Jumat, 10 Agustus 2012

Jalan Terjal Foke-Nara (Harian Jurnas, 18 Juli 2012)

Sampai saat ini publik masih diliputi keterkejutan atas kekalahan pasangan kandidat petahana (incumbent) Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 11 Juli yang lalu. Pasalnya, sebelum digelar pilkada hampir semua lembaga survei menempatkan pasangan Foke-Nara di urutan teratas dengan selisih yang cukup signifikan dari lima pasangan kandidat lainnya. Pasangan ini bahkan sangat percaya diri untuk menang hanya dengan putaran pertama saja. Tentu saja kenyataan yang cukup menyakitkan tersebut membuat jalan pasangan Foke-Nara semakin terjal untuk mengalahkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada putaran kedua di bulan September yang akan datang. Tentu harus ada langkah-langkah evaluatif dari tim sukses pasangan Foke-Nara atas kegagalannya menjadi pemenang sementara pada putaran pertama sehingga dapat membuat perbedaan pada putaran kedua. Langkah Blunder Kekalahan yang diderita pasangan Foke-Nara, meski sebenarnya masih bersifat sementara, agaknya telah membuat mereka terpukul dan panik. Ini terlihat dari sejumlah langkah yang diambil tim sukses (timsesnya) yang bukan tidak mungkin justeru bisa menjadi blunder bagi pasangan tersebut. Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis, yang dalam derajat tertentu malah menyulitkan pasangan Foke-Nara meraih simpati publik Jakarta. Pertama, tidak lama setelah penghitungan quick count yang menempatkan pasangan Jokowi-Ahok di peringkat pertama, timses Foke-Nara melemparkan tuduhan adanya kecurangan bahkan politik uang (voter buying) ke kubu Jokowi-Ahok. Tetapi kemudian tuduhan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) karena tidak cukup bukti. Bagi publik sendiri, tuduhan kubu Foke terhadap Jokowi terkait politik uang terasa menggelikan. Secara common sense saja peluang untuk melakukan politik uang atau politik transaksional justeru lebih terbuka dilakukan pihak Foke. Selain sebagai petahana yang memungkinkannya untuk “menggunakan” berbagai fasilitas negara untuk kampanye, dana kampanye yang dimiliki Foke juga terbesar dari semua pasangan kandidat. Akibatnya, alih-alih mendapatkan simpati, Foke justeru mendapatkan cibiran dari publik. Kedua, selain tuduhan kecurangan, sekarang juga sudah beredar terutama di group-group BBM mengenai isu primordialisme yang dihembuskan sejumlah orang yang boleh jadi pendukung Foke. Kalimat-kalimat provokatif yang terkait dengan keyakinan dan etnis dari pasangan Jokowi, yakni Ahok, menjadi sasarannya. Isu primordialisme tersebut agaknya akan terus bergulir jika Foke tidak segera bertindak untuk menghentikannya, terlepas dari apakah kalimat-kalimat provokatif tersebut berasal dari pendukungnya atau bukan. Sebab, jika tidak, bukan mustahil tindakan rasialis tersebut akan berdampak negatif pada Foke sendiri. Setidaknya, publik Jakarta akan menilai Foke telah membiarkan para pendukungnya berlaku tidak adil dan picik di saat kecenderungan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, baik suku, ras dan agama. Semboyan bhineka tunggal ika jelas merupakan bukti yang paling sahih dari penghargaan terhadap pluralisme tersebut. Kerja Keras Tidak ada cara lain bagi timses pasangan Foke-Nara selain bekerja lebih keras lagi supaya bisa mengalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Hal utama yang bisa dilakukan Foke untuk meraih kemenangan pada putara kedua nanti adalah berupaya lebih meyakinkan partai-partai pendukung yang dimotori Demokrat untuk bekerja lebih solid dan giat daripada kemarin. Dalam konteks ini partai yang harus dilobi Foke dengan segera dan serius adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perolehan suara PKS yang mencapi 11 persen pada putara pertama jelas sangat signifikan bagi Foke. Foke mungkin diuntungkan dalam situasi ini. Secara ideologis, PKS sebenarnya lebih mudah merapat ke Demokrat daripada PDIP. Dan secara konfigurasi politik nasional, partai dakwah juga berada dalam satu barisan koalisi pendukung pemerintahan bersama Demokrat. Namun bukan berarti langkah tersebut tanpa hambatan sama sekali. Jokowi juga tentu tidak akan diam saja dan mengabaikan kader-kader PKS yang cukup banyak tersebut. Melalui kedekatan hubungan personal dengan Hidayat Nur Wahid, kandidat gubernur yang diusung PKS, yang pernah menjadi tim suksesnya di Surakarta dulu, tentu Jokowi melakukan pendekatan langsung. Apalagi ia telah melakukan silaturahim ke Hidayat mendahului Foke. Sementara itu, fenomena ketidaksinkronan antara keputusan elite partai dengan kader di bawah juga masih terasa. Bukan hal anomali jika sejumlah kader PKS, misalnya, tidak mengikuti garis kebijakan partai terkait dengan pilihan kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI. Mereka bisa saja lebih memilih pasangan Jokowi-Ahok ketimbangan Foke-Nara. Apalagi figur Jokowi di mata mereka memiliki kemiripan dengan simbol yang selama ini mereka pegang: bersih, jujur, peduli dan peduli. Foke juga agaknya tidak bisa berharap banyak pada Golkar. Selain jumlahnya kurang signifikan, juga belakangan terjadi “perang dingin” antar kedua partai besar tersebut. Kasus-kasus korupsi yang kini dibuka ke publik dan melibatkan sejumlah kader Golkar disinyalir sebagai “balas dendam” Demokrat terhadap partai beringin. Karena itu, suara kader Golkar di Jakarta sulit diharapkan berpaling ke Foke. Untuk suara golput yang mencapai angka di atas 30 persen sulit dirayu Foke agar mau menjatuhkan pilihan kepadanya. Pasalnya, mereka umumnya orang-orang yang apatis terhadap kehidupan politik di negeri ini yang koruptif, busuk dan sebagainya. Celakanya, penyebab semua itu kerap dialamatkan pada partai politik, apalagi partai yang sedang berkuasa. Lagi-lagi Foke tidak bisa berbuat banyak dalam situasi seperti ini. Dengan demikian, jalan sangat terjal sudah menanti pasangan Foke-Nara pada putaran kedua Pilkada DKI September yang akan datang. Harus ada langkah-langkah super ekstra bagi timses pasangan ini jika tidak ingin kembali dipecundangi oleh Jokowi-Ahok di rumah sendiri.

Tidak ada komentar: