pengadilan. Artinya, Anas mau tidak mau harus menggunakan mekanisme hukum untuk membela dirinya jika benar-benar ia merasa tidak bersalah. Apalagi dalam salah satu pernyataannya kemarin Anas mengatakan bahwa ini adalah peristiwa bersejarah untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Dan pada akhir kalimatnya, ia menegaskan bahwa kebenaran akan menang. Tentu pernyataan tersebut hanya akan dianggap oleh publik sebagai retorika politik belaka jika pada akhirnya Anas tidak membuktikannya dengan mengungkapkan sejumlah informasi dan fakta terkait kasus yang membelitnya. Dalam konteks ini, Anas tidak perlu ragu lagi untuk mengungkapkan “kebenaran” yang dimilikinya untuk dibawa ke dalam proses pengadilan. Selama ini banyak pihak menduga sebagai mantan ketua umum Anas tentu banyak mengetahui rahasia dapur Demokrat, seperti berbagai aliran dana di dalamnya. Termasuk jika mengetahui keterlibatan keluarga Cikeas, seperti Edie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang namanya kerap disebut-sebut ikut menerima dana Hambalang, atau bahkan SBY sendiri, Anas harus berani mengungkapkannya secara jelas. Pengungkapan informasi dan fakta terkait kasus yang membelit Anas menjadi sangat penting terutama bagi kepentingan opini publik. Selama ini publik, meskipun banyak yang sudah menjatuhkan persepsi negatif pada Anas, tetapi tidak sedikit pula yang masih bersimpati. Hal ini jelas karena belum jelasnya duduk persoalan yang berkaitan dengan proses tersebut, apakah benar-benar murni hukum ataupun ada kental aroma politik seperti dituduhkan para pendukung Anas. Boleh jadi bagi Anas ada resiko besar ketika ia berbicara blak-blakan di depan pengadilan, misalnya ia akan mendapatkan hukuman berat. Karena ketika misalnya ia berani mengungkapkan pihak-pihak lain di Demokrat menerima uang haram, maka ia tentu akan kena. Apalagi dalam perspektif hukum pidana, korupsi sulit terlepas dari kekuasan atau siapa yang memegang kekuasaan dan hampir mustahil dilakukan sendirian. Tetapi dari sudut kebenaran, jika Anas berani melakukan hal tersebut jelas akan menjadi peristiwa besar. Mungkin saja Anas dipandang sebagai orang yang bersedia menjadikan dirinya sebagai “martir” dengan mengungkapkan kebenaran dari proses hukum yang sedang berjalan ini.