Jumat, 31 Agustus 2012

Menyoal Politisasi Agama (Suara Pembaruan, Jum'at 31 Agustus 2012)

Dunia politik Indonesia tampaknya tidak pernah bisa dilepaskan dari keterlibatan unsur agama, terutama Islam. Oleh karena itu, berbicara tentang politik di negeri ini, juga mesti berbicara tentang agama Islam. Sayangnya, sejauh yang bisa diamati relasi antara politik dan agama lebih sering menampilkan relasi yang tidak seimbang, dalam pengertian bahwa agama lebih menampilkan dirinya sebagai subordinatif terhadap politik. Dengan kata lain, agama lebih banyak dimanipulasikan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Maraknya berbagai aksi kekerasan di republik ini yang secara kasat mata lebih bermotifkan agama, seperti konflik antar aliran, sesungguhnya, jika ditelisik lebih jauh, bermuara pada persoalan politik dan kekuasaan. Apa yang terjadi pada komunitas Syi’ah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran Kabupaten Sampang, Madura, baru-baru ini yang telah menelan korban, baik yang meninggal maupun luka-luka, disinyalir memiliki motif politik. Hal ini terkait dengan kepentingan politik kelompok tertentu dalam rangka meraih dukungan massa mayoritas jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam derajat tertentu, kasus maraknya kampanye SARA jelang putaran kedua Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 20 September yang akan datang bisa pula dibaca sebagai bentuk manipulasi agama untuk kepentingan politik. Sejumlah tokoh masyarakat, seperti pedangdut Rhoma Irma, misalnya, secara terang-terangan mengajak pada umat Islam untuk memilih pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang seiman seraya mengutip ayat dari Kitab Suci. Bahkan belakangan elite politik pun ikut-ikutan latah mengampanyekan hal serupa seperti yang diperlihatkan Ketua DPR, Marzuki Alie. Akibatnya, suasana politik di kota Jakarta kian memanas. Kampanye hitam (black campaign) baik berupa selebaran ataupun melalui media sosial terus dilancarkan oleh masing-masing pendukung pasangan cagub-cawagub. Bahkan ada kecenderungan bahwa persaingan tajam antar kandidat dengan melibatkan isu SARA tersebut sudah menjurus pada konflik horizontal. Kalau ini tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin kekerasan akan meledak. Dampak Buruk Menyeret-nyeret agama ke dalam ranah politik apalagi dilakukan secara manipulatif jelas akan memberikan dampak buruk, bukan hanya terhadap kehidupan politik melainkan juga kehidupan agama pada saat yang sama. Dalam konteks politik, fenomena ini jelas merupakan sesuatu yang kontra produktif terhadap perkembangan demokrasi yang sedang berjalan di negeri ini. Ketika demokrasi sangat menekankan rule of the game dalam berpolitik, selain kebebasan tentu saja, maka tentu menjadi terkendala dengan maraknya aksi kekerasan yang jelas-jelas tidak menghormati rule of the game tersebut. Saat demokrasi begitu menekankan cara-cara yang baik dan beradab untuk mencapai tujuan politik, para penyokong aksi kekerasan justeru seperti ingin menghalalkan segala cara guna meraih apa yang mereka inginkan. Ketika demokrasi lebih mengedepan cara-cara dialogis, negosiasi dan seterusnya, para pelaku kekerasan justeru lebih mengedepankan cara pandang mata kuda; melihat setiap permasalahan secara hitam dan putih. Bagi kehidupan keagamaan sendiri, manipulasi agama untuk kepentingan politik jelas akan menodai agama itu sendiri. Agama, meminjam gagasan teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin, akan kehilangan fungsi liberatifnya di tengah-tengah pemeluknya. Agama yang sejatinya mampu membebaskan manusia dari sikap-sikap primordilaistik, chauvinistic, kepicikan cara berpikir dan sebagainya, justeru, dengan maraknya fenomena di atas, menjadi factor penumbuh subur sikap-sikap tersebut. Di saat agama seharusnya menjadi penebar kedamaian di muka bumi ini, tetapi justeru, ketika diseret untuk kepentingan politik, menjadi penebar kebencian yang berakibat pada pertumpahan darah. Ketika agama seyogianya mengusung misi profetik-keilahian, oleh para oknum pemegang kedudukan politik dan kekuasaan, agama justeru diperosokkan ke dalam lumpur profan yang kotor. Dengan demikian, agama seolah telah kehilangan jati dirinya di dalam kubangan politik. Political Will Pemerintah Meledaknya aksi kekerasan di kalangan warga yang berkibat pada jatuhnya sejumlah korban, baik meninggal, luka-luka maupun yang trauma, jelas memperlihatkan kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemberian rasa aman kepada para warganya. Apalagi apa yang terjadi di Sampang sebenarnya bukanlah yang pertama kali, melainkan sudah terjadi sejak lama, sehingga pemerintah seharusnya sudah bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi dan berusaha mencegahnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah terhadap berbagai peristiwa konflik di sejumlah kasus di Indonesia tidak menyelesaikan masalah sampai tuntas. Pemerintah seringkali hanya mengambil jalan aman (safety player) sekadar hanya menghentikan konflik secara sesaat tanpa menyentuh akar permasalahannya. Akibatnya seperti menyimpan api dalam sekam yang setiap saat dapat meledak jika ada sumbu pemicunya. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan berbagai langkah terobosan untuk menghentikan tragedi tersebut. Menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini. Pertama, soft means, yaitu cara-cara yang mengedepankan persuasi dalam mengatasi persoalan konflik. Dialog menjadi satu-satunya metode yang tepat. Kurangnya dialog, seperti yang disinggung Menag Suryadharma Ali, merupakan salah satu pemicu meledaknya konflik. Dalam konteks ini, pemerintah mesti melibatkan kaum ulama secara intensif karena mereka, seperti yang digambarkan Dan Nimmo dalam Komunikasi Politik Khalayak dan Efek (2000), merupakan pemuka pendapat (opinion leader) yang suaranya didengar masyarakat. Jangan sampai, mereka hanya dijadikan seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra sebagai pemadam kebakaran saja. Peran mereka tentu sangat penting terutama dalam upaya memberikan pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan terbuka terhadap umat. Banyak tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok umat yang memang didasari oleh sempitnya pemahaman keagamaan mereka, sehingga membunuh orang yang tidak sealiran seolah-olah tidak berdosan atau malah dianggap jihad. Kedua, hard means, yakni cara-cara yang bersifat reaktif. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan harus berani menindak tegas siapapun pelaku kekerasan, baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas atau bahkan dari kalangan aparat sendiri. Prinsip menegakkan keadilan harus lebih diutamakan. Jangan sampai sinyalemen yang menyebutkan bahwa aparat keamanan selama ini bertindak berat sebelah benar-benar terjadi di lapangan. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu sulit diharapkan tercapai penyelesaian masalah secara utuh. Pemerintah harus berani bersikap bahwa segala bentuk kekerasan baik berupa penyerangan, pembakaran apalagi pembunuhan sekalipun atas nama agama merupakan tindakan yang biadab. Karena itu para pelakunya harus ditindak secara setimpal. Jangan sampai seperti yang pernah (kerap) terjadi dalam kasus seperti ini, pihak korban justeru yang dijadikan tersangka. Ketiga, pemerintah harus mengungkapkan informasi mengenai konflik tersebut secara utuh dan apa adanya tanpa pretense untuk menutup-nutupinya. Sangat mengherankan bahwa pemerintah yang diwakili Menteri Agama mengatakan pada publik bahwa tragedi Sampang tersebut merupakan konflik keluarga. Padahal media-media lokal di Madura menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan konflik sosial. Sebenarnya kalau pemerintah mau dan memiliki political will yang baik masalah tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas. Kalau tidak, alih-alih tuntas justeru masalah-masalah serupa akan terus bermunculan di republik ini.

Tidak ada komentar: