Rabu, 29 Desember 2010

Menyoal RUU Pemilukada

Dimuat di Suara Karya Rabu 15 Desember 2010

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pemilukada) yang telah dibuat pemerintah dan akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar gubernur dipilih oleh DPRD. Dengan kata lain, gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat seperti yang selama ini berlangsung sejak zaman reformasi.
Usulan agar pemilihan gubernur dikembalikan lagi ke tangan legislatif sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa waktu yang lalu mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, juga pernah menyuarakan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung dalam derajat tertentu sering menimbulkan polarisasi di tubuh nahdliyin, sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan ormas Islam terbesar di republik ini.
Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah begitu bergeming untuk terus menggolkan usulannya tersebut meskipun banyak suara dari sejumlah kalangan yang menolaknya? Tidakkah ini akan dianggap sebagai langkah mundur (setback) dalam perjalanan demokrasi di negeri ini?
Ada beberapa alasan yang diajukan pemerintah mengenai usulan pemilihan gubernur oleh DPRD. Pertama, menghemat biaya politik dan sosial yang tinggi. Memang suatu kenyataan yang sulit dimungkiri bahwa biaya politik dalam sebuah pemilukada sangat besar. Biaya sosialisasi, kampanye dan sebagainya yang harus dikeluarkan para kandidat tidaklah sedikit. Tidak jarang ditemukan bahwa seorang kandidat harus berutang sana-sini demi menutup biaya tersebut.
Belum lagi kalau harus menghadapi sengketa hasil pemilukada di Mahkamah Kontitusi (MK). Bagi yang berada jauh dari Jakarta, tentu para kandidat yang harus bertanggungjawab untuk membiayai segala macam kebutuhan termasuk akomodasi bagi tim suksesnya. Tidak heran kalau kemudian para kandidat harus merogoh kocek milyaran rupiah demi keperluan tersebut.
Dalam konteks ini, peluang untuk terjadinya politik uang (money politic) sangat besar. Berbagai kasus money politic yang melibatkan sejumlah kandidat kepala daerah ternyata seringkali ditemukan. Bahkan ada di antara mereka yang pada akhirnya harus berurusan dengan pengadilan.
Kedua, secara peraturan ketatanegaraan khususnya tentang otonomi daerah, kedudukan gubernur sebetulnya adalah wakil dari pemerintah pusat, sehingga kewenangannya sebenarnya terbatas. Ini berbeda dengan status bupati dan walikota yang memang memiliki kewenangan dan kekuasaan riil, sebab merekalah sebenarnya yang berhubungan langsung dengan rakyat. Maka, dilihat dari perspektif ini, jika pemilihan gubernur dilakukan kembali oleh DPRD tidak akan memunculkan persoalan substansial.

Pemilukada Serentak
Alasan yang diajukan pemerintah terkait RUU Pemilukada di atas memang cukup logis. Masalahnya adalah apakah rancangan itu merupakan satu-satunya alternatif atau alternatif yang paling menguntungkan di tengah berbagai problem yang diwariskan oleh sejumlah pemilihan kepala daerah langsung.
Menurut hemat penulis, sebenarnya ada satu alternatif yang lebih tepat untuk mengatasi persoalan ini, seperti yang pernah dikemukan Priyo Budi Santoso, salah seorang elite Golkar, yakni mengadakan pemilukada serentak. Kalau pemilukada diselenggarakan secara serentak, maka biaya politik dan sosialnya tentu akan jauh lebih berkurang. Rakyat juga tidak akan dihinggapi oleh rasa kejenuhan perhelatan politik yang bisa berakibat pada menjamurnya angka golongan putih (golput).
Dan yang paling terpenting, pemerintah tidak akan dicap sebagai pihak yang begitu mudah membuat aturan, mengubahnya atau menggantinya dengan sesuka hati. Dengan kata lain, pemerintah akan terhindar dari cap tidak konsisten atas apa yang telah dilakukannya.
Tentu pemilukada serentak memiliki problem juga, namun tidak sebanyak kalau pemilukada dilakukan sendiri-sendiri. Pertama, penentuan kapan dimulainya pemilukada serentak. Ini bisa menjadi masalah karena penyelenggaraan pemilukada selama ini dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Maka, ketika pemerintah misalnya menetapkan waktu pemilukada, boleh jadi ada kepala daerah yang baru saja terpilih, atau baru satu tahun, atau sudah hampir selesai. Bagi yang baru terpilih, bersediakah ia ikut lagi dalam pemilukada serentak padahal ia telah menghabiskan biaya yang begitu banyak.
Dalam situasi seperti ini kebesaran hati dan kelapangan dada yang bersangkutan sangat diperlukan. Kalau berpikir demi kepentingan negara dan bangsa, dan seharusnya seorang politisi berpikir begitu, tentu ia akan menerima keputusan tersebut dengan ikhlas.
Kedua, terkait banyaknya partai politik. Pemilukada serentak akan lebih efektif kalau tidak melibatkan begitu banyak partai politik. Namun dengan kecenderungan penyederhanaan jumlah partai politik yang sedang terjadi sekarang, antara lain dengan pengetatan pendirian parpol dan rencana menaikkan PT di tingkat parlemen, maka ini menjadi pertanda yang positif untuk pemilukada serentak.
Berdasarkan pemikiran di atas, akan lebih baik kalau pemerintah lebih memprioritaskan penyelenggaraan pemilukada serentak daripada mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD.

Rabu, 01 Desember 2010

Penyatuan Paket UU Politik

Dimuat di Harian Jurnal Nasional (Kamis 02 Desember 2010)

Belakangan ini ada usulan agar dilakukan penyatuan (kodifikasi) paket undang-undang (UU) politik yang tengah dalam masa pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyatuan itu meliputi UU Pemilihan Legislatif, UU Pemilihan Presiden dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Usulan tersebut tampaknya didasari oleh keinginan supaya proses pembahasan UU tersebut bersifat sistemik dan menyatu.
Usulan tersebut menarik untuk dicermati dengan mempertimbangkan pada beberapa hal. Pertama, penyatuan paket undang-undang politik memberikan peluang yang sangat besar untuk melakukan sinkronisasi terhadap beberapa poin penting dari paket tersebut. Sebagaimana sering terungkap ke publik ada sejumlah materi yang bertumpang tindih antara satu UU dengan UU lainnya.
Salah satu contoh materi yang tumpang tindih tersebut antara lain masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 soal DPT untuk untuk pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), misalnya, disebutkan datanya menggunakan DPT pemilu terakhir. Namun dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 disebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menggunakan data dari pemerintah. Hal seperti ini pada gilirannya akan menimbulkan masalah misalnya dalam kaitannya dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4).
Demikian pula dengan masalah kewenangan regulator. Menurut UU Nomr 32 Tahun 2004, pelaksana pemilukada adalah daerah itu sendiri. Sementara menurut UU Nomor 22 Tahun 2007, pelaksana pemilihan adalah KPU. Maka, dengan penyatuan pembahasan paket UU politik, potensi ketumpangtindihan terminimalisasi dan sebaliknya akan memberikan gambaran atau design yang utuh tentang arah dari perundang-undangan tersebut.
Kedua, penyatuan paket UU politik dalam derajat tertentu mampu meminimalisasi potensi konflik yang timbul karena adanya persoalan-persoalan dari UU. Misalnya, banyak sekali konflik yang terjadi sebagai buntut dari pemilukada yang diakibatkan oleh ketidakjelasan atau ketiadaan sinkronisasi antara satu UU dengan UU lainnya. Perseteruan yang melibatkan KPU dan Kemendagri dalam sejumlah pemilukada beberapa waktu yang lalu merupakan contoh yang jelas.

Kendala
Namun demikian, meskipun usulan penyatuan paket UU politik di atas merupakan konsep yang cukup bagus dan dapat memberikan pengaruh yang positif, kendala untuk penerapannya bukan berarti tidak ada. Setidaknya ada dua kendala yang berpotensi menghalangi proses tersebut.
Pertama, dari segi waktu, pengguliran ide tersebut agaknya terlalu sempit sehingga pada Pemilu 2014 gagasan untuk menyatukan paket UU politik tersebut kecil kemungkinan bisa diterapkan. Masalahnya adalah sejumlah RUU sekarang ini sedang dibahas di lembaga legislatif atau dengan kata lain, sudah setengah jalan bahkan ada yang sudah hampir rampung seperti RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Kecuali kalau para anggota legislatif dan pemerintah bersedia melakukan pembahasan paket UU itu secara maraton dan tanpa jeda. Namun agaknya hal itu merupakan sesuatu yang sulit diharapkan melihat kinerja mereka selama ini.
Kedua, kecenderungan politik transaksional di dalam praktik politik Indonesia dewasa ini memiliki potensi untuk menghambat proses penyatuan tersebut. Artinya, dalam melakukan pembahasan paket UU politik, para elit politik khususnya yang berada di lembaga legislatif lebih banyak menggunakan faktor untung-rugi bagi kepentingan politiknya. Mereka akan mendukung dengan berbagai cara dan mati-matian suatu program (UU) apabila menguntungkan partainya dan begitu pula sebaliknya akan menolak habis-habisan bila merugikannya.

Komitmen Bersama
Tercapainya terobosan gagasan itu tentu memerlukan komitmen bersama yang kuat baik dari pihak legislatif maupun eksekutif. Komitmen yang dimaksud dalam hal ini tentu saja adalah kehendak untuk bersama-sama mendahulukan kepentingan nasional dan negara daripada kepentingan kelompok (partai politik). Penyatuan paket UU politik jelas merupakan kepentingan nasional, karenanya semua pihak harus berkomitmen untuk mendukungnya.
Sayangnya justeru di sinilah kita kerap menemukan kecenderungan yang sebaliknya. Dalam berbagai kasus kita hampir selalu disuguhi oleh demikian telanjangnya keinginan para anggota legislatif yang hanya mengedepankan kepentingan partainya. Contoh yang paling jelas adalah sikap ngotot sejumlah fraksi di DPR, kecuali Fraksi Partai Demokrat (PD) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) untuk tetap memasukkan kader partai dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Berbagai argumentasi yang dimunculkan oleh fraksi-fraksi tersebut kian memperlihatkan dengan terang betapa cara berpikir mereka masih sangat sempit. Kesuksesan Pemilu 1999 di mana anggota KPU berasal dari kader partai politik didengung-dengungkan sedemikian rupa sebagai justifikasi atas argumentasi mereka seraya menutup mata terhadap persoalan pelik ketika itu di mana tidak ada satu pun parpol yang mau menandatangani hasil pemilu sampai Presiden BJ Habibie kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah.
Maka, tidak ada cara lain bagi para elit politik baik di legisaltif maupun eksekutif untuk mengenyahkan semua kepentingan sempit kelompoknya dan mengutamakan kepentingan negara dan bangsa yang jauh lebih besar jika ingin proses politik ini berjalan lancar.