Jumat, 30 September 2011

Fragmentasi Drama Politik (Suara Pembaruan, Kamis 18/8/2011)

Drama politik kolosal dengan aktor utama, Muhammad Nazaruddin, tampaknya akan memulai babak baru setelah sang buronan tertangkap. Fragmentasi-fragmentasi dari sejumlah episode kisah yang telah disajikan secara acak oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu kini agaknya harus dirangkai secara runtut, sehingga bisa menampilkan cerita yang utuh dengan kemungkinan sejumlah aktor lain yang terlibat.
Publik yang hampir setiap hari disuguhi fragmentasi kisah yang tidak pernah utuh tersebut tentu ingin segera tahu keseluruhan cerita yang sebenarnya. Benarkah, misalnya, aktor utamanya Nazaruddin, ataukah dia hanyalah sebagai pemeran pembantu saja, sementara aktor utamanya masih misteri. Kalau begitu, adakah sutradara di balik kisah itu yang membuat Nazaruddin bak aktor film yang gagah berani melancarkan serangan pada musuh-musuhnya?
Terlepas dari apakah pada akhirnya kisah tersebut akan berakhir dengan happy ending atau sad ending, yang jelas publik agaknya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui rangkaian kisah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait, mau tidak mau harus menjadikan kasus ini sebagai prioritas utama untuk segera dituntaskan secara transparan.

Pertaruhan Politik
Bagaimanapun kasus Nazaruddin sudah menyita perhatian publik. Seluruh media di negeri ini tidak ada yang luput memberitakannya. Bahkan untuk menunggu kedatangan Nazaruddi saja, para awak media rela menunggu selama kurang lebih 39 jam. Tentu ini menjadi sebuah penanda betapa tingginya “nilai jual” kasus tersebut. Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, atau misalnya, dipenuhi rekayasa, akan menjadi pertaruhan politik yang besar.
Pihak pertama yang paling terkait dengan resiko pertaruhan politik tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalahnya sekarang ini kasus Nazaruddin sudah berada di tangan KPK, karenanya penuntasannya sangat bergantung pada sejauhmana profesionalisme KPK. Dalam konteks ini, independensi KPK akan menjadi sorotan utama dari publik. Mampukah KPK terbebas dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik kekuasaan yang bukan tidak mungkin akan mencoba melakukan intervensi, selama menangani kasus Nazaruddin?
Pertanyaan ini sangat penting mengingat pada saat penjemputan Nazaruddin dari Bogota sampai ke Jakarta muncul kontroversi. Misalnya, sebagaimana yang dituturkan pengacaranya, Otto Cornelis (O.C.) Kaligis, selama pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di dalam perjalanan Nazaruddin tidak didampingi oleh pengacara. Bukankah ini akan memunculkan dugaan yang macam-macam?
Kemudian ketika Nazaruddin sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), ada kontroversi seputar larangan pada pengacara dan keluarga Nazaruddin untuk menemuinya. Pihak KPK mengklaim Nazaruddin sendiri yang tidak mau ditemui, sementara pihak pengacara dan keluarga menuduh KPK yang melarang. Inilah yang kemudian memicu protes keras Kaligis karena dianggapnya bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 70. Pasal tersebut menyebutkan bahwa penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara setiap waktu untuk kepentingan perkaranya.
Atas semua kontroversi di awal penanganan kasus Nazaruddin tersebut KPK dituntut untuk menjelaskan ke publik, apakah keputusan pelarangan tersebut benar-benar dikehendaki Nazaruddin ataukah sebaliknya. Kalau tidak dijelaskan secara transparan, ini akan menjadi bumerang bagi KPK. Apalagi sebelumnya lembaga ini sudah didera kasus yang sempat mencoreng sebagian mukanya. Hal ini terkait dengan terungkapnya petinggi KPK yang pernah menemui Nazaruddin.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain KPK harus berani mengungkapkan kasus ini secara terang benderang tanpa takut siapapun dan apapun. Bahkan seharusnya ini menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan aktor-aktor lain yang sangat mungkin lebih powerfull dari Nazaruddin. Hanya dengan cara seperti inilah kepercayaan publik terhadap KPK kembali naik setelah sempat terpuruk pada level kepercayaan di bawah 50 persen seperti yang pernah dilansir salah sebuah survei. Maka, mengutip perkataan Amien Rais, apakah KPK akan menjadi pemberani atau pengecut, akan terlihat dari penanganan kasus ini.
Pihak lain yang sangat terkait dengan pertaruhan politik adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI maupun Ketua Dewan Pembinan Partai Demokrat. Komitmen SBY untuk menjadi orang pertama yang hendak memberantas korupsi di negeri ini akan kembali tersandra jika kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas. Apalagi SBY sebelumnya telah mengeluarkan perintah penangkapan atas Nazaruddin, sehingga kalau tidak disertai dengan penuntasan kasusnya, jelas akan menjadi bahan kritikan publik. Perintah penangkapan tersebut tidak lebih dari upaya pencitraan seperti yang kerap ia tampilkan.


Skeptisisme Publik?
Melihat penuntasan kasus Nazaruddin yang sedari awal sudah memperlihatkan kontroversi bukan tidak mungkin kian mengentalkan skeptisime publik. Apalagi sudah banyak kasus sebelumnya yang penanganannya tidak tuntas, atau bahkan menghilang begitu saja ketika bersinggungan dengan kekuasaan. Kasus Bank Century, misalnya, sampai hari ini masih menyisakan misteri. Hal ini diduga terkait dengan bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan. Demikian halnya dengan kasus Nazaruddin yang besar kemungkinan terkait erat dengan kepentingan politik yang lebih besar, yakni Partai Demokrat yang notabene partai yang berkuasa (the ruling party). Dan posisi Nazaruddin adalah bendahara umum PD yang tentu orang paling mengetahui lalu lintas keuangan partai.
Oleh karena itu, kalau penuntasan kasus Nazaruddin tersebut masih tersandra oleh kepentingan politik kekuasaan, maka kita sebagai publik masih akan disuguhi fragmentasi-fragmentasi kisah dari drama politik yang tiada jelas alur ceritanya.

Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Polital Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Rabu, 28 September 2011

Agama, Politik dan Kekerasan

Misi utama agama manapun di dunia ini adalah menyelamatkan umat manusia baik di dunia maupun di hari akhir kelak. Oleh karena itu, setiap aksi yang bertentangan dengan semangat penyelamatan manusia jelas bertentangan secara diametral dengan misi suci agama tersebut. Peledakan bom ataupun bom bunuh diri, apapun motifnya, jelas tidak dapat dibenarkan oleh agama karena mengandung semangat desktruktif.
Namun sayangnya, di negeri ini, di mana enam agama hidup berdampingan secara damai, kerap dikeruhkan oleh berbagai aksi kekerasan atas nama agama. Kasus penyerangan terhadap kelompok Islam tertentu masih sering terjadi, demikian pula aksi-aksi peledakan bom. Yang terkini adalah aksi bom bunuh diri di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada Minggu 25/9 kemarin. Meskipun tidak mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi aksi tersebut jelas merupakan teror yang menakutkan.
Jika kita melihat apa yang terjadi di negeri ini, kita menemukan dengan jelas bahwa ada disparitas yang begitu tajam antara idealitas agama sebagai penyelamat umat manusia dengan realitas destruktif yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Tentu ini mengundang pertanyaan banyak pihak, mengapa agama seolah tidak mampu mengemban misi sucinya.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua cara pandang untuk memahami realitas tersebut. Pertama, dari aspek internal pemeluk agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian pemeluk agama (Islam) yang cenderung memahami doktrin agama secara skripturalis-literalistik. Model pemahaman kelompok ini sangat rigid, keras dan hitam-putih. Inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai kelompok Islam radikal.
Pasca runtuhnya rejim Orde Baru ketika liberalisasi politik begitu menguat kelompok ini tidak lagi bergerak di bawah tanah seperti pada masa sebelumnya. Seolah mendapatkan peluang besar, mereka tampil secara terang-terangan melakukan penyebaran ideologinya.
Salah satu konsep yang dipahami secara skripturalis-literalistik adalah jihad. Jihad lebih dimaknai oleh kelompok ini sebagai berjuang mengangkat senjata di jalan Allah seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad ketika memerangi kaum kafir Quraisy. Bagi kelompok ini, aksi peledakan bom ataupun bom bunuh diri dipandang sebagai cara jihad di jalan Allah untuk meraih tiket surga.
Kedua, terkait dengan kepentingan eksternal. Ini kerap terjadi ketika terdapat “perselingkuhan” antara agama dan politik. Dalam situasi seperti ini yang dominan terjadi adalah politisasi agama atau agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh orang atau kelompok tertentu. Kasus penyerangan terhadap penganut sebuah aliran di negeri ini beberapa waktu lalu, yang diduga “ditunggangi” kepentingan politik merupakan bukti nyata.
Kecenderungan seperti ini mudah terjadi di Indonesia karena didukung oleh budaya politik patron-client yang sampai hari ini masih terus berlangsung. Patron biasa merujuk pada kalangan berkuasa yang memiliki berbagai sumber daya: kekuasaan, perlindungan, finansial dan sebagainya, sedangkan client umumnya merujuk pada masyarakat atau rakyat yang membutuhkan semua sumber daya tersebut. Dalam sejumlah kasus kita bisa menyaksikan sebuah kelompok agama tertentu seolah “dibiarkan” begitu bebas melakukan berbagai aksi kekerasan.
Tentu sangatlah ironis seandainya kecenderungan budaya politik patron-client terjadi pada kelompok-kelompok yang melakukan berbagai aksi terorisme seperti peledakan bom. Dugaan ini mungkin saja terjadi ketika kita melihat bahwa sejumlah aksi peledakan bom terjadi bersamaan dengan berkembangnya situasi sosial-politik yang sedang tidak bersahabat dengan penguasa. Pemberitaannya yang dilakukan secara masif dan intensif pada gilirannya bisa membuat rakyat lupa terhadap persoalan yang sebenarnya sedang disorot publik
Tentu kita berharap dugaan di atas keliru. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan harus mengungkapkan secara cermat dan jelas aksi-aksi terorisme tersebut tanpa kecolongan lagi.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Mengikis Terorisme (Suara Pembaruan, Senin 26 September 2011)

Aksi terorisme kembali mencuat di negeri ini. Bom bunuh diri meledak di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo pada Minggu 25 September kemarin. Meskipun korban jiwa kali ini tidak sebanyak sebelum-sebelumnya, namun tetap saja aksi tersebut telah menciptakan ketakutan dan keresahan bagi masyarakat Indonesia. Lokasinya yang terjadi di sebuah tempat peribadatan jelas merupakan teror yang luar biasa.
Mengapa aksi-aksi terorisme tidak pernah berhenti di republik ini meskipun para teroris terus menerus diburu oleh aparat keamanan. Mengapa setelah terbunuhnya gembong-gembong teroris seperti Dr. Azahari dan Nordin M. Top aksi-aksi mereka tidak ikut mati malah terkesan kian tumbuh subur. Seolah mengikuti peribahasa, mati satu tumbuh seribu.



Mengedepankan Dialog
Tumbuh-suburnya berbagai aksi kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam kian mengentalkan labelling terhadap adanya gerakan Islam radikal di Indonesia. Fenomena ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama, bahkan menurut Martin Van Bruinessen (2002), dapat dilacak sampai masa kelahiran Darul Islam di beberapa kota di Indonesia. Darul Islam membangun kekuatannya dengan basis militer yang kuat, seperti di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar) Jawa Barat (Kartosuwiryo) dan Aceh (Daud Beureuh).
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, fenomena Islam radikal kembali menyeruak seiring dengan apa yang disebut liberalisasi politik. Banyak organisasi Islam yang lahir dan melakukan sepak terjangnya dengan sejumlah tindak kekerasan meskipun dilakukan atas nama dakwah.
Salah satu ciri dari kelompok ini adalah model pemahaman keagamaan yang sangat skripturalis atau literalis (harfiah), seringkali hanya melihat pada teksnya, tetapi mengabaikan konteksnya. Slogan kembali ke masa Nabi Muhammad dan para sahabat, misalnya, betul-betul dimaknai secara harfiah sampai ke cara berpakaian dan penampilan fisik seperti memelihara janggut dan sebagainya.
Salah satu konsep sentral yang dipahami secara demikian harfiah oleh kelompok ini adalah jihad. Jihad –yang secara etimologis artinya berusaha sungguh-sungguh—dimaknai sebagai berjuang secara fisik dengan mengangkat senjata. Dalam konteks ini, aksi kekerasan seperti pembunuhan, perampokan dan sejenisnya didasari oleh sebuah keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sebagai perjuangan suci (jihad) demi menegakkan syariat Islam.
Konsep lain yang dipegang teguh kalangan ini adalah hijrah sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Konsep ini bahkan dianggap sebagai pembeda (garis demarkasi) antara mereka dan orang-orang di luar mereka (minna dan minhum). Mereka menamakan diri sebagai masyarakat Madinah dan orang-orang di luar kelompok mereka sebagai masyarakat Mekah.
Menurut pandangan kelompok ini, orang-orang yang berada di luar mereka atau yang belum melakukan hijrah adalah orang-orang kafir yang harus diperangi, baik muslim apalagi non-muslim. Harta-harta mereka bisa diambil karena dianggap sebagai harta rampasan perang (fa’i). Dalam konteks inilah dapat kita pahami mengapa para teroris tersebut tidak segan-segan melakukan aksi perampokan, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Medan. Bahkan perampokan ini dipandang sebagai salah satu cara penebusan dosa yang mereka lakukan sebelum masuk ke dalam kelompok ini.
Oleh karena masyarakat Indonesia, apalagi pemerintahannya, di mata mereka masih merupakan masyarakat Mekah, maka Indonesia perlu dibebaskan dengan meminjam istilah yang dulu digunakan Nabi untuk membebaskan Mekah (fathu Makah). Dalam melakukan pembebasan ini cara-cara kekerasan, seperti pembunuhan dan perampokan dapat dibenarkan.
Melihat cara pandang seperti ini, jelas ini merupakan pandangan keagamaan yang bersifat literalis. Maka, terhadap orang dengan cara pandang demikian, langkah-langkah dialogis sebagai bentuk pendekatan kultural agaknya perlu lebih dikedepankan. Mendekati mereka justeru jauh lebih mengena alih-alih menjauhi atau memusuhi mereka. Tindakan tegas atau represif mungkin diperlukan hanya sebagai shock therapy yang bersifat jangka pendek.

Peran Institusi
Dalam rangka meluruskan kembali pemahaman keagamaan kelompok ini, kerjasama dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua pihak yang seharusnya memainkan peran yang sangat penting.
Pertama, Institusi-institusi pendidikan Islam terutama pesantren harus terus didorong untuk mengajarkan Islam sebagai agama yang damai dan toleran dan senantiasa mengajarkan cara-cara dialogis (musyawarah) dalam menyelesaikan berbagai urusan. Dalam konteks ini, pembenahan kurikulum dan silabus harus senantiasa dilakukan demi merespons tantangan zaman.
Harus diakui bahwa memang ada pesantren tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai penyebar ideologi kekerasan. Pesantren ini telah dianggap berhasil melahirkan generasi-generasi baru teroris. Dalam konteks ini, pesantren-pesantren lain yang notabene tidak menyetujui model pendidikan pesantren tersebut, tidak perlu memusuhinya, bahkan seharusnya mengajaknya dialog.
Kedua, ormas-ormas keagamaan Islam harus senantiasa lebih rajin melihat ke akar rumput. Selama ini, terutama setelah memasuki masa reformasi, ormas Islam tampaknya lebih sering berurusan dengan politik praktis (kekuasaan) sehingga kondisi masyarakat Islam yang diayominya justeru terabaikan. Boleh jadi kian menyebarnya ideologi kekerasan ini disebabkan karena lalainya para pimpinan ormas Islam dalam memperhatikan kehidupan mereka.
Bagaimanapun seluruh elemen masyarakat Islam harus berusaha sekuat tenaga mengikis habis benih-benih terorisme. Kita tidak cukup mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang damai dan toleran dan tidak pernah mengajarkan terorisme; dan bahwa aksi-aksi terorisme tersebut tidak terkait dengan agama Islam.
Faktanya adalah para pelaku terorisme itu adalah orang-orang Islam. Maka, mau tidak mau Islam akan selalu dikaitkan dengan aksi terorisme di Indonesia. Maka, istilah Islam radikal yang acap dikaitkan dengan aksi kekerasan sudah demikian populer. Oleh karena itulah, upaya-upaya pelurusan terhadap pemahaman keagamaan ala para pelaku terorisme tersebut mendesak dilakukan.

*Penulis, Dosen Ilmu Politik FSH UIN Jakarta dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.

Kamis, 22 September 2011

Patung dan Komunikasi Simbolik

Kasus pengrusakan beberapa patung pewayangan di Kabupaten Purwakarta oleh sejumlah elemen santri selepas acara pengajian beberapa waktu lalu sungguh memprihatinkan. Patung-patung yang sesungguhnya memiliki nilai historis, kultural bahkan religius tersebut diluluhlantakkan tanpa dapat dicegah.
Tentu saja perilaku anarkis tersebut kian memperpanjang deretan tragedi anarkisme di republik ini. Lebih celaka ini perilaku brutal ini dibalut dengan motif keagamaan; seolah mereka tengah memerankan atau menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim yang menghancurkan patung-patung yang dijadikan sesembahan kaumnya.

Komunikasi Simbolik
Perilaku manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dunia simbolik. Dalam ilmu komunikasi ada satu pendekatan yang menjelaskan masalah tersebut secara gamblang, yaitu teori interaksionisme simbolik dengan tokoh utamanya George Herbert Mead dalam karyanya Mind, Self and Society (1934). Teori ini menjelaskan bahwa manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia (Richard West & Lynn Turner, 2007).
Salah satu tema besar dalam teori interaksionisme simbolik adalah pentingnya bahwa bagi perilaku manusia. Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara manusia-manusia untuk menciptakan makna. Oleh karena itu, pemaknaan merupakan sebuah proses yang sangat penting. Dengan kata lain, sesemanusia atau sekelompok manusia bertindak atau berperilaku karena ada proses pemaknaan yang diberikannya melalui interaksinya dengan manusia lain.
Dari perspektif ini dapat dijelaskan bahwa perilaku anarkis sejumlah oknum santri di Purwakarta karena ada proses pemaknaan yang terjalin dalam interaksi mereka terutama dengan dai yang memberikan pengajian. Mereka tampaknya memaknai patung-patung tersebut sebagai berhala yang disembah-sembah atau dijadikan Tuhan. Ini agaknya mereka kaitkan dengan zaman paganisme masa para nabi terdahulu di mana umumnya berhala sesembahannya berbentuk patung.
Dengan pemaknaan seperti itu, tidaklah aneh kalau para pelaku tidak merasa bersalah dengan tindakan brutalnya tersebut. Alih-alih mereka seolah-olah sedang melakukan perjuangan suci (baca: jihad fi sabilillah) demi menyelamatkan umat dari bahaya akidah. Menurut ajaran Islam yang mereka pahami, patung-patung itu bisa menuntun manusia pada kemusyrikan, sebuah dosa yang tak terampuni dalam Islam. Itulah pula ungkapan yang kerap dilontarkan, untuk tidak mengatakan diprovokasi, oleh sang dai.
Dunia simbolik memang tidak akan bisa terlepas dari kehidupan manusia selama masih ada proses interaksi. Namun, yang mengkhawatirkan adalah ketika manusia terjebak dalam simbolisme yang rigid. Akibatnya, mereka akan cenderung melihat penampilan luar dari sesuatu dan pada saat yang sama mengabaikan esensinya. Tindakan brutal sejumlah oknum santri tersebut jelas dipengaruhi banyak oleh cara berpikir seperti itu. Mereka melihat patung dari sisi luarnya saja, yakni sebuah benda mati yang di masa lalu pernah dijadikan objek penyembahan atau dijadikan Tuhan. Dalam pikiran mereka bukan tidak mungkin dalam dunia sekarang akan diperlakukan sama.
Padahal kalau mau berpikir kritis, pada masa kini justeru “penuhanan” yang dilakukan manusia terjadi pada objek-objek impian gaya hidup hedonistik mereka: uang, jabatan dan sebagainya. Uanglah sekarang yang mampu mengatur manusia modern, bukan sebaliknya; segala macam hal dalam kehidupan manusia masa kini hampir semuanya bisa dibeli dengan uang. Pendek kata, uang adalah “tuhan” yang justeru jauh lebih berbahaya daripada patung-patung bisu dan jauh lebih kencang menyeret manusia ke dalam lembah kemusyrikan.

Religiusitas Terpasung
Ketika komunikasi manusia terjerembab dalam kerangkeng simbolisme, terutama dikaitkan dengan aspek religiusitas, maka esensi religiusitas menjadi hampa tanpa makna. Perilaku keagamaan hanya bergerak formal-seremonial tanpa menyentuh wilayah terdalam, yakni kehidupan batiniah manusia. Religiusitas hanya dilihat dari bagaimana hubungan formal manusia dengan Tuhan dalam rutinitas ritual yang kerap hanya dianggap sebagai kewajiban belaka ketimbang kebutuhan.
Padahal esensi dari religiusitas yang sesungguhnya adalah munculnya kesadaran kemanusiaan pada setiap manusia yang dapat menuntun mereka untuk lebih mendekatkan diri bukan hanya dengan Tuhan, melainkan juga dengan sesama manusia dan alam semesta. Manusia yang memiliki esensi religiusitas semacam ini sesungguhnya bisa menjadikan benda apapun sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan.
Itulah kenapa manusia dengan tingkat religiusitas yang tinggi justeru menjadikan patung Semar sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhan. Pada diri Semar justeru banyak teladan yang sejatinya harus diikuti oleh manusia di dalam kehidupannya: tentang kebersahayaan hidup, kritik dengan selera humor tinggi, kerendahhatian dan sebagainya. Tidak aneh kalau Sunan Kalidjogo alih-alih melarang justeru menjadikan wayang sebagai sarana dakwah.

*Penulis, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad, Dosen UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Reshuffle Kabinet, Mutlak (Suara Karya 22 September 2011)

Isu perombakan kabinet (reshuffle) kini kembali muncul setelah sempat timbul dan tenggelam selama beberapa waktu. Desakan publik kali ini tampaknya sangat deras pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono untuk mengevaluasi jajaran kabinetnya. Namun setiap kali isu perombakan kabinet ini mengemuka pertanyaan senada hampir selalu mengiringi: akankah SBY mengganti menteri-menterinya yang sudah tidak layak lagi dipertahankan?



Tak Bisa Ditawar

Menurut hemat penulis, perombakan kabinet oleh SBY untuk saat ini sudah sangat urgen untuk dilakukan. Ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk melakukan perombakan tersebut. Pertama, dari segi momentum jelas hal tersebut sangat tepat. Waktu dua tahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu II sudah cukup untuk dijadikan dasar penilaian oleh SBY terhadap kinerja para pembantunya tersebut. Oleh karena itu, kalau momentum ini tidak digunakan dengan baik, tentu akan berdampak buruk bagi pemerintahan SBY.

Kedua, efektivitas Pemerintahan SBY-Boediono tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak kementerian yang ternyata tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan. Dalam konteks ini, penilaian UKP4 merupakan acuan yang sangat jelas. Sejumlah kementerian yang mendapatkan raport merah tentu tidak bisa ditolerensi terus menerus. Justeru kalau SBY tidak menggunakan laporan tersebut, publik akan menilai bahwa SBY tidak konsisten terhadap fungsi lembaga yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto tersebut.

Ketiga, tingkat kepuasan publik terhadap Pemerintahan SBY-Boediono terus menerus mengalami penurunan. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 5 – 10 September kemarin memperlihatkan dengan jelas angka penurunan tersebut. Publik hanya memberikan angka 37,7 persen, sebuah angka yang jelas sangat tidak aman bagi suatu pemerintahan. Pada Januari 2010 atau tepat 100 hari masa pemerintahan angka kepuasan yang diperoleh masih sebesar 52,3 persen. Lalu pada pada saat usia pemerintahan mencapai satu tahun, angka kepuasan turun menjadi 46, 5 persen. Maka, dengan perolehan angka kepuasan sekarang yang hanya 37,7 persen, berarti telah terjadi penurunan sebesar 15 persen selama kurun waktu dua tahun.

Keempat, beberapa kasus baik yang tersangkut dengan korupsi maupun masalah pribadi para menteri KIB II tentu telah “menggoyahkan” perjalanan pemerintahan ini. Kasus suap di Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang ikut menyeret Menpora Andi Mallarangeng dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang menyeret Menakertrans Muhaimain Iskandar jelas sangat mencoreng pemerintahan sehingga publik makin kehilangan kepercayaan.

Sementara itu kasus yang bersifat pribadi seperti isu perselingkuhan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Menteri ESDM Darwin Saleh dan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monarfa, sekalipun telah dibantah, tentu kian memperparah rendahnya kredibilitas pemerintahan ini. Cacat moral dalam dunia politik –meski di negeri ini masih belum dijadikan faktor yang bisa mendegradasikan seorang politisi—tentu tidak seharusnya didiamkan begitu saja.



Komprehensif

Beberapa indikator di atas jelas tidak dapat diabaikan oleh SBY jika ingin pemerintahan yang dipimpinnya mendapatkan respons positif dari publik. Hanya saja dalam melakukan perombakan kabinet sebaiknya SBY juga melakukannya secara komprehensif, tidak setengah-setengah. Dalam hal ini, penilaian berbasis kinerja harus diutamakan, setelah itu baru faktor yang menjadi penunjangnya.

Yang dimaksud komprehensif bisa dijabarkan setidaknya dalam dua hal. Pertama, ketika SBY ingin mengganti seorang menteri, misalnya, sebaiknya ia jangan hanya terfokus pada menterinya saja melainkan juga birokrasi yang dipimpinnya, mampukah pembantunya itu menjadi seorang leader untuk kementeriannya. Bisa jadi secara personalitas ia tidak terlihat memiliki “cacat”, namun ternyata birokrasi yang dipimpinnya bisa dimasukkan ke dalam kategori bobrok. Kasus Kemendiknas yang mendapatkan penilaian disclaimer oleh BPK bisa dijadikan contoh.

Kedua, SBY sebaiknya juga tidak hanya terfokus pada kedua kementerian yang mendapatkan sorotan publik yang sangat luas dan gencar terkait dengan kasus korupsi seperti Kemenpora dan Kemenakertrans. Namun, ia harus melihatnya secara keseluruhan karena bukan rahasia lagi kementerian negara di republik kerap dijadikan “sapi perahan” oleh menteri yang dipimpinnya terutama jika yang bersangkutan berasal dari kalangan parpol.

Dari catatan di atas dapat ditegaskan bahwa SBY sudah tidak bisa menunda lagi untuk melakukan perombakan kabinet demi menjaga efektivitas pemerintahannya. Kalau masalah ini mengalami lagi penundaan seperti sebelumnya, maka bukan tidak mungkin tingkat kepuasan publik akan semakin terjun bebas. Jika itu terjadi, maka tentu bukan lagi merupakan “lampu kuning”, melainkan akan menjadi “lonceng kematian”.

Nazaruddin, Pengakuan Lupa dengan Selaksa Makna (Pikiran Rakyat 22 Agustus 2011)

Kasus Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, tampaknya akan terus menyita perhatian publik dalam waktu yang cukup lama. Perubahan yang diperlihatkannya secara tiba-tiba, yakni diam dan mengaku lupa, di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu wacana yang kemudian diperbincangkan publik secara luas. Bagaimana seharusnya kita membaca sikap diam dan lupa tersebut?

Dalam konteks ini, teori dramatisme yang diperkenalkan Kenneth Burke dalam salah sebuah karyanya, A Rhetoric of Motives (1950), cukup relevan. Teori ini mencoba mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan memfokuskan perhatiannya pada adegan dari para pemainnya. Adegan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menyingkap motif manusia. Sikap diam Nazaruddin tentu dilatarbelakangi oleh motif tertentu.

Menurut Burke, motif utama dari pembicara atau pelaku adegan adalah rasa bersalah (guilt). Rasa bersalah ini diartikan secara luas meliputi berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa jijik atau rasa tidak menyenangkan lainnya. Dalam hal ini, seorang pembicara akan menjadi paling sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk menghapuskan rasa bersalahnya. Maka, boleh jadi apa yang dilakukan Nazaruddin sebagai usaha untuk menghapuskan rasa bersalahnya.

Untuk menghapuskan rasa bersalah tersebut mesti ada langkah pengorbanan (victimage) yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu mortifikasi (mortification) dan pengkambinghitaman (scapegoating). Yang pertama terkait dengan langkah meminta maaf untuk kesalahan dengan menyalahkan diri sendiri, sedangkan yang kedua berusaha melemparkan kesalahan pada orang lain. Pertanyaannya adalah mungkinkah sikap Nazaruddin di atas sebagai bentuk mortifikasi dan pada saat yang sama ia juga dijadikan sebagai kambing hitam?

Kalau melihat pernyataan Nazaruddin yang secara tegas menyebutkan siap menanggung kesalahan seorang sendiri, atau siap pasang badan, boleh jadi ia sedang melakukan mortifikasi. Dengan begitu, ia berharap akan mendapatkan simpati dari khalayak dan pada gilirannya mendapatkan pemaafan. Inilah yang dalam teori dramatisme disebut sebagai salah satu bentuk strategi retoris seorang pembicara.

Namun, kalau melihat pada surat Nazaruddin yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berarti mortifikasinya tersebut tidaklah murni, melainkan juga mengandung pengkambinghitaman. Hal ini karena pernyataannya mengandung kalimat-kalimat bersayap. Misalnya, ia siap menanggung kesalahan tanpa menyebut-nyebut partai (Demokrat) asalkan SBY berjanji tidak akan mengganggu anak dan istrinya.

Menurut penulis, penyebutan nama SBY dan Demokrat justeru memperlihatkan bahwa Nazaruddin sebenarnya ingin “menyeret” mereka secara halus. Bagaimanapun SBY, selain sebagai presiden, adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat dan ia agaknya masih merasa dirinya sebagai orang partai. Dan kalimat “tanpa menyebut-nyebut partai” seolah-olah memberi penegasan bahwa memang ia tidak sendiri melakukan tindakan korupsinya, melainkan secara berjamaah bersama orang-orang partai seperti yang pernah ia suarakan secara lantang dalam persembunyiannya.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi KPK selain menyingkapkan tabir di balik itu semua melalui bukti-bukti hukum. Jangan sampai terjebak ke dalam perangkap permainan kata-kata yang diungkapkan Nazaruddin. Kalau memang ada aktor-aktor lain yang kemungkinan besar lebih powerfull dari Nazaruddin, tentu harus pula diusut secara tuntas sehingga pemberantasan korupsi bisa menyentuh akarnya.

Meminjam pernyataan Faisal Basri belum lama ini, Nazaruddin cuma kerbau kecil, sedangkan kerbau besarnya masih belum tersentuh. Sebagai institusi penegak hukum yang masih lebih dipercaya publik daripada institusi yang lainnya, setidaknya sampai saat ini, KPK harus berusaha sekuat tenaga menemukan kerbau besarnya tersebut tanpa takut apapun dan siapapun.

Nazaruddin dan Pertarungan Narasi (19 Agustus 2011)

Tertangkapnya Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, di Cartagena sesungguhnya merupakan babak awal dari pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan dirinya. Satu hal yang menarik untuk dicermati bahwa ada banyak narasi di seputar kasus tersebut yang dalam derajat tertentu telah berhasil menyulut kontroversi di tengah publik.

Rasionalitas Naratif
Untuk menganalisis kasus Nazaruddin dengan berbagai narasinya, pendekatan paradigma naratif Walter Fisher tampaknya cukup tepat. Pendekatan ini, seperti ditegaskan Fisher (1987) dalam karyanya, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action, menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk pencerita. Seperti diketahui bahwa Nazaruddin, sebelum tertangkap, banyak sekali melontarkan narasi seputar kasusnya. Yang menarik, di dalam narasinya tersebut, ia tidak hanya mencoba mengelak, melainkan juga mengungkapkan keterlibatan tokoh-tokoh lain yang notabene petinggi-petinggi partainya. Antara lain, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng Angelina Sondakh.
Menurut paradigma naratif, narasi bukanlah sekadar sebuah cerita, melainkan bentuk pengaruh sosial. Artinya, sebuah narasi memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat pendengarnya. Dalam konteks ini, narasi yang telah dilontarkan Nazaruddin dari balik persembunyiannya mungkin telah memberikan pengaruh pada publik, sehingga boleh jadi ada sebagian orang yang meyakininya.
Namun, tentu saja, sebuah narasi tidak begitu saja dinilai bermakna atau mangandung kebenaran. Dalam hal ini, pendekatan paradigma naratif menyediakan satu konsep kunci yang sangat penting untuk menilai kebermaknaan tersebut, yaitu rasionalitas naratif. Konsep ini bisa digunakan sebagai metode untuk menilai narasi mana yang kita percayai dan mana yang tidak.
Untuk menilai rasionalitas naratif, ada satu prinsip yang sangat penting, yakni koherensi, yaitu konsistensi internal dari sebuah narasi. Ketika menilai koherensi narasi, pendengar akan mempertimbangkan keruntutannnya secara konsisten. Dalam hal ini ada tiga jenis koherensi: struktural (terkait alur cerita); material (kongkriuensi antara satu cerita dengan cerita lainnya); dan karakterologis (dapat dipercayanya karakter di dalam cerita).
Dari sudut koherensi ini kita bisa menilai bahwa koherensi narasi Nazaruddin bermasalah, misalnya, tuduhannya yang berbeda-beda terhadap anas. Atau ketika ia tidak lagi menyebut nama Andi dan Ibas dalam teleconference beberapa waktu lalu. Dan yang lebih bermasalah adalah pada aspek koherensi karakterologis. Sebagai orang yang menceritakan dirinya sendiri, maka Nazaruddin merupakan salah satu karakter dari narasi tersebut.
Nazaruddin ternyata tidak hanya terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit Sea Games. Ia juga diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, antara lain, pembangunan pabrik vaksin flu burung oleh PT Anugerah Nusantara senilai Rp 700 miliar; pengadaan alat bantu belajar-mengajar dokter atau dokter spesialis pada rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan oleh PT Mahkota Negara senilai Rp 492 miliar, dan lain-lain.
Dengan karakter Nazaruddin seperti yang digambarkan di atas agaknya narasi yang beberapa kali ia lontarkan ke depan publik, baik melalui BBM, SMS, teleconference maupun skype, sulit untuk dapat meyakinkan publik akan kebenarannya. Apalagi ia dan keluarganya justeru memilih melarikan diri daripada datang secara jantan ke KPK.

Pertarungan Narasi
Masalahnya adalah sekarang ini ada banyak narasi yang berkontestasi di seputar kasus Nazaruddin. Selain narasi yang ditampilkan Nazaruddin sendiri, muncul pula narasi-narasi lain yang justeru mengandung serangan terhadap lembaga yang bertanggung jawab untuk menanganinya, yaitu KPK. Ada yang menyebutkan dugaan rekayasa dalam penanganan kasus ini karena adanya “pengistimewaan”, misalnya, penjemputan dengan pesawat carteran yang menghabiskan biaya Rp 4 miliar dan penempatan di sel Mako Brimob.
Setelah itu, muncul pula narasi yang dihembuskan terutama oleh pihak pengacara Nazaruddin bahwa ada semacam upaya untuk menghalang-halangi kunjungan kepadanya, baik dari pengacara maupun keluarga sendiri. Ketika tuduhan penghalang-halangan tersebut ditujukan pada KPK, muncul pula narasi bahwa yang tidak menghendaki pertemuan dengan pengacara dan keluarga adalah Nazaruddin sendiri. Di sini kemudian ada pernyataan bahwa Nazaruddin sebenarnya belum menunjuk pengacara yang sah.
Dari berbagai penuturan naratif di atas tampak bahwa ada pertarungan narasi yang cukup kencang di seputar kasus Nazaruddin. Sebagai publik, barangkali kita juga dilanda kebingungan untuk menentukan manakah narasi yang lebih benar. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pertimbangan yang sehat dan jernih harus dikedepankan dalam melakukan penilaian. Bagaimanapun, KPK, terlepas ada isu miring yang menerpanya, untuk saat ini merupakan lembaga yang lebih dapat dipercaya daripada institusi penegak hukum lainnya. Karenanya, adalah bijak untuk memberikan keleluasan pada lembaga ini untuk menuntaskan kasus tersebut secara transparan.
Kedua, ikut melakukan kontrol publik terhadap jalannya penuntasan kasus tersebut tanpa terburu-buru memberikan penilaian. Misalnya, manakala Nazaruddin sekarang lebih banyak diam ketimbang pada saat di persembunyiannya, itu tidak lantas harus dimaknai ada tekanan dari KPK atau pemerintah. Boleh jadi, hal itu terkait dengan rasionalitas naratif, terutama aspek koherensi narasi Nazaruddin. Tentu bernarasi di depan hukum dengan di persembunyian sangat berbeda.
Ketiga, tidak ikut memperkeruh suasana. Kunjungan sejumlah anggota Komisi III ke Mako Brimob tanpa seizin pihak berwenang tidak cukup kondusif dengan penuntasan kasus tersebut. Di mata publik, koherensi karakterologis anggota dewan tidak cukup meyakinkan untuk berhadapan dengan KPK. Mungkin publik akan lebih menilai muatan politis dari kunjungan tersebut.
Pada akhirnya sebagai publik kita dituntut untuk lebih arif dalam memberikan nilai terhadap berbagai narasi di seputar kasus Nazaruddin. Dengan pertimbangan yang sehat tentu kita bisa menentukan mana narasi yang lebih memperlihatkan koherensi, konsistensi dan kebenaran.

Kekohesifan (Semu) Partai Demokrat (Media Indonesia, 27 Juli 2011)

Edit
Kekohesifan (Semu) Partai Demokrat, Media Indonesia Rabu 27 Juli 2011
by Iding R. Hasan on Wednesday, July 27, 2011 at 5:07pm

Rapat Koordinasi Nasional (Rakernas) yang digelar Partai Demokrat pada 23 – 24 Juli di Sentul, Jawa Barat, akhirnya berakhir tanpa letupan-letupan berarti. Meskipun sebelum rakornas muncul wacana di tengah publik tentang kemungkinan bergesernya acara tersebut menjadi Kongres Luar Biasa (KLB) yang bisa melengserkan Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum menyusul serangan tajam dari Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Memang sempat muncul suara yang menghendaki penonaktifan Anas seperti yang diusung Sekretaris DPD Demokrat Jawa Tengah, tetapi itu pun kemudian tidak mendapatkan dukungan luas dari peserta rakornas.

Pertanyaannya adalah benarkah tiadanya letupan-letupan tersebut dapat menunjukkan bahwa Demokrat telah berhasil melakukan konsolidasi internal partai yang menjadi agenta utama rakornas? Ataukah hal tersebut bisa dijadikan indikasi, seperti ditegaskan teori groupthink, bahwa kader-kader Demokrat tidak berani berbeda pendapat dengan arus utama suara partai? Sebagaimana diketahui bahwa Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah menyampaikan pesan yang berisikan ketidaksetujuannya untuk tidak menggeser acara rakornas menjadi KLB.



Gejala groupthink

Di dalam ilmu ekomunikasi, teori groupthink yang biasa digunakan untuk menganalisis komunikasi kelompok (organisasi) pertama kali diintroduksikan oleh Irving Janis dalam bukunya Victims of Groupthink (1972). Secara sederhana teori ini dapat dijelaskan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok (organisasi) ketika keinginan mereka terhadap kesepakatan melampaui motivasi mereka. Dengan kata lain, pencarian para anggota atas sebuah konsensus lebih ditekankan ketimbangkan akal sehat. Hal ini dilakukan adalah dalam rangka menjaga kekohesifan kelompok atau organsisasi mereka.

Situasi yang terjadi di dalam Rakornas Demokrat di Sentul agaknya mencerminkan kecenderungan teori di atas. Keinginan para kader Demokrat untuk melakukan konsolidasi internal partai –sebuah pencarian konsensus—telah mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tentu saja itu semua dilakukan demi menjaga kekohesifan Partai Demokrat yang belakangan terlihat kian goyah akibat berbagai isu korupsi yang melibatkan sejumlah kadernya, terutama Nazaruddin.

Dalam perspektif groupthink, pemikiran arus utama yang umumnya diperankan oleh tokoh terpenting menjadi dominan. Dalam konteks ini, SBY sebagai tokoh paling berpengaruh di partai biru tersebut telah berhasil membuat “pagar” dengan menghadang gelindingan bola liar KLB, sehingga tidak ada satupun yang berani melintasi pagar tersebut. Bagaimana pun, SBY berpikir realistis untuk mengedepankan soliditas di kalangan kader Demokrat, ketimbang membuka ruang KLB yang tentu, tidak saja akan menghabiskan biaya yang besar dalam berbagai aspeknya, melainkan juga bisa memperparah perpecahan yang sudah mengendap.

Dari perspektif jangka pendek, apa yang dihasilkan rakornas tersebut mungkin menguntungkan Demokrat. Setidaknya, soliditas organisasi dan anggota partai yang mulai agak cerai berai bisa direkatkan kembali. Tentu saja kondisi seperti ini sangat dibutuhkan Demokrat terutama untuk menyongsong Pemilu 2014 yang tinggal menyisakan waktu kurang lebih tiga tahun.



Kekohesifan Semu?

Namun dari perspektif jangka panjang, keberhasilan rakornas dalam “meredam” gejolak internal partai bukan berarti telah selesai. Sejumlah masalah diyakini masih akan melilit Demokrat pasca rakornas yang sesungguhnya masih bersumber dari masalah yang sama. Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa hal yang tetap akan menjadi persoalan bagi Demokrat di masa yang akan datang.

Pertama, soliditas yang ditunjukkan Demokrat ke publik melalui rakornas tersebut sebenarnya bukanlah soliditas yang utuh. Ini antara lain dapat dilihat dari munculnya suara dari arus bawah yang menentang arus utama dan ternyata mendapatkan dukungan dari elite tertentu partai yang tidak sekubu dengan Anas. Bahwa kemudian suara tersebut tidak tidak mendapatkan respons luas lebih karena penghormatan terhadap SBY yang telah lebih dahulu menyatakan ketidaksetujuannya untuk “menyelewangkan” agenda rakornas.

Pada sisi lain, pemandangan yang cukup menimbulkan tanda tanya di benak publik juga terlihat saat penutupan rakornas. SBY yang sedianya akan menyampaikan pidato penutupan ternyata tidak terlihat di forum tanpa alasan yang jelas. Selain itu, Marzuki Alie, juga tidak tampak. Akhirnya, hanya Anaslah yang memberikan pidato penutupan. Bukan tidak mungkin publik akan menilai bahwa di balik ketidakhadiran itu ada sesuatu yang disembunyikan.

Kedua, janji Demokrat bahwa rakornas akan menjadi ajang pembersihan kader-kader partai yang bermasalah ternyata tidak sepenuhnya terwujud. Demokrat hanya mendaftar beberapa kader yang terlibat dan baru akan menindaknya seusai rakornas dengan dalih lebih memprioritaskan proses hukum. Padahal ada beberapa nama kader, selain Nazaruddin, yang sudah jelas terbukti bersalah secara hukum.

Dari sudut pandang komunikasi, penyebutan secara resmi oleh partai pada ajang penting semacam rakornas justeru akan memberikan bobot yang jauh lebih besar. Jika ini yang dilakukan kemarin, Demokrat tentu akan dianggap berani bertindak tegas terhadap kader-kadernya di muka publik seperti yang kerap dijanjikannya di berbagai forum. Menunda-nunda penindakan tegas terhadap kader bermasalah ke waktu setelah rakornas justeru akan menjadi bahan “pergunjingan” baru di tengah publik. Secara internal, hal ini pun sebenarnya tidak menguntungkan, karena mereka akan terus disibukkan oleh urusan tersebut yang ujung-ujungnya bisa mempertajam perpecahan.

Dengan demikian, Demokrat sebenarnya tidak berhasil memanfaatkan rakornas sebagai momentum untuk menaikkan kembali citranya di mata publik. Soliditas internal yang berhasil direkatkan hanyalah dibangun dari kekohesifan semu yang daya tahannya barangkali tidak terlalu kuat. Faksionalisme di tubuh Demokrat yang merupakan ganjalan terhadap kekohesifan kelompok sebenarnya masih tetap ada, yang kalau tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi bom waktu yang siap meledak.

Kalau pada tingkat soliditas Demokrat masih bermasalah, maka hal itu akan berdampak ke masalah-masalah lainnya. Masalah pembinaan kader dan peningkatan kinerja, misalnya, yang juga menjadi agenda rakornas, tentu tidak bisa dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, masih banyak masalah yang melilit partai ini sekalipun rakornas telah selesai.

Tantangan (Baru) Partai Demokrat (Jurnal Nasional 22 Juli 2011)

Partai Demokrat sekarang ini benar-benar bak berada di rumah kaca. Ia seolah menjadi titik episentrum sorotan berbagai pihak terkait dengan kasus-kasus yang menderanya secara bertubi-tubi. Posisinya sebagai partai berkuasa (the ruling party) sangat memungkinnya untuk untuk menjadi sasaran tembak. Maka, tidak aneh kalau kemudian partai yang berlambang mercy ini seakan-akan seperti “pesakitan”.

Dalam suasana seperti inilah Demokrat hendak menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang akan diselenggarakan pada 23-24Juli. Pertanyaannya adalah apa sesungguhnya yang mendesak dilakukan Demokrat dalam merespons perkembangan situasi sosial-politik yang cenderung “tidak bersahabat” dengan partai tersebut?



Konsolidasi

Salah satu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan Demokrat sekarang ini adalah konsolidasi partai. Dalam konteks ini, ada dua konsolidasi yang mesti menjadi perhatian serius. Pertama, konsolidasi organisasi. Kenyataan yang sulit dimungkiri, sekalipun berusaha ditutup-tutupi, adalah adanya perpecahan internal yang menyeruak ke permukaan.

Bahkan, perpecahan tersebut semakin jelas ketika terekam dalam acara siaran talk shaw secara live di salah sebuah stasiun televisi: satu petinggi Demokrat dengan petinggi lain saling serang secara sengit. Padahal mereka dilihat oleh ribuan bahkan jutaan pemirsa.

Kalau dilihat secara lebih jauh, perpecahan di tubuh Demokrat memiliki akarnya, yakni faksionalisme yang setidaknya dapat dirunut pada penyelenggaraan Kongres di Bandung beberapa waktu lalu. Secara sederhana, faksi tersebut dikelompokkan menjadi faksi Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Marzuki Alie. Sekalipun Anas --sebagai ketua umum terpilih-- melakukan politik akomodasi dengan merangkul semua rivalnya, namun sesungguhnya hal tersebut belum sepenuhnya teratasi.

Celakanya faksionalisme di tubuh Demokrat berbeda dengan faksionalime di partai-partai besar lainnya. Jika di partai lain faksionalisme sebagian dilandaskan pada ideologi, misalnya di PDIP, PKS --meskipun tidak menutup kemungkinan berdasarkan orientasi pragmatis-- maka di Demokrat faksionalisme tersebut tampaknya lebih didasarkan pada orientasi pragmatisme (kekuasaan).

Akibatnya, faksionalisme semacam ini sangat cair dan mudah sekali berbelok arah. Tentu saja kalau tidak dikelola dengan baik hal semacam ini bisa sangat menyulitkan Demokrat di kemudian hari. Dalam konteks ini, keterampilan komunikasi organisasi yang mesti dimainkan ketua umum partai sangat berperan. Ia harus bisa menjembatani beragam kepentingan di tubuh partai tersebut (fungsi agregasi) tanpa terjebak dalam pusaran konflik.

Kedua, konsolidasi keanggotaan. Sebagai partai berkuasa sulit dihindari bahwa Demokrat akan selalu menjadi sorotan publik terkait dengan berbagai perilaku anggotanya. Terlepas dari itu, terkuaknya sejumlah anggota Demokrat yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi dengan tokoh utamanya, Muhammad Nazaruddin --mantan bendahara umum-- jelas akan menjadi catatan buruk bagi partai ini ke depan. Dalam konteks ini, penanganan yang berlarut-larut terhadap kasus tersebut sangat tidak menguntungkan partai.

Wacana bahwa Rakornas akan dijadikan ajang “bersih-bersih partai” harus diterima dengan baik. Bahkan mesti direalisasikan sesegera mungkin. Demokrat tidak perlu sungkan --malah bila perlu mengubah AD dan ART-- dalam kerangka tindakan ini, jika mekanisme pemberian sanksi terhadap kader-kader yang nakal, misalnya, yang ada dirasa kurang progresif atau terlalu bertele-tele. Jangan sampai kesan ke tengah publik bahwa Demokrat merupakan partai “tempat berlindung” kader-kader korup.



Tantangan

Demokrat memang merupakan partai pemenang pemilu dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina menang dengan sekali putaran. Namun sejatinya hal itu tidak mesti dijadikan patokan dan kebanggan partai. Sebab, kecenderungan sekarang justeru suara Demokrat semakin menurun. Hal itu disinyalir akibat berbagai kasus yang menderanya terutama kasus Nazaruddin.

Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan bahwa jika pemilu diadakan tahun ini, Demokrat --meski masih menang-- tetapi kisaran suaranya hanya 18,9 persen. Ini berarti suara Demokrat mengalami penurunan karena pada Pemilu 2009 lalu memperoleh 20,89 persen.

Betul bahwa Pemilu 2014 masih sekitar tiga tahun lagi sehingga ada kemungkinan suara publik akan berubah pula. Namun yang selalu harus diingat Demokrat adalah bahwa memori publik yang terkait dengan kasus, terutama yang buruk, memiliki daya lekat yang panjang.

Dalam proses komunikasi, Richard E. Porter dan Larry A. Samovar (1982), menyebutkan bahwa komunikasi bersifat tidak dapat ditarik kembali (irreversible). Artinya, sekali kita mengatakan sesuatu (pesan) dan seseorang telah menerima dan men-decodenya, kita tidak dapat menarik kembali pesan tersebut dan meniadakan sama sekali pengaruhnya.

SBY, misalnya, berulangkali menyatakan, dalam hal perang terhadap korupsi Sang Presiden berdiri di barisan terdepan. Maka, kalau SBY dan Demokrat tidak dapat menindak tegas kader-kadernya yang nakal, maka itulah pesan komunikasi yang kemudian ditangkap publik dan terekam di dalam memorinya. Dampak komunikasi tersebut akan sulit ditarik kembali betatapun nanti SBY dan Demokrat berusaha menegasikan pesan pertama tersebut dengan mengirim pesan-pesan berikutnya.

Inilah sesungguhnya tantangan yang harus segera dijawab oleh Demokrat melalui Rakornas jika tidak ingin kecenderungan penurunan suara akan berlanjut, terutama pada saat Pemilu 2014 nanti.

Krisis Demokrat atau SBY (Suara Karya 14 Juli 2011)

Konperensi pers yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat terkait dengan gonjang-ganjing yang menimpa partai ini tampaknya patut dicermati. Konperensi tersebut diadakan di kediaman SBY di Cikeas yang dihadiri oleh hampir semua elite partai penguasa ini pada Senin malam kemarin.

Dari sisi konteks komunikasi, apa yang dilakukan SBY tersebut sesungguhnya lebih bernuansa internal ketimbang eksternal. Pertama, acara dilakukan di tempat kediaman pribadi, tidak di tempat umum. Kedua, saat itu SBY bertindak dalam kapasitasnya sebagai orang yang paling menentukan di partai berlambang mercedes tersebut, yakni Ketua Dewan Pembina.

Namun dari sudut tujuan komunikasi, peristiwa di atas tidak cukup hanya dimaknai sebagai kepentingan internal semata. Karena, di dalam kesempatan tersebut SBY juga menggunakannya sebagai forum “pembelaan diri” dan “curhatan” serta tidak ketinggalan pula “sentilan pedas” terhadap pihak-pihak luar yang dianggapnya ingin mengobok-obok Demokrat. Apalagi acara tersebut dikemas dalam balutan konperensi pers yang tentu saja merupakan konsumsi publik.



Menjaga Soliditas

Dari perspektif internal, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan SBY tentu dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga soliditas Partai Demokrat. Hal ini sangat relevan mengingat dalam beberapa waktu terakhir ini banyak isu terkait Demokrat yang kian memanaskan telinga SBY sebagai Ketua Dewan Pembina. Setidaknya ada tiga isu yang bisa diidentifikasi.

Pertama, isu akan diselenggarakannya Kongres Luar Biasa yang bukan tidak mungkin akan berujung pada diberhentikannya Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum. Isu ini makin santer setelah bocornya SMS yang dilayangkan salah seorang anggota Dewan Pembina, Marzuki Alie kepada SBY yang antara lain isinya meminta SBY untuk melakukan tindakan “penyelamatan partai.” Banyak pihak menduga bahwa istilah penyelamatan partai sebenarnya adalah bentuk efimisme dari penggantian ketua umum. Apalagi Marzuki adalah rival Anas dalam memperebutkan kursi nomor satu di tubuh Demokrat dalam kongres di Bandung.

Kedua, isu perpecahan di kalangan elite Demokrat. Hal ini mulai terlihat ketika kasus Nazaruddin menyeruak ke permukaan. Sebenarnya tidak ada kesepakatan bulat di kalangan mereka mengenai opsi pemecatan Nazaruddin dari kursi bendahara umum partai. Inilah yang kemudian memicu “perseteruan internal” antara Dewan Kehormatan dan Tim Pencari Fakta yang dimotori Fraksi Demokrat di DPR. Tampaknya perseteruan tersebut masih tetap berlangsung sehingga dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi terjadi perdebatan panas tanpa tedeng aling-aling antara Amir Syamsuddin dan Ruhut Sitompul yang dapat dikatakan mencerminkan dua kubu yang berbeda.

Ketiga, isu yang menyebutkan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, akan mendongkel SBY dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina. Isu ini tentu dihembus-hembuskan mengingat sejarah di masa lalu (baca: kongres Bandung) di mana SBY sesungguhnya tidak sreg dengan majunya Anas sebagai kandidat ketua umum. Terkait dengan keputusan Dewan Kehormatan yang notabene dipimpin SBY pun, diduga ada ketidaksepakatan antara SBY dengan Anas.

Namun melalui pernyataan-pernyataannya malam kemarin SBY mencoba menegasikan semua isu tersebut dan menegaskan bahwa tidak ada perpecahan di kalangan Demokrat. Secara internal tentu penegasan SBY tersebut sangat penting dan berguna untuk menenangkan semua anggota partai, sehingga soliditas partai bisa tetap terjaga.



Krisis SBY

Namun di luar kepentingan internal tersebut justeru apa yang dilakukan SBY belum memenuhi keinginan publik. SBY agaknya lebih rajin menyentil pihak-pihak luar yang dianggapnya memperkeruh kekisruhan internal Demokrat. SBY, misalnya, menyindir acara-acara talkshaw di televisi yang menurutnya kian memperuncing pertikaian. Bahkan SBY juga melayangkan kritik pada media massa secara umum yang dipandangnya hanya menggunakan sumber sepihak apalagi berupa SMS yang sulit dipertanggungjawabkan.

Bahwa SBY sebagai pribadi melayangkan kritik terhadap apapun dan siapapun tentu boleh-boleh saja karena dia memiliki hak yang sama dengan semua warga negara. Namun SBY agaknya lupa atau tidak peka terhadap tuntutan publik agar Nazaruddin yang sudah semakin “liar” tersebut diberhentikan dari partai dan DPR. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Dewan Kehormatan apa susahnya memberhentikan seorang Nazaruddin, kecuali kalau memang ada “apa-apanya” di balik itu semua.

Jadi, sekarang ini sebenarnya kuncinya terletak di tangan SBY sendiri sebagai orang yang paling menentukan di Demokrat. Maka, kalau kasus Nazaruddin dibiarkan berlarut-larut, yang kena bukan sekadar Demokrat tapi justeru SBY sendiri. Karenanya, tidak salah kalau ada yang mempertanyakan apakah sekarang ini merupakan krisis Demokrat atau SBY?

Pekerjaan Rumah PPP (Jurnal Nasional 7 Juli 2011)

Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya calon incumbent Suryadharma Ali (SDA) akhirnya memenangkan kembali perebutan kursi nomor satu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam Muktamarn PPP ke-VII yang diselenggarakan di Bandung dari 3 – 6 Juli 2011 tersebut SDA berhasil mengalahkan Ahmad Muqowam dan Ahmad Yani. Hasil akhir penghitungan menunjukkan bahwa SDA memperoleh 859 suara, Ahmad Muqowam 281 suara dan Ahmad Yani 39 suara.

Kini perhelatan besar muktamar telah usai. Namun tidak berarti permasalahan yang akan dihadapi ketua umum terpilih sirna. Justeru setiap kali sebuah perhelatan seperti muktamar digelar berbagai persoalan kemudian muncul baik secara internal maupun eksternal yang menuntut penanganan secara serius. Inilah sebenarnya pekerjaan pertama yang harus dihadapi SDA pasca terpilihnya kembali untuk jabatan ketua umum PPP periode 2011-2016..





Langkah Ke Depan

SDA yang terpilih untuk yang kedua kalinya tentu tidak bisa bersantai pasca muktamar karena ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera ditanganinya. Ada beberapa hal yang menuntut perhatian SDA secara serius. Pertama, konsolidasi internal partai. Setiap kontestasi kekuasaan senantiasa meninggalkan residu yang tidak dapat diabaikan begitu saja, yang kalau tidak disikapi dengan bijak bisa menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu siap meledak.

Dalam konteks ini, PPP barangkali cukup diuntungkan karena konflik-konflik internal yang terjadi selama ini tidak setajam seperti yang terjadi di partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP yang berakhir dengan keluar dari partai. Kecil kemungkinan bahwa konflik pasca muktamar akan berimbas pada kekecewaan yang berakhir dengan pengunduran diri dari partai. Namun meskipun begitu SDA tetap harus menyikapinya secara bijak sehingga potensi perpecahan bisa ditekan seminimal mungkin, misalnya dengan politik akomodatif sehingga bisa merangkul semua pihak.

Kedua, reposisi partai di dalam koalisi. Sudahnya saatnya PPP mereposisi keikutsertaannya di dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab). Selama ini keberadaan partai yang berlambang Kabah ini tampaknya tidak terlalu menonjol di legislatif, bahkan ia “tenggelam” di antara partai anggota koalisi lainnya. Suara partai ini nyaris tak terdengar padahal berbagai isu bermunculan terkait dengan keberadaan setgab.

Realitas tersebut secara tegas memperlihatkan betapa PPP tidak memiliki daya tawar (bargaining position) yang kuat. Publik Indonesia yang kritis tentu akan menangkap bahwa orientasi partai ini hanyalah pragmatisme kekuasaan semata, sesuatu yang tidak sejalan dengan karakter keislaman yang seharusnya menjadi modal dasar partai ini. Kalau ini dibiarkan berlanjut bukan tidak mungkin akan menjadi semacam investasi politik yang tidak menguntungkan di masa mendatang setidaknya untuk Pemilu 2014.

Ketiga, identifikasi kepartaian. PPP yang tetap mempertahankan asas keislaman partai di tengah kerumunan partai-partai baik yang berasaskan Islam maupun yang berbasiskan massa Islam, tentu akan terbantu kalau memiliki karakter keislaman yang jelas. Ini diperlukan untuk menjadi faktor pembeda (diferensiasi) dari partai-partai yang berpolakan serupa. Kalau tidak, umat Islam di negeri ini tidak merasa harus berpaling ke PPP.

Kegamangan PPP dalam menghadapi perkembangan situasi sosial-politik di Indonesia menjadikan partai ini tidak memiliki karakter yang jelas seperti dimaksud. Akibatnya, partai menjadi seolah kehilangan orientasi untuk menampilkan isu-isu yang menarik bagi umat Islam. Pilihan untuk mengedepankan masalah syariat Islam, misalnya, tampaknya lebih dilatarbelakangi oleh adanya kegamangan tersebut, bukan merupakan manifestasi dari karakter tersebut.

Sebenarnya kalau pengurus PPP berpikir serius banyak isu yang bersifat umum tetapi bisa diolah secara kreatif dari perspektif keislaman. Dengan kata lain, tanpa perlu melepaskan identitas keislamannya, partai ini bisa mengemas berbagai isu tersebut secara lebih menarik. Misalnya, tentang korupsi yang kini menjadi musuh nomor satu di republik ini, seharusnya bisa diolah PPP menjadi isu yang sangat menarik sekaligus menjadi komitmennya.

Problem

Namun demikian, ada problem yang dihadapi SDA dalam membawa PPP ke jajaran partai-partai besar. Salah satu problem tersebut justeru berasal dari personalitas SDA itu sendiri. Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua problem atau kelemahan yang dimiliki SDA dalam konteks tersebut.

Pertama, oportunistik-pragmatis. Kesan yang diperlihatkan SDA dalam memimpin PPP selama ini sangat kental dengan oportunistik-pragmatis. Orientasi kekuasaan pada diri SDA, seperti menduduki jabatan menteri, sangat menonjol sehingga dalam berbagai kesempatan ia lebih kerap menampilkan dirinya sebagai safety player tanpa memerhatikan secara seksama reaksi konstituen partai. Dengan kata lain, ia lebih memilih berada di zona nyaman ketimbang berjibaku membesarkan partai.

Kedua, minus kreativitas. Harus diakui bahwa PPP di bawah kepemimpinan SDA sangat minim dengan kreativitas dibandingkan dengan partai-partai lain, padahal kreativitas sangat penting untuk mencari berbagai terobosan dan sekaligus juga bisa dijadikan investasi politik di masa depan. Ketika PAN, misalnya, mengintroduksi gagasan tentang konfederasi partai dalam rangka merespons ide penyederhanaan partai politik, partai lain mengajukan alternatif seperti fusi (Golkar) dan asimilasi (demokrat). Sementara PPP praktis diam saja. Padahal terobosan-terobosan pemikiran semacam ini akan mendapatkan respons positif dari publik.

mengkritisi Konsistensi Presiden SBY (Suara Karya, 15 Juni 2011)

“Saya memperkenalkan diri. Nama saya Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan saya, Presiden hasil Pemilu 2004-2009. Saya bukan capres 2014. Istri dan anak-anak saya juga tidak akan mencalonkan diri. Biarkan rakyat dan demokrasi yang bicara 2014 mendatang. Setiap orang memiliki hak dan peluang untuk running ke RI 1...”

Inilah salah satu petikan dari pidato Presiden SBY yang disampaikan saat membuka Indonesia Young Leaders Forum di Hotel Ritz-Carlton Jakarta pada hari Kamis, 9/6 yang lalu. Ucapan SBY tersebut segera mendapatkan respons publik, khususnya yang terkait dengan penekanannya bahwa ia, anak dan istrinya tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014.

Pertanyaannya adalah benarkah SBY tidak sedang mempersiapkan keluarganya, terutama istrinya untuk maju pada pilpres 2014? Bahkan tidak hanya anak dan istri, SBY pun menegaskan tidak sedang mempersiakan siapapun di kalangan Partai Demokrat untuk menjadi capres?



Strategi Pencitraan

Bagi kalangan yang berpandangan optimis, apa yang disampaikan SBY tersebut dipandang sebagai langkah yang positif dari seorang tokoh politik (negarawan). Bahwa SBY sedang memainkan peran keteladanan politik sebagai seorang yang berkomitmen terhadap demokrasi. SBY agaknya tidak mau terperosok ke dalam anomali-anomali demokrasi yang justru kian menonjol di era reformasi ini, antara lain adalah politik dinasti.

Pada tataran internal Demokrat sendiri, ucapan SBY yang disampaikan secara lugas tersebut bisa dianggap sebagai komitmennya untuk memberikan peluang yang sama kepada setiap kader Demokrat. Bahwa siapapun kader partai yang berlambang bintang ini sepanjang memenuhi kualifikasi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia dapat menjadi capres pada 2014. Dari segi momentum, agaknya juga tepat karena sekarang ini Demokrat tengah dilanda kemelut internal akibat kasus yang melibatkan Nazaruddin yang boleh jadi memiliki muara pada pemilu mendatang.

Namun, bagi kalangan yang berpandangan pesimis, penegasan SBY di atas tidak serta merta dianggap sebagai sebuah janji yang akan ditepatinya. Setidaknya ada sejumlah alasan yang mendukung pendapat ini. Pertama, ucapan SBY tersebut sesungguhnya masih memiliki makna ganda karena kalimatnya bersayap. Memang ia menegaskan bahwa anak dan istrinya tidak akan mencalonkan diri, tetapi di kalimat berikutnya ada ungkapan, “biarkan rakyat dan demokrasi yang bicara...” Tentu kalimat ini sah saja kalau ditafsirkan bahwa seandainya rakyat menghendaki keluarga (istri)nya menjadi capres, maka kalimat sebelumnya bisa ternegasikan.

Kedua, dari perspektif waktu, kalimat “saat ini ia tidak sedang mempersiapkan...” dapat pula ditafsirkan secara berbeda dengan apa yang ditegakan SBY. Saat ini, artinya tahun 2011, boleh jadi SBY memang tidak sedang mempersiapkan capres, tapi bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya, sebab masih ada jarak sekitar dua tahun lebih ke waktu pemilu. Tidak ada jaminan bahwa di dalam interval waktu tersebut Ketua Dewan Pembina Demokrat tidak mempersiapkan kadernya untuk menjadi penerusnya. Logika politik tampaknya sulit menerimanya apalagi Demokrat merupakan partai penguasa.

Ketiga, bukan tidak mungkin bahwa ucapan SBY tersebut semata-mata sebagai testing the water untuk melihat reaksi publik khususnya terhadap pencalonan Ani Yudhoyono sebagai capres. Pada waktunya nanti, jika ternyata reaksi publik tidak begitu keras terhadap istrinya, tidak mustahil akan ada perubahan sikap dari SBY. Di dalam dunia politik tidak ada sesuatu yang konstans; selalu ada dinamika yang kerap menawarkan berbagai kemungkinan.

Keempat, SBY agaknya sudah terlanjur lekat dengan pencitraan. Karenanya apapun yang dilakukannya, kerap dianggap sebagai bentuk dari politik pencitraan, termasuk ucapannya di atas. Kenyataannya adalah bahwa sekarang ini Demokrat mengalami kemerosotan yang cukup signifikan seperti yang diperlihatkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini. Penyebab utamanya adalah terkuaknya kasus Nazaruddin.

Sebagai Ketua Dewan Pembina tentu SBY juga akan terkena imbas politik dari menurunnya kepercayaan publik terhadap partai yang didirikannya. Apalagi SBY juga dipandang ikut andil dalam penurunan citra partai tersebut, karena sikap kurang tegasnya kepada kader-kader Demokrat yang bermasalah, padahal ia selalu berjanji berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Oleh karena itu, janji SBY untuk tidak mencalonkan anak dan istrinya, boleh jadi sekadar strategi menaikkan kembali citra Demokrat.

Sebagai publik tentu kita patut menunggu bagaimanakah komitmen SBY terhadap janjinya tersebut. Apakah akan ada konsistensi ataukah ini cuma sekadar janji yang hanya manis pada tataran verbal.

"Lampu Kuning" Reformasi (Suara Karya, 25 Mei 2011)

Hasil survei yang dilakukan Indo Barometer belum lama ini yang mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai rejim Orde Baru daripada Orde Reformasi agaknya telah menohok publik. Disebutkan bahwa sebanyak 40,9 persen dari total 1200 responden di 33 provinsi yang menyukai Orde Baru. Sementara yang menyukai kondisi saat ini sebesar 22,8 persen. Khusus bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, hasil survei tersebut jelas merupakan tamparan yang cukup keras.

Hasil survei juga menyebutkan bahwa dari enam Presiden Indonesia, rakyat ternyata lebih menyukai mantan Presiden Soeharto dengan angka sebesar 36,5 persen. Presiden SBY sendiri hanya berada di urutan kedua dengan 20,9 persen, berikutnya Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, BJ Habibie 4,4 persen dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 4,3 persen. Kalau ditarik garis, maka terdapat korelasi positif antara pemerintahan yang disukai yakni Orde Baru dan presiden yang disukai yaitu Soeharto.



Kegagalan Reformasi?

Pertanyaan penting dalam konteks ini, terlepas dari kelemahan survei terutama terkait metode pembandingan antar orde yang kurang tepat dengan responden yang tidak merasakan keseluruhan orde itu, adalah apakah hasil survei Indo Barometer di atas bisa dijadikan tolak ukur bahwa reformasi yang telah dijalankan bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga belas tahun sejak jatuhnya rejim Orde Baru dianggap gagal? Kalau demikian, apakah hal ini akan dijadikan pintu masuk bagi sebagian rakyat Indonesia untuk merindukan kembali model kehidupan Orde Baru?

Harus diakui bahwa gerakan reformasi selama masa transisi demokrasi di republik ini masih jauh dari harapan. Tiga tahapan yang mesti dilalui masa transisi untuk menuju negara demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan Guillermo 0’Donnel dan Philip C. Schmitter dalam Transisi Menuju Demokrasi (1993), yakni liberalisasi -proses pengefektifan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok dari tindakan sewenang-wenang negara-, konsolidasi dan pelembagaan demokrasi agaknya masih mengandung banyak problem.

Pada tahapan liberalisasi, yakni Indonesia boleh dikatakan cukup berhasil. Namun pada dua tahapan berikutnya, yakni konsolidasi dan pelembagaan demokrasi masih banyak problem. Masalah design kenegaraan antara presidensialisme dan parlementarisme, misalnya, sampai saat ini masih belum jelas. Meski menganut sistem presidensial, tetapi praktik parlementer justeru sangat menonjol sehingga menimbulkan berbagai kerumitan konstitusional. Begitu juga dengan kehidupan kepartaian dan politik secara umum yang dicengkeram virus oligarki, kartelisasi, elitisme politik sehingga kian menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat. Kondisi inilah yang justeru menjadi penghalang upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sesungguhnya paling dituntut dari Orde Reformasi.

Dengan torehan prestasi Orde Reformasi yang belum membanggakan tersebut, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian rakyat Indonesia kurang memberikan apresiasi. Hanya aspek hukum sajalah yang agaknya masih diberikan apresiasi positif oleh rakyat yang barangkali disebabkan oleh dibongkarnya kasus-kasus hukum yang melibatkan sejumlah tokoh. Namun inipun sebenarnya kalau dicermati secara lebih jauh, pembongkaran beberapa kasus tersebut masih bersifat pinggiran atau kelas teri. Justeru kasus-kasus besar menguap begitu saja, seperti kasus Century, rekening gendut polisi, IPO Krakatau Steel dan sebagainya.



Romantisme Historis

Yang dikhawatirkan dari pencapaian reformasi yang masih memprihatinkan tersebut adalah adanya kerinduan dari sebagian rakyat Indonesia terhadap kehidupan masa Orde Baru sehingga menghendaki agar model kehidupan seperti itu dipraktikkan lagi untuk konteks sekarang. Namun yang lebih dikhawatirkan lagi adalah jika realitas ini dijadikan momentum oleh partai politik pengusung roh Orde Baru untuk terus menerus dikampanyekan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Orde Baru lebih baik dari Orde Reformasi.

Akibatnya, bukan tidak mungkin akan muncul sikap romantisme historis di kalangan rakyat Indonesia. Yaitu sikap yang hanya mengagung-agungkan kejayaan masa lalu, dalam konteks ini Orde Baru, tanpa melakukan sikap kritis terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukannya. Pembungkaman suara rakyat, penahanan tanpa proses pengadilan, penculikan aktivis, pembunuhan warga dan sebagainya akan diabaikan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika memandang berbagai problem saat ini bukan warisan dari Orde Baru. Sikap seperti ini tentu sangat berbahaya jika menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, munculnya suara-suara yang mendambakan kehidupan ala Orde Baru seperti yang diperlihatkan hasil survei tersebut jelas harus dijadikan sebagai peringatan atau bahkan lampu kuning bagi pemerintahan sekarang untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam rangka memenuhi tuntutan rakyat. Kalau saja pemerintahan fokus pada upaya pemberantasan korupsi secara konkrit, bukan hanya pada janji yang rajin diumbar SBY, apresiasi rakyat terhadap pemerintah pasti akan tinggi, sebab korupsi telah menjadi musuh nomor satu bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila dan Sokoguru Demokrasi (Politika, Jurnal Nasional 25 Mei 2011)

Pembicaraan tentang pentingnya Pancasila dengan segenap nilai-nilainya dalam konteks kehidupan kebangsaan dan kenegaraan beberapa waktu belakangan ini ramai diangkat di berbagai forum. Pancasila, yang sejak masa reformasi hingga saat ini seolah telah terpinggirkan dalam dinamika kehidupan negeri ini, kini agaknya mulai dirindukan kembali kehadirannya.

Realitas ini tampaknya dipicu oleh berbagai peristiwa di bumi Indonesia yang memperlihatkan dengan gamblang betapa masyarakat di republik ini telah kehilangan jiwa Pancasilanya. Berbagai fenomena kekerasan dan tindakan anarkis di kalangan masyarakat Indonesia yang dalam derajat tertentu kerap mengakibatkan korban jiwa merupakan petanda betapa nilai-nilai humanisme yang diusung Pancasila tidak lagi menjadi spirit kehidupan mereka.

Dan fenomena yang paling mutakhir dan sekaligus sangat mengkhawatirkan adalah munculnya gerakan radikalisme antara lain organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang telah berhasil “menyeret” sebagian masyarakat Indonesia. Ideologi yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mendirikan negara Islam ini jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi NII bahkan disinyalir telah memasuki ranah pendidikan, baik pada tingkah sekolah maupun perguruan tinggi, yang notabene diisi generasi muda penerus bangsa, sehingga ini merupakan ancaman yang sangat serius.

Dari berbagai peristiwa di atas timbullah kembali kesadaran di kalangan sebagian masyarakat Indonesia bahwa Pancasila sesungguhnya sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangkal berbagai macam ancaman yang justeru berasal dari kalangan internal sendiri.



“Korban” Reformasi

Sebagaimana diketahui bahwa sejak runtuhnya rejim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 berbagai hal yang terkait dengan rejim ini diubah sedemikian rupa. Mulailah bangsa Indonesia memasuki era reformasi yang melakukan banyak perubahan fundamental, baik yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan maupun kehidupan politik secara umum.

Salah satu hal yang menjadi “korban” reformasi tersebut adalah Pancasila dan hal-hal yang terkait dengannnya. Jika di masa Orde Baru Indonesia memiliki Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas untuk mengatur dan mengoordinasikan kegiatan sosialisasi Pancasila dari pusat sampai daerah, maka lembaga tersebut kini telah dihapuskan.

Begitu pula penyelenggaraan penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) baik di kalangan perguruan tinggi maupun masyarakat dihapus. Bahkan mata kuliah seperti Filsafat Pancasila, Kewiraan untuk tingkat perguruan tinggi dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk tingkat sekolah juga dihapus. Yang tersisa adalah Civic Education untuk kalangan kampus dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk anak-anak sekolah.

Para pengusung reformasi melihat dengan jelas berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan Pancasila. Proses penanaman nilai-nilai Pancasila, misalnya, dilakukan secara indoktrinatif yang menekankan komunikasi satu arah (one way communication) sehingga masyarakat hanya sekadar menerima secara apa adanya (taken for granted) tanpa diberikan peluang untuk melakukan kritisisme. Tidak ada proses dialogis apalagi perdebatan seru.

Sementara pada level kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Pancasila digunakan penguasa-penguasa Orde Baru sebagai alat politik untuk menakuti-nakuti warga demi melanggengkan kekuasaan mereka. Penguasa Orde Baru, misalnya, dengan mudah memberikan cap atau label kepada orang-orang yang tidak disukainya sebagai anti Pancasila atau tidak Pancasilais.

Realitas seperti inilah yang tampaknya dipandang oleh para pengusung reformasi sebagai bentuk penyimpangan sehingga Pancasila kemudian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang esensial. Maka sejak era reformasi pembicaraan-pembicaraan tentang Pancasila jarang terdengar seolah raib dari benak masyarakat Indonesia. Namun setelah reformasi berlangsung selama tiga belas tahun suara kerinduan masyarakat terhadap Pancasila kembali menguat.



Sokoguru Demokrasi

Pertanyaannya adalah masihkah Pancasila relevan untuk kehidupan politik Indonesia yang kini dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India? Dengan kata lain, bagaimanakah sebenarnya memosisikan Pancasila dengan demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia?

Menurut hemat penulis, demokrasi yang berasal dari Barat (kapitalisme-liberal) justeru harus diadaptasikan dengan ruang di mana demokrasi itu ingin diterapkan sehingga terjadi kontekstualisasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia yang heterogen, dari segi agama, suku, bahasa dan sebagainya, Pancasila sesungguhnya merupakan pilihan paling pas sehingga bisa menjadi sokoguru demokrasi untuk dikontekstualisasikan di negeri ini.

Kelima sila yang terdapat di dalam Pancasila kalau dibedah satu persatu jelas bisa menjadi spirit demokrasi, terutama untuk diterapkan di negara Indonesia. Ketuhanan atau spiritualitas, kemanusiaan atau humanisme, keragaman, musyawarah dan keadilan adalah prinsip utama dari demokrasi. Jika kelima prinsip tersebut mampu diejawantahkan oleh segenap elemen bangsa, besar kemungkinan berbagai kasus kekerasan, radikalisme dan sebagainya tidak akan terjadi di republik ini.

Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) secara tegas mengatakan bahwa Pancasila merupakan jatidiri kebangsaan Indonesia, karena itu upaya pencarian terhadap akar sejarah bangsa, dalam hal ini dengan menggali kembali nilai Pancasila, harus terus dilakukan. Tidak ada satupun negara yang dapat maju kecuali bangsa yang bisa menemukan kembali jatidirinya dengan menggali kembali akar-akar sejarah bangsanya. Pengalaman-pengalaman bangsa lain seperti Eropa yang berakar pada perdebatan filsuf Yunani Kuno, India dengan salah satu karya monumentalnya “Rewriting India” pada 1979 dan Jepang dengan akar restorasi Meiji sesungguhnya bisa menjadi inspirasi yang berharga.

Maka, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk merevitalisasi dan mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai akar kebangsaan negeri ini sehingga ia akan menjadi sokoguru dari demokrasi yang tengah berlangsung. Namun, tentu upaya tersebut harus dilakukan dengan formulasi dan metode baru yang berbeda dengan yang pernah dilakukan rejim Orde Baru. Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang perlu ditekankan dalam konteks ini.

Pertama, pengkajian dalam rangka menggali akar kebangsaan Indonesia di dalam Pancasila mesti dilakukan secara ilmiah sehingga pemahaman-pemahaman yang muncul bersifat rasional. Bung Karno sebagai pencetus Pancasila pada 1 Juni 1945 sendiri sebenarnya sampai pada pemikiran brilian tersebut melalui penelusuran ilmiah. Maka, sudah bukan masanya lagi memandang Pancasila sebagai mitos yang dianggap suci atau keramat sehingga mengakibatkan ketakutan bagi siapapun yang hendak mengkajinya seperti di masa lalu.

Kedua, menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan adanya tafsiran yang tidak seragam. Kesalahan Orde Baru adalah mencoba melakukan hegemonisasi makna dengan penafsiran tunggal terhadap Pancasila, sehingga penafsiran yang benar hanyalah versi pemerintah. Supaya tidak terjadi lagi hal seperti itu, maka proses penanaman ideologi Pancasila untuk saat sekarang harus bersifat dialogis dan terbuka.

Ketiga, seandainya pun diperlukan lembaga seperti BP7 untuk sosialiasi Pancasila dan pilar kebangsaan lainnya, maka tugasnya tidak lagi bersifat sentralistik dari pusat sampai daerah. Cukuplah BP7 sebagai koordinator, sementara daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan tugasnya. Yang paling penting, jangan sampai lembaga ini menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila karena itu akan menjadi awal penyimpangan.

Dengan demikian, kalau Pancasila ditempatkan pada posisinya yang tepat dan diperlakukan secara tepat pula, maka ia akan menjadi sokoguru demokrasi yang saat ini telah menjadi pilihan seluruh anak bangsa.

Politik Romantisme Tommy (Pikiran Rakyat, 9 Mei 2011)

Setelah kurang lebih tiga belas tahun usia reformasi di negeri ini, tahapan transisi menuju demokrasi, yakni liberasi, konsolidasi dan pelembagaan demokrasi, tampaknya masih jauh dari harapan. Sekalipun tahapan liberasi politik sudah banyak dirasakan rakyat Indonesia, namun konsolidasi dan pelembagaan demokrasi masih menuai banyak masalah. Akibatnya, demokrasi yang dicita-citakan segenap rakyat belum menampakkan wajah substantifnya, kecuali sebatas demokrasi prosedural.
Gejala oligarki dan kartelisasi politik, yang jelas-jelas merupakan ancaman demokrasi, alih-alih mengendur, justeru kian mengental di dalam praktik perpolitikan Tanah Air. Kencenderungan ini kian diperparah dengan maraknya model politik transaksional. Realitas ini secara jelas memperlihtakan bahwa ada masalah dalam tahapan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang sejatinya banyak berperan di dalam tahapan tersebut justeru menjadi bagian dari pusaran anomali demokrasi tersebut.
Bagi sebagian kalangan, apa yang digambarkan di atas dianggap sebagai bukti bahwa reformasi tidak berhasil. Karenanya, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak dari mereka yang merindukan kembali kehidupan di masa-masa Orde Baru di mana pertumbuhan ekonomi terjadi dan stabilitas politik terjaga. Suara-suara kerinduan tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertumbuh jika demokrasi yang hendak ditegakkan di masa reformasi ini tak kunjung berhasil.
Tampaknya dalam konteks seperti inilah kita bisa memahami kemunculan Partai Nasional Republik (Nasrep) yang mengusung nama putera bungsu mantan Presiden Soeharto, Tommy Hutomo Mandala Putera, sebagai capres 2014. Trah Soeharto bagi sebagian rakyat Indonesia jelas masih memiliki magnet yang cukup besar atau masih layak jual dalam politik. Namun seberapa besar Tommy dan Nasrep dapat meraih simpati publik Indonesia setidaknya untuk tiga tahun ke depan, inilah barangkali yang perlu dicermati.
Di satu sisi, Tommy memang memiliki kelebihan yang patut dipertimbangkan terutama oleh rival-rival politiknya. Selain mewakili trah cendana yang telah begitu lama berkuasa, Tommy juga memiliki faktor finansial yang kuat. Dengan kecenderungan politik transaksional, kekuatan finansial tersebut jelas bisa dijadikan alat politik yang ampuh bagi Tommy. Namun masalahnya, cukupkah dua faktor yang dimiliki Tommy tersebut untuk bersaing di tengah banyaknya partai dan tokoh politik di negeri ini?
Menurut penulis, perjalanan politik Tommy akan menghadapi kendala berat. Di luar dua kelebihan di atas, kekurangan atau faktor negatif Tommy agaknya tidak kalah banyak. Pertama, pengalaman politik Tommy masih sangat kurang. Selama ini ia lebih banyak bergelut di dunia bisnis sehingga ia lebih dikenal sebagai pebisnis ketimbang politisi. Pada saat pemilihan Ketua Umum Golkar beberapa waktu yang lalu, misalnya, Tommy yang sempat digadang-gadang dapat meraup dukungan, justeru tidak mendapatkan suara sama sekali. Ini memperlihatkan betapa awamnya Tommy dalam politik.
Kedua, Tommy juga memiliki persoalan yang terkait dengan citra personalitas dirinya yang sangat mungkin bisa dijadikan sasaran serangan rival politiknya. Kasus pembunuhan seorang hakim yang sempat menyeret Tommy ke balik sel penjara tentu dapat menjadi ganjalan yang tidak ringan. Belum lagi citra buruknya sebagai orang yang suka gonta-ganti pasangan. Mbak Tutut yang lebih baik citra personalnya saja ternyata tidak mampu bersaing melalui partai PKPB baik di Pemilu 2004 maupun 2009.
Ketiga, mengandalkan ketrahcendanaan tampaknya juga tidak akan berarti banyak. Bahwa ada sebagian masyarakat Indonesia yang memang merindukan kehidupan di masa-masa Orde Baru memang tidak bisa disangkal, namun seberapa banyak kelompok masyarakat yang berpikir seperti itu, mungkin agaknya perlu dianalisis lagi. Dan satu hal yang mesti dicermati, boleh jadi suara-suara kerinduan tersebut pada akhirnya terjebak pada romantisisme historis belaka. Yakni sikap yang hanya mengagungkan masa kejayaan Orde Baru tanpa dibarengi pemikiran kritis terhadap berbagai praktik penyimpangannya. Jika ini dicoba dieksploitasi Nasrep dengan mengusung Tommy, maka kemungkinan besar akan sia-sia belaka.

Politik Minus Ideologi (Politika, Jurnal Nasional 27 April 2011)

Apakah sesungguhnya tujuan orang berpolitik: apakah sekadar mencari dan mempertahankan kekuasaan ataukah ada tujuan yang lebih luhur, misalnya memperjuangkan sebuah nilai (ideologi)? Pertanyaan ini begitu penting dan sentral di dalam kehidupan politik, khususnya jika dikaitkan dengan praktik kehidupan politik di Indonesia yang sekaligus dapat memperlihatkan bagaimana tujuan para politisi di negeri ini.
Dalam konteks ini, Amien Rais, pernah melontarkan pemikiran tentang high politics dan low politics. Yang pertama terkait dengan pengejwantahan nilai-nilai luhur politik seperti keadilan, kesejahteraan, kebaikan dan semacamnya. Sebaliknya, yang kedua terkait dengan pragmatisme politik yang dalam derajat tertentu lebih menonjolkan sisi kerakahan manusia berupa syahwat politik untuk berkuasa.
Apa yang dilontarkan Amien Rais di atas tampaknya masih sangat relevan dengan situasi perpolitikan di negeri ini. Kedua model politik tersebut tampaknya senantiasa saling berkontestasi dalam kehidupan politik Indonesia. Tetapi agaknya kecenderungan yang kedua selalu lebih dominan dari yang pertama. Sampai hari ini pun kita sulit mendapatkan politisi-politisi yang benar-benar memperjuangkan nilai-nilai adiluhung di dalam kehidupan politik mereka.
Dalam perspektif salah seorang teoretikus komunikasi politik, Dan Nimmo (1999) dalam bukunya Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media politisi, dalam hal ini sebagai komunikator politik, terbagi ke dalam dunia jenis, yaitu politisi wakil dan politisi ideolog.
Politisi wakil adalah politisi yang menjadi perwakilan artikulasi politik individu atau kelompok. Politisi semacam ini umumnya tidak memiliki militansi, loyalitas dan intensitas dalam artikulasi politiknya, namun mereka mendapatkan kemudahan akses ke dalam jabatan publik. Yang termasuk ke dalam kelompok ini di antaranya adalah para selebriti yang belakangan ini memasuki arena politik secara masif.
Sedangkan politisi ideolog adalah politisi-politisi yang merepresentasikan nilai-nilai normatif dan loyalitas individu atas perjuangan politik kolektif yang diusung partai politik. Politisi semacam inilah yang sesungguhnya telah mengalami ujian militansi, loyalitas dan intensitas artikulasi politik di dalam kehidupan politik mereka, sehingga ketika mendapatkan akses ke suatu jabatan publik, misalnya, betul-betul merupakan hasil perjuangan.
Namun sayangnya politisi-politisi ideolog di republik ini tampaknya makin hari makin berkurang. Sebaliknya, politisi-politisi wakil kian mewabah baik pada level eksekutif maupun legislatif.


Lompat Pagar
Salah satu kecenderungan politik yang memperlihatkan betapa kian minimnya politisi-politisi ideolog adalah fenomena loncat pagar di kalangan para politisi atau yang biasa juga disebut politisi bajing loncat. Mereka, misalnya, dengan enteng berpindah dari satu kendaraan politik ke kendaraan politik yang lain karena tidak lagi menemukan kesempatan untuk meningkatkan karir politik mereka kalau tetap di kendaraan yang lama. Bagi mereka, berpolitik bukanlah memperjuangkan nilai-nilai ideal, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dengan mudah.
Kasus berpindahnya Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf, dari partai yang telah membesarkan namanya, PAN, ke Partai Demokrat sesungguhnya bukanlah kasus yang pertama. Banyak politisi-politisi lain yang juga menyeberang dari partai satu ke partai lain. Antara lain, Yuddy Chrisnandi berpindah dari Golkar ke Hanura, Permadi dari PDIP ke Gerindra, Muchdi Pr dari Gerindra ke PPP. Kasus serupa juga pernah terjadi di masa Orde Baru seperti yang pernah dilakukan oleh politisi Ridwan Saidi, yang bahkan mengalami perpindahan secara bolak-balik antara Golkar dan PPP.
Apa yang dilakukan oleh para politisi lompat pagar tersebut setidaknya dapat dianalisis dari dua hal. Pertama, dorongan pragmatisme politik. Kecenderungan ini tampaknya merupakan motif yang sangat dominan. Motivasi Dede Yusuf menyeberang ke Demokrat, misalnya, jelas, seperti yang pernah ditegaskannya, karena ingin menjadi orang nomor satu di Propinsi Jawa Barat sehingga memerlukan kendaraan politik yang besar. Bahkan boleh jadi ia sedang merintis karir politik yang lebih tinggi lagi. PAN di matanya tidak cukup punya kekuatan untuk menyokong ambisinya itu.
Kedua, adanya hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara politisi lompat pagar dan partai politik yang ditujunya. Bagi si politisi, dengan berpindah ke partai yang lebih besar tentu peluang untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi semakin terbuka lebar. Sedangkan bagi partai terkait, masuknya seorang tokoh yang sudah jadi tentu mempermudah kerja partai. Partai tidak harus bersusah payah mengkader seseorang dari bawah untuk suatu jabatan tertentu, sebaliknya ia tinggal menerima dan memolesnya saja.

Degradasi Pencitraan
Dari satu sisi, fenomena politisi lompat pagar memberikan keuntungan baik bagi politisi itu sendiri maupun bagi partai politik yang ditujunya. Namun sesungguhnya keuntungan yang ditimbulkannya hanya bersifat sesaat saja atau jangka pendek. Sebaliknya dari perspektif jangka panjang, hal semacam itu justeru bisa menyimpan investasi yang buruk terkait dengan pencitraan di mata publik.
Pertama, pada level individu, politisi yang dikenal sebagai politisi lompat pagar atau bajing loncat akan dipandang sebagai tokoh yang hanya mementingkan diri sendiri, haus kekuasaan dan lupa asal-usul. Dalam konteks ini, dapat dipahami mengapa salah seorang petinggi PAN menyindir Dede Yusuf untuk tidak menjadi seorang Malin Kundang. Citranya akan kian buruk manakala ia tidak berhasil mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya saat berpindah ke partai lain.
Kedua, pada level institusi dalam hal ini partai politik. Sekalipun memperoleh keuntungan dengan adanya tokoh yang sudah jadi, namun sesungguhnya partai sedang mengalami kekeroposan ideologi secara sedikit demi sedikit. Partai tidak lagi dipandang sebagai kawah candradimuka untuk menggodok politisi-politisi ideolog yang memperjuangkan nilai-nilai bersama. Bahkan partai sendiripun sebagai institusi sudah ikut dalam buaian arus pragmatisme.
Ketiga, pada level kehidupan politik secara umum dikhawatirkan akan berimplikasi pada terkikisnya nilai-nilai idealitas politik. Politik pada tataran ini lebih dipandang sebagai area petualangan yang akan melahirkan avonturir-avonturir politik. Para avonturir politik ini biasanya sangat mengedepankan kepentingan pribadi.
Jika politik berlangsung seperti ini, maka pembusukan politik di republik ini sesungguhnya sedang berlangsung. Politik menjadi hampa, tanpa makna. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ketidakpercayaan politik (political distrust) di kalangan masyarakat terhadap politisi sekarang ini kian menguat. Sebagian masyarakat bahkan sudah muak dengan perilaku para politisi kita yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Seolah-olah politik berada di dunia tersendiri dan masyarakat berada di dunia yang lain.

Capres Independen dan Wajah Ganda Konstitusi (Pikiran Rakyat, 4 April 2011)

Edit
"Capres Independen dan Wajah Ganda Konstitusi" Harian Pikiran Rakyat Senin, 4 April 2011
by Iding R. Hasan on Monday, April 4, 2011 at 9:22am

Wacana tentang calon presiden dan wakil presiden independen atau bukan dari jalur partai politik (parpol) kembali mencuat dalam perpolitikan nasional. Hal ini mengemuka setelah diinisiasi oleh kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seiring dengan kehendak mereka untuk melakukan amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dewasa ini hampir semua kalangan membicarakan mengenai peluang diakomodasinya capres independen tersebut. Partai-partai politik yang merasa paling berkepentingan dengan masalah tersebut memberikan respons yang beragam. Ada yang menyambutnya dengan baik, namun ada pula yang menolaknya dengan dalih waktunya tidak tepat, mengesampingkan parpol dan sebagainya.



Wacana tentang capres independen tersebut sesungguhnya memiliki persoalan dengan konstitusi di republik ini yang memiliki wajah ganda. Di satu sisi konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih untuk suatu jabatan publik. Oleh karena itu, siapapun warga negara Indonesia berhak untuk menjadi calon presiden.

Namun pada sisi lain, konstitusi juga mengatakan bahwa seseorang yang hendak menjadi calon presiden Indonesia harus melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik. Ini ditegaskan dalam Pasal 6A Ayat 2, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Dengan adanya pasal ini dapat diartikan bahwa tidak semua warga negara berhak dan dapat menjadi calon presiden Indonesia kecuali ia mendapatkan persetujuan dari sebuah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Kalau tidak, seberkualitas apapun seorang warga negara itu, maka tidak ada peluang baginya untuk menjadi capres selama tidak dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik.

Wajah ganda konstitusi ini pernah menjadi pil pahit bagi salah seorang warga negara Indonesia yang berusaha untuk mencalonkan diri sebagai presiden melalui jalur independen, yakni Fadjroel Rachman. Setelah peluangnya tertutup untuk menjadi capres, ia mengajukan uji materi (judicial review) tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008. Tetapi kemudian MK menolak uji materi tersebut dengan berpatokan pada konstitusi khususnya Pasal 6A Ayat 2.

Penolakan MK tersebut dapat diartikan bahwa selama pasal tersebut belum diubah, maka tidak mungkin jalur independen dapat dikabulkan. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk memberi peluang bagi capres independen adalah melakukan amandemen konstitusi. Dari perspektif ini, rencana amandemen kelima UUD 1945 yang akan dilakukan kalangan DPD merupakan hal yang sangat tepat, terutama dalam kaitannya dengan capres independen.



Di antara kalangan yang paling risih dengan wacana capres independen adalah parpol. Penolakan itu, hemat penulis, tampaknya didasari oleh cara berpikir parpol yang negatif. Mereka memandang capres independen sebagai ancaman yang akan membuat parpol seolah tidak mampu menjalankan fungsi dan perannya.

Padahal, kalau parpol mau berpikir positif seharusnya kehadiran capres independen, kalau nanti betul-betul diakomodasi, justeru bisa menjadi pemicu agar parpol lebih meningkatkan kinerjanya secara lebih baik lagi.

Jika cara berpikir positif yang dikedepankan parpol dalam merespons wacana capres independen justeru parpol akan mendapat apresiasi dari publik. Ini tentu merupakan kredit tersendiri bagi parpol.



*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Rekonsiliasi Demokrat-Golkar (Sinar Harapan, 10 Maret 2011)

Teka-teka tentang reformulasi koalisi pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono akhirnya terjawab sudah setelah pertemuan yang dilakukan antara SBY dan Aburizal Bakrie (Ical) di Istana Negara Selasa sore kemarin. Setelah pertemuan tersebut Ical menegaskan bahwa Golkar akan tetap berada di dalam koalisi bersama-sama dengan Demokrat.

Kesepakatan tersebut tentu saja telah mengakhiri spekulasi yang berkembang sebelum pertemuan terutama terkait dengan reposisi Golkar. Sempat berkembang wacana bahwa partai beringin akan memilih keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan dan mengambil peran oposisi. Spekulasi ini kian menguat setelah Ical dalam dua kali pidatonya memberikan sinyal ke arah itu. Ical, misalnya, mengatakan “Golkar sudah kenyang dengan kekuasaan,” dan pada pidatonya di hadapan pimpinan Golkar daerah se-Indonesia ia menegaskan, “pilihan oposisi merupakan pilihan yang terhormat dan berwibawa.”



Memperburuk Citra

Kesepakatan yang telah diambil oleh SBY dan Ical di atas, di satu sisi, memang memberikan pengaruh terhadap stabilitas politik bagi pemerintahan SBY-Boediono karena kegaduhan terkait reformulasi koalisi dan perombakan kabinet kemungkinan akan mereda. Namun pada sisi lain, hal tersebut dapat pula memberikan implikasi politik yang negatif bagi kedua belah pihak

Pertama, bagi SBY, pilihan untuk tetap mengakomodasi Golkar sekalipun telah berkali-kali berbuat “nakal” akan semakin lekat dengan citranya sebagai orang yang tidak berani bersikap tegas, tidak berani mengambil resiko, peragu dan sebagainya dalam melakukan sebuah tindakan politik. Karakteristik SBY sebagai pemain yang selalu mencari aman (safety player) kian menguat di mata publik.

Pada sisi lain tetap mengakomodasi Golkar di dalam koalisi juga sesungguhnya tidak memberikan jaminan bahwa partai ini akan mudah dilunakkan di masa-masa yang akan datang. Peluang-peluang untuk terjadinya peristiwa seperti pengajuan hak angket mafia pajak tidak akan tertutup sama sekali. Apalagi karakteristik Golkar yang sulit dipegang dari kepala sampai ekornya. Manuver-manuver politik kader-kader Golkar di DPR mungkin tidak akan berhenti begitu saja.

Kedua, bagi Golkar sendiri, tetap berada di dalam koalisi sesungguhnya jauh lebih memberikan dampak negatif daripada positif. Ini terutama terkait dengan citra Golkar sebagai partai yang tidak pernah bisa keluar dari kekuasaan atau bahkan lebih buruk lagi tidak bisa hidup di luar kekuasaan. Mitos yang selama ini diyakini bahwa tradisi Golkar berada di dalam kekuasaan kian mendapatkan legitimasi dengan tetap berada di dalam kekuasaan padahal tarikan-tarikan dari kalangan internal untuk beroposisi sangat kuat.

Hal ini juga kian menegaskan bahwa apa yang disampaikan Ical dalam dua kali pidato menjelang pertemuan dengan SBY merupakan gertak sambal belaka terhadap SBY dan Demokrat. Ini karena Golkar memahami betul bahwa Demokrat tidak akan berani mendepaknya keluar dari koalisi karena posisinya yang strategis. Namun ini sekaligus membuktikan bahwa Golkar sesungguhnya tidak memiliki nyali yang besar untuk berada di luar kekuasaan.

Padahal kalau Golkar mau keluar dari kekuasaan sesungguhnya ada banyak keuntungan yang dapat diraihnya setidaknya untuk membidik Pemilu 2014 yang tinggal 3,5 tahun. Ia akan menjadi semacam investasi politik yang besar, karena kalau berada di luar kekuasaan Golkar akan leluasa mengajukan kritik sekaligus alternatif atas pelbagai kebijakan pemerintah yang cenderung tidak ramah terhadap kepentingan rakyat.

Ketiga, dari kesepakatan di atas dapat ditegaskan bahwa orientasi koalisi yang dibentuk untuk mendukung pemerintahan tersebut memang bersifat pragmatis kekuasaan alih-alih pada program-program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kegaduhan politik yang selama ini membuat negeri ini hiruk-pikuk ternyata hanya membicarakan masalah pembagian kekuasaan belaka. Dalam berbagai perdebatan panas yang mengemuka belakangan ini sepi dari pembicaraan tentang kepentingan rakyat.

Keempat, apa yang telah disajikan para pemimpin di republik ini pada pekan-pekan terakhir akan dipandang sebagai permainan. Politik dan kekuasaan bagi mereka tidak lebih dari sebuah permainan (Politics is the game). Tarik ulur yang dilakukan SBY seolah-olah merupakan permainan untuk membuat para mitra koalisinya terutama yang dianggap “mbalelo” terseret arus permainan tersebut dan akhirnya mengikuti apa yang diinginkannya. Dalam konteks ini mungkin SBY dianggap berhasil.

Namun politik sejatinya memiliki misi suci yang hendaknya dijunjung tinggi oleh para pemainnya, yakni bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Inilah yang hampir tidak pernah disinggung oleh para pemimpin yang terlalu sibuk mempertahankan dan mengamankan kekuasaan yang tengah digenggamnya.



*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.

Reformasi Koalisi dan Ketegasan SBY (Pikiran Rakyat, 10 Maret 2011)

“Jika Anda tidak melemparkan dadu, maka Anda tidak pernah akan mendapatkan angka enam.” Kalimat ini merupakan filosofi yang banyak digunakan di dalam dunia bisnis yang menekankan masalah keberanian dalam mengambil sebuah tindakan dengan segala resikonya. Artinya, kalau kita mengharapkan angka enam, maka kita harus berani melemparkan dadu itu sekalipun kemungkinan yang keluar adalah angka satu, dua dan seterusnya karena itu adalah resikonya.

Filosofi bisnis di atas agaknya tepat pula digunakan di dalam dunia politik Indonesia sekarang ini, terutama bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wacana reformulasi koalisi pendukung pemerintah di DPR yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) dan perombakan kabinet (reshuffle) akhir-akhir ini terus digaungkan ke publik. Namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepastian kecuali sinyal-sinyal kecil baik yang diungkapkan SBY maupun para petinggi Demokrat.

Padahal kalau melihat kasus yang melatarbelakangi adanya kekisruhan di dalam koalisi, jelas hal itu perlu segera ada tindakan konkrit. Sebagaimana diketahui koalisi terbelah pada saat pengajuan hak angket mafia pajak di mana Golkar dan PKS berseberangan dengan anggota koalisi lainnya. Dalam kasus-kasus lain pun, hal seperti ini juga kerap terjadi seperti dalam kasus Bank Century, deponeering kasus kriminalisasi ketua KPK dan lain-lain.

Berbagai kasus di atas sebenarnya sudah sangat jelas dapat dijadikan alasan bagi SBY untuk mengambil sebuah tindakan politik. Bagaimanapun dari segi fatsun politik, tindakan Golkar dan PKS tersebut tidak dapat dibenarkan sekalipun dengan alasan membela kepentingan rakyat dan sebagainya. Maka, sudah saatnya SBY memberikan punishment bagi kedua partai tersebut tanpa harus takut dengan resiko politik yang mungkin timbul.

Namun demikian, agaknya kita masih akan dibuat gemas oleh SBY karena tidak kunjung berani mengambil tindakan tegas. Bahkan sinyal terakhir memperlihatkan bahwa SBY dan Golkar kembali melakukan rekonsiliasi setelah adanya pertemuan empat mata antara SBY dan Ketum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) di Istana Negara pada Selasa sore kemarin. Setelah pertemuan Ical menyatakan bahwa Golkar akan tetap berada di dalam koalisi.

Sikap SBY yang tetap mengakomodasi Golkar tampaknya didasari oleh kalkulasi politik. Sebagai pemain yang selalu mencari aman (safety player) SBY tentu tidak berani menendang Golkar dari koalisi karena belum mendapatkan garansi politik dari PDIP yang sampai saat ini belum memberikan sinyal untuk bersedia bergabung ke dalam koalis. Dalam situasi seperti itu, tentu SBY tidak berani melepaskan Golkar sebagai partai terbesar kedua di DPR dari gengamannya.

Padahal sebenarnya SBY tidak perlu melakukan kalkulasi politik secara matematis seperti di atas. Bagaimanapun ia terpilih sebagai presiden secara langsung dengan mendapatkan dukungan rakyat di atas 60 persen. Seharusnya ini dapat dijadikan modal politik baginya untuk berani bersikap tegas. Tentu dengan catatan bahwa ia harus menyelesaikan 3,5 tahun sisa waktunya untuk bekerja sekuat-kutatnya demi memenuhi harapan rakyat.

Oleh karena itu, pilihan yang paling tepat bagi SBY seharusnya berani mendepak Golkar dan PKS. Kalau tindakan ini yang diambil justeru akan memberikan keuntungan bagi SBY. Pertama, ia bisa mereformulasi orientasi koalisi pendukungnya secara lebih tegas lagi. Misalnya SBY bisa meminta para anggota koalisi untuk bersama-sama menyukseskan program-program yang pro-rakyat alih-alih sekadar bagi-bagi kekuasaan.

Kedua, pada saat yang sama SBY juga akan dinilai publik sebagai orang yang berani bersikap tegas dalam mengambil tindakan, tidak lagi peragu dan plin-plan seperti yang sering digambarkan selama ini. Dengan kata lain, kasus ini sebenarnya dapat dijadikan momentum bagi SBY untuk memperbaiki citra dirinya yang esensial, bukan yang artifisial yang biasa dilakukannya.

Namun sayang, SBY ternyata tetap merupakan tipikal pemimpin yang tidak mau mengambil resiko. Momentum yang sesungguhnya sangat baik untuk meningkatkan citra kepemimpinannya itu dilewatkan begitu saja.



*Penulis, Deputi Direktur the Political Literacy Institute, Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.