Kamis, 06 Oktober 2011

Ayu Ting Ting dan Komodifikasi Media

Belakangan ini nama Ayu Rosmalina yang lebih populer dengan sebutan Ayu Ting Ting mendadak menjadi buah bibir hampir semua kalangan masyarakat Indonesia. Berita-berita infotainment tak henti-hentinya dari pagi hingga petang mengupas berbagai sisi kehidupannya, tidak hanya soal lagu "alamat palsu" yang sukses melambungkan namanya di jagat hiburan tanah air.

Gejala Komodifikasi
Dalam teori ekonomi-politik media yang diperkenalkan Vincent Mosco dalam buku The Political Economy of Communication (1996), ada satu konsep yang dapat menjelaskan fenomena Ayu Ting Ting, yaitu komodifikasi. Komodifikasi menjelaskan bahwa media memanfaatkan isi (pemberitaannya) dilihat dari kegunaannya sebagai komoditas yang dapat dipasarkan atau dijual.
Dari sudut pandang ini, Ayu Ting Ting telah dijadikan "komoditas" yang dipasarkan karena memiliki nial jual tinggi. Selama Ayu Ting Ting memiliki nilai jual yang tinggi, maka media-media massa, terutama media infotainment, baik cetak maupun elektronik, akan terus memberitakannya.
Di sinilah letak logika kapitalistik dari konsep komodifikasi. Ayu telah mampu menjadi akumulator kapital yang luar biasa. Bayarannya pun semakin hari semakin meningkat secara drastis. Oleh karena itu, media-media massa makin gencar dan masif memberitakannya.
Fenomena Ayu Ting Ting juga pernah menimpa kepada sejumlah selebriti dadakan seperti Sinta-Jojo yang dikenal dengan lipsyn lagu Keong Racun; Briptu Norman Kamaru yang populer dengan membawakan lagu chaiyya-chaiyya yang merupakan lagu India.
Namun dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut, tampaknya Ayu Ting Ting akan lebih fenomenal dan bertahan lebih lama. Hal ini, menurut hemat penulis, karena sejumlah faktor pendukung.
Pertama, momentum yang didapat Ayu Ting Ting sangat tepat. Musik dangdut yang sebetulnya sangat populer di negeri, bahkan konon disebut musli asli tanah Melayu, belakangan ini sedang kalah pamor. Genre musik pop Melayu yang mendayu-dayu mulai mampu menggesernya. Dan paling terkini, demam boy band dan girl band tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setiap acara musik di televisi baik live ataupun tunda selalu diramaikan oleh kehadiran mereka.
Oleh karena itu, ketika dangdut muncul di tangan Ayu Ting Ting seolah ada kerinduan yang begitu tinggi dari pencinta musik di tanah air. Apalagi irama dangdut yang dibawakan Ayu begitu riang dan easy listening sehingga orang mudah tergoda. Hal ini ditambah dengan penampilan Ayu yang lebih ngepop –dia sendiri penggemar group band korea—yang berbeda dengan umumnya para pedangdut wanita di negeri ini. Tak aneh kalau dalam sekejap Ayu mampu menjadi magnet yang sangat kuat daya tariknya.
Kedua, Ayu sebenarnya tidak bisa dibilang selebritis dadakan seperti Briptu Norman dan Sinta-Jojo. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam dunia entertainment, bahkah sejak usia kanak-kanak. Lagu alamat palsu yang menghebohkan itupun sesungguhnya berasal dari album ajep-ajep yang dirilis sejak tahun 2007, artinya, ada selang waktu sekitar empat tahun untuk bisa mengangkat Ayu ke kancah musik dangdut secara nasional. Sebuah kurun waktu yang tidak bisa dibilang singkat, terutama jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang hanya dengan “lima menit” di youtube langsung menikmati ketenaran.
Ketiga, sikap dan perilaku (attitude) Ayu juga tampaknya cukup mendukungnya untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Dalam sejumlah penampilan, seperti wawancara dengan media massa, ia bisa menempatkan diri dengan baik dan memberikan jawaban-jawaban yang sepatutnya. Beberapa gesture tubuh yang diperlihatkannya juga cukup membuat orang respek. Tidak sedikit selebritis dadakan yang tidak mampu memperlihatkan sikap dan perilaku yang memadai.

Eksploitasi
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Ayu Ting Ting tersebut di atas, tidaklah mengherankan kalau ia akan terus menjadi “lahan empuk” pemberitaan media-media massa. Dalam konteks ini, memang terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme simbiosis) antara Ayu dan media. Ayu semakin populer dan tentu saja berimbas pada pundi-pundi rupiahnya, sementara media tak pernah kekurangan bahan berita.
Namun, yang perlu dicermati juga adalah bahwa ketika pemberitaan tersebut dilakukan secara masif dan terus menerus dalam derajat tertentu juga bisa membawa efek buruk. Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kecenderungan eksploitasi, terutama oleh media infotainment terhadap Ayu. Indikatornya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan Ayu, sekalipun bersifat pribadi, dieskpos secara besar-besaran yang kerapkali tanpa pertimbangan nilai yang ketat.
Argumentasi pihak media infotainment bahwa pemberitaan berbagai sisi kehidupan artis tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban publik dari yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Sebab, pertanggungjawaban publik artis sebenarnya terkait dengan karir profesionalnya. Kalau dia seorang penyanyi, maka karir kepenyanyiannyalah yang harus dimintakan pertanggungjawaban publiknya, demikian pula kalau dia seorang aktor, dan begitu seterusnya.
Sayangnya, kecenderungan media-media infotainment di tanah air justeru tidak memegang teguh prinsip tersebut. Mereka, sebagai jurnalis, seolah bebas mengungkapkan apa saja sisi kehidupan artis entah bersifat pribadi ataupun publik. Inilah watak eksploitatif media yang paling kentara, sehingga tidak sedikit memakan “korban” sejumlah artis tanah air.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa betapapun tarikan komodifikasi begitu kuat dalam suatu pemberitaan, seperti halnya kasus Ayu Ting Ting, namun pihak media juga seyogianya mampu memberikan pengereman. Tidak terlalu mengumbar atau mengeksploitasi habis-habisan. Selain bisa berpengaruh buruk pada sumber berita, khalayak juga akan merasakan kejenuhan, yang pada gilirannya pihak media akan merasakan pula akibatnya.

*Penulis, Deputi Direktur The Political Literacy Institute.

Tidak ada komentar: