Senin, 27 Juli 2009

Zaken Kabinet Plus

Tribunjabar, 25 Juli 2009

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tampaknya hanya tinggal menunggu pentahbisan secara dari real count akhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. Perolehan suara pasangan ini yang mencapai angka di atas 60% baik menurut quick count oleh sejumlah lembaga survei maupun real count sementara KPU agaknya sulit dikejar dua pasangan lainnya, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto.
Pembicaraan berbagai kalangan kini tidak lagi terpusat pada masalah penghitungan suara, tetapi sudah beralih pada bagaimana langkah pasangan SBY-Boediono setelah kemenangan tersebut, terutama yang terkait dengan pembentukan kabinet. Apakah SBY akan lebih memprioritaskan para pembantunya dari kalangan profesional ketimbang orang-orang partai politik pendukung koalisi pengusungnya, ataukah sebaliknya membentuk kabinet pelangi seperti hanya pada 2004 kemarin? Inilah yang menarik untuk dicermati dalam tulisan ini.

Zaken Kabinet
Zaken kabinet intinya adalah kabinet yang diisi oleh kalangan profesional atau yang ahli di bidangnya. Artinya penempatan seseorang dalam suatu jabatan kementerian didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tersebut tidak peduli apakah ia berasal dari kelompok manapun.
Suara-suara yang menghendaki dibentuknya zaken kabinet oleh pasangan SBY-Boediono dewasa ini tampaknya terus menguat. Hampir semua kalangan menyarankan agar SBY lebih mengutamakan profesionalitas ketimbang latar belakang politik para calon pembantunya nanti. Tuntutan tersebut tampaknya sangatlah wajar mengingat beberapa hal.
Pertama, kemenangan SBY pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendapatkan legitimasi yang sangat kuat dengan perolehan suara (meski sementara) di atas 60% dan sebaran suaranya yang merata di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia, sehingga pilpres cukup dilakukan satu putaran saja. Sementara itu pada Pemilihan Legislatif (Pileg) April yang lalu Partai Demokrat (PD) di mana SBY duduk sebagai Ketua Dewan Pembina tampil sebagai pemenang. Dengan kemenangan tersebut SBY sebenarnya lebih leluasa dalam menyusun kabinet tanpa khawatir adanya “goyangan” dari parlemen, tidak seperti pada 2004.
Kedua, kemenangan SBY tampaknya juga lebih banyak karena faktor kefiguran dan citranya di mata publik yang selama lima tahun ini dianggap berhasil membuat program-program pro rakyat, seperti BLT, PNPM dan sebagainya. Sedangkan mesin politik parpol hanya sebagai faktor pendukung.

Ketiga, tantangan pemerintahan ke depan akan lebih banyak bersentuhan dengan ekonomi akibat krisis global yang menyerang hampir semua negara di dunia tak terkecuali Amerika Serikat. Oleh karena itu, kalau kabinet diisi oleh kalangan profesional tentu SBY sebagai presiden akan sangat terbantu seperti dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan masalah tersebut.
Keempat, loyalitas para menteri yang berasal dari kalangan profesional tentu akan lebih kuat daripada para menteri yang berasal dari kalangan parpol. Bagaimanapun, menteri yang berasal dari sebuah parpol tidak akan terlepas dari dualisme loyalitas, antara ke partainya dan negara sehingga kinerjanya tidak maksimal. Kabinet pelangi yang dibentuk SBY pada 2004 memperlihatkan betapa menteri-menteri yang berasal dari parpol seringkali mengutamakan kepentingan partainya dalam sejumlah kasus.

Plus
Mengedepankan zaken kabinet tentu merupakan langkah yang sangat baik bagi SBY. Namun demikian, politik tetaplah politik yang memiliki kepentingannya sendiri. Artinya, faktor-faktor politik tetap tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari pembentukan kabinet tersebut.
Bagaimanapun pasangan SBY-Boediono lahir karena adanya koalisi antar parpol menjelang pilpres. Selain Partai Demokrat sebagai dirijennya, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan beberapa parpol kecil lainnya sekalipun di antara parpol tersebut ada yang tidak solid mendukung SBY-Boediona. Dalam konteks ini, SBY agaknya perlu menjaga keharmonisan dengan parpol-parpol pendukungnya sehingga di masa-masa mendatang tidak terjadi gejolak politik yang tidak diinginkan.
Hanya saja penempatan menteri dari kalangan parpol pun harus tetap dilakukan dalam koridor profesionalisme tadi. Dengan kata lain, meskipun ia merupakan representasi parpol tetapi pada saat yang sama ia juga merupakan seorang profesional di bidangnya. Apalagi di dalam tubuh parpol sendiri sebenarnya banyak terdapat sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengisi jabatan eksekutif tersebut. Kalaupun masih dirasa perlu mengambil seorang menteri sekadar sebagai representasi dari parpol, maka hal itu mesti dilakukan seminimal mungkin.
Inilah sesungguhnya yang diperlukan pasangan SBY-Boediono dalam menyusun kabinetnya. Ia harus merupakan kabinet yang diisi oleh kalangan profesional (zaken kabinet) tetapi tetap mengakomodasi kepentingan parpol pendukungnya. Jadi, kabinet nanti boleh disebut dengan zaken kabinet plus.

Rabu, 22 Juli 2009

Saatnya Golkar Beroposisi

(Koran Jakarta, 16 Juli 2009)

Partai Golkar (Golkar) tampaknya masih tetap menjadi magnitude politik yang besar di republic ini sekalipun partai ini sedang mengalami keterpurukan. Hal ini terlihat dari kiat menguatnya wacana tentang kemungkinan Golkar keluar dari pemerintahan dan bergabung ke dalam barisan oposisi pasca kekalahannya dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (piplres) kemarin.
Di elite Golkar sendiri memang ada yang memperlihatkan kesetujuannya dengan wacana tersebut, namun tidak sedikit yang justru menolaknya dengan berbagai alasan.
Sebagian kalangan di luar partai beringin ini ada yang berharap bahwa partai ini berani keluar dari jaring pemerintahan yang selama ini dilakoninya. Tetapi banyak pula kalangan yang justeru meragukan keberanian Golkar untuk keluar dari sarang nyamannya tersebut dengan sejumlah alasan. Oleh karena itu, pertanyaan yang menarik tentang persoalan ini adalah mungkinkah Golkar berani mengambil peran sebagai partai oposisi setidaknya untuk masa lima tahun ke depan?
Perangkap Mitos
Jika banyak pihak yang selama ini meragukan keberanian Partai Golkar untuk memerankan dirinya sebagai partai oposisi, sebenarnya hal tersebut wajar belaka. Ada beberapa factor yang tampaknya dapat menjadikan keraguan itu begitu besar di benak banyak orang.
Pertama, Golkar agaknya telah terperangkap ke dalam mitos bahwa oposisi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan tradisi dan budaya politik Indonesia. Mitos yang sesungguhnya ditanamkan secara indoktrinatif oleh rezim Orde Baru ini tampaknya masih cukup kuat melekat di benak orang Indonesia. Dalam konteks ini, Golkar seolah khawatir kalau mengambil peran sebagai partai oposisi akan mendapatkan stempel buruk dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, betapapun seringnya wacana tentang Golkar sebagai oposisi mengemuka, keraguan dari tubuh internal partai beringin itu sendiri tetap kuat.
Kedua, Golkar selama ini identik dengan partai pemerintah. Dalam kurun waktu kurang lebih 32 tahun pada masa Orde Baru, partai ini selalu menjadi partai penguasa (the ruling party) yang otomatis memegang kendali pemerintahan. Oleh karena itu, aliran darah yang mengalir di tubuh partai ini adalah darah penguasa atau pemerintah. Dari perspektif ini, sangatlah sulit bagi partai yang telah terbiasa hidup dalam "kenyamanan" sebagai partai penguasa untuk melepaskan diri dari kebiasaan tersebut.
Ketiga, sekalipun mesin politik dan infrastruktur Partai Golkar terbilang paling modern dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya, partai ini tidak memiliki kader-kader militan seperti halnya PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang siap sedia berjuang sampai meneteskan titik darah penghabisan demi menyokong kehendak partainya. Sehingga, ketika elite politik Golkar mengeluarkan kebijakan belum tentu akan didukung sepenuhnya oleh para kader. Itulah kenapa Jusuf Kalla (JK) sebagai Ketua Umumm Golkar, tidak mendapatkan dukungan utuh dari para kader Golkar ketika mencalonkan diri sebagai presiden pesaing Yudhoyono.
Hal ini berbeda dengan Megawati Soekarnoputri yang memperoleh dukungan utuh dari para kader militan dan simpatisan fanatik PDIP sehingga perolehan suaranya jauh mengungguli JK. Padahal, kalau dilihat dari segi kemampuan dan kelayakan untuk menjadi Presiden RI, orang akan menilai bahwa JK jauh di atas Mega.

Sebenarnya sekarang sudah waktunya Golkar untuk keluar dan menerobos labirin yang selama ini menjeratnya. Oposisi bukanlah merupakan pilihan yang buruk bagi Golkar. Sebaliknya, oposisi merupakan pilihan yang elegan bagi Golkar jika para elite partai ini menyadari urgensi beroposisi dalam sebuah negara demokrasi. Paling tidak, ada dua hal yang patut dicermati oleh Golkar terkait dengan pilihannya sebagai partai oposisi.
Pertama, jika Golkar berani menempatkan dirinya sebagai partai oposisi setidaknya untuk lima tahun ke depan, hal itu justru akan menguntungkan bagi institusi Golkar itu sendiri maupun bagi segenap bangsa Indonesia. Pilihan beroposisi akan menjadi semacam investasi politik di masa mendatang, sebab Golkar akan dinilai sebagai partai yang mampu survival dalam kondisi apapun, tidak selamanya "menyusu" kepada pemerintah. Bagi bangsa Indonesia, hal ini menjadi pelajaran berdemokrasi yang sangat berharga bahwa semua peran merupakan hal yang biasa dalam kehidupan politik, adakalanya memerintah dan di saat lain beroposisi. Di AS sekarang Partai Demokrat memerintah dan Partai Republik beroposisi, tetapi sebelumnya terjadi hal yang sebaliknya. Demikianlah silih berganti.
Kedua, dengan berada di luar pemerintahan justru Golkar akan lebih leluasa melakukan distingsi dengan partai pemerintah dalam berbagai kebijakan publik yang dikeluarkannya. Dalam konteks ini, Golkar bisa mengedepankan kebijakan-kebijakan alternatif manakala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Pengalaman dan sumber daya manusia di tubuh partai ini cukup melimpah untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, kalau Golkar ikut bergabung ke dalam pemerintahan, ia akan "terlebur" ke dalam jaring yang dikuasai Partai Demokrat (PD) sebagai partai penguasa.
Yang perlu menjadi catatan di sini adalah Golkar harus bisa menempatkan dirinya dalam oposisi yang sebenarnya sekaligus memperbaiki kesan selama ini bahwa oposisi identik dengan berlawanan sebagaimana arti harfiahnya. Oleh karena itu, oposisi dalam hal ini mesti berlawanan atau berseberangan, bahkan yang lebih celaka lagi, asal beda dengan pemerintah.
Padahal, oposisi sesungguhnya berorientasi pada pemberian solusi terhadap berbagai masalah. Bahwa dalam pemberian solusi tersebut ada perbedaan antara versi pemerintah dan oposisi hal itu tidak bisa dihindarkan. Tetapi, yang paling penting adalah oposisi berkehendak untuk selalu mengedepankan pilihan-pilihan alternatif sehingga rakyat bisa menilai mana kebijakan yang tepat bagi mereka. Jika Golkar mampu memerankan peran oposisi dengan benar, bukan tidak mungkin hal itu akan menjadi investasi politik yang besar di masa mendatang.***

Memaknai Kekalahan

Pemilihan Presiden (pilpres) yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli kemarin telah berakhir dengan relatif tenang dan damai. Tidak ada keributan, huru-hara atau konflik horizontal yang ditakutkan berbagai pihak selama ini. Meskipun masih diwarnai oleh berbagai dugaan kecurangan, khususnya dari pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut diyakini tidak akan mengurangi legitimasi pilpres.
Dari hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei di Indonesia, kita telah mengetahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berhasil memenangi pilpres secara mutlak dengan sebaran prosentase yang cukup merata. Meskipun penghitungan ini bersifat sementara, karena bukan sebagai lembaga resmi, namun hampir pasti pasangan dengan nomor urut dua tersebut akan keluar sebagai pemenang. Asumsinya bahwa tingkat akurasi quick count cukup tinggi, sehingga penghitungan resmi yang akan dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diyakini tidak akan jauh berbeda sebagaimana yang sering terjadi dalam sejumlah pemilihan sebelumnya.
Resiko Kompetisi
Keberhasilan sebuah kompetisi seperti halnya pemilihan umum bukan hanya dilihat dari siapa yang keluar sebagai pemenang, melainkan juga siapa yang kalah. Dengan kata lain, bagaimana pihak yang kalah dalam kompetisi memberikan sikap terhadap kekalahannya tersebut, itulah yang akan menjadi penilaian orang terhadap keberhasilan kompetisi tersebut.
Kemenangan dan kekalahan dalam sebuah kompetisi sejatinya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Tidak akan ada kemenangan kalau tidak ada kekalahan; tidak akan lahir seorang pemenang jika tidak ada yang kalah. Maka, menang dan kalah sesungguhnya merupakan resiko dari sebuah kompetisi. Ketika seseorang berniat untuk ikut serta dalam sebuah kompetisi, maka semestinya ia sudah berkomitmen untuk siap menang dan kalah.
Dari perspektif ini, sangatlah menarik mencermati bagaimana sikap dari dua pasangan capres-cawapres yang hampir pasti menderita kekalahan pada pilpres kemarin, yakni pasangan Megawati-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pasangan yang pertama tampaknya masih merasa berat hati menerima kekalahan sehingga sikap yang ditunjukkannya agak reaktif. Pasangan ini, misalnya, lebih sibuk melemparkan kesalahan kepada pihak lain ketimbang melakukan introspeksi.
Sebaliknya, sikap yang ditunjukkan oleh pasangan yang terakhir tampaknya patut diajungi jempol. Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden yang kalah berkompetisi, misalnya, secara jantan mengakui kekalahannya dan kemudian ia memberikan ucapan selamat kepada SBY sebagai pemenang. Bahkan ketika ditanyakan kepada JK oleh salah seorang wartawan, apakah ia konsisten dengan ucapannya bahwa yang terpilih adalah yang terbaik, ia dengan lapang dada mengatakan bahwa ia konsisten dengan ucapannya tersebut. Artinya, JK mengakui bahwa SBY lah yang terbaik, karena keluar sebagai pemenang.
Pernyataan yang lahir dari seorang tokoh semacam JK tersebut tentu sangat menyejukkan hati di tengah suasana panas yang terjadi sebelum dan sesudah pilpres. Ini akan menjadi preseden yang baik bagi kehidupan demokrasi di masa depan bahwa kekalahan dipandang sebagai hal yang wajar dalam sebuah kompetisi. Dalam konteks ini, JK telah berhasil menempatkan dirinya sebagai tokoh yang memiliki sikap kenegarawanan, sesuatu yang cukup langka di republik ini.

Evaluasi
Alih-alih menunjukkan sikap yang reaktif apalagi berlebihan, hemat penulis, pasangan capres dan cawapres yang kalah akan lebih elegan kalau lebih mengedepankan tindakan evaluatif terhadap kekalahannya tersebut. Evaluasi tersebut terutama harus diprioritaskan kepada evaluasi internal ketimbang eksternal yang ujung-ujungnya bertumpu pada keasyikan untuk menyalahkan pihak lain.
Di antara evaluasi internal yang perlu dilakukan adalah strategi kampanye yang terlalu banyak menyerang (attacking campaign) dan mesin politik partai yang tidak efektif. Padahal secara psikologi politik rakyat Indonesia pada umumnya tidak suka terhadap pihak yang selalu melakukan serangan, apalagi jika serangan itu tidak menyentuh level kognisi masyarakat seperti isu neoliberalisme. Sementara untuk kasus yang kedua, ini merupakan persoalan yang sangat serius sebab sejatinya di negara demokrasi parpol justeru memainkan peranan yang lebih besar.
Mengedepankan evaluasi internal tentu saja tidak berarti mengabaikan proses hukum terhadap dugaan adanya sejumlah kecurangan. Namun, agaknya perlu disadari bahwa perbedaan prosentase suara antara yang menang dan kalah sangat besar, sehingga kecil kemungkinan proses hukum akan mengubah hasil pilpres. Kasus pertarungan antara Al-Gore dan Bush di AS beberapa tahun yang lalu dengan selisih sekitar satu persen saja tetapi mampu diselesaikan melalui proses hukum secara baik tampaknya perlu dijadikan pelajaran berharga. Oleh karena itu, berbesar hati akan kekalahan tampaknya menjadi pilihan yang paling elegan bagi pasangan capres-cawapres yang kalah.