Kamis, 20 November 2008

Haji dan Komunikasi Transendental

Kompas Jabar Selasa 18 November 2008

Dalam pandangan ilmu komunikasi, ibadah haji merupakan sebuah peristiwa komunikasi yang sangat menarik. Ia adalah ritual yang paling masif dalam agama Islam. Ia tidak saja melibatkan orang dalam jumlah sangat besar, baik jemaah haji maupun penyelenggara, tetapi juga berbagai fasilitas, seperti akomodasi, transportasi, dan pelayanan kesehatan.
Ritual ini juga mengharuskan jemaah melakukan persiapan prima dalam segala hal, baik fisik, mental, maupun spiritual. Tidak mengherankan, ibadah ini hanya diwajibkan kepada umat Islam yang mampu dan cukup dilakukan sekali selama hidupnya.
Komunikasi transendental
Dalam khazanah ilmu komunikasi, komunikasi transendental merupakan salah satu bentuk komunikasi di samping komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Namun, komunikasi transendental tidak pernah dibahas luas. Cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Meskipun komunikasi ini paling sedikit dibicarakan, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat (Deddy Mulyana: 2005).
Komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol atau tanda. Dalam komunikasi transendental, partisipannya adalah manusia dan Allah. Ritual ibadah haji, sebagaimana diketahui, kaya dengan simbol atau tanda. Berpakaian ihram, tawaf, sai, tahalul, dan melempar jamarat sesungguhnya merupakan simbol.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi jemaah haji adalah pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Makna, menurut ilmu komunikasi, berada di kepala peserta komunikasi, dalam hal ini jemaah haji, bukan pada simbol-simbol itu sendiri.
Pakaian ihram yang terdiri dari dua helai pakaian putih tanpa jahit, misalnya, tentulah sekadar simbol. Maknanya adalah bahwa apa pun bentuk perbedaan, ras, warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya tidak lagi berlaku. Semua menyatu dalam satu kesatuan. Pada sisi lain, simbolisasi pakaian ihram juga menunjukkan suatu proses pemindahan dari dataran kehidupan profan pada kesucian (ihram).
Proses penyucian diri tersebut tidak hanya mencakup penyucian fisik, membersihkan diri dari kotoran dan najis, tetapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial yang disimbolkan oleh pakaian dan atribut keduniaan lainnya (Azra: 1999).
Dalam konteks tawaf (mengelilingi Kabah tujuh putaran), ada uraian yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, seorang intelektual Muslim Iran. Ia, misalnya, menggambarkan bagaimana tawaf memiliki makna sedemikian dalam. Dengan Kabah berada di tengah, jemaah mengelilinginya dalam sebuah lingkaran sirkular. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah, sedangkan jemaah melambangkan aktivitas dan transisi makhluk ciptaan-Nya yang berlangsung terus-menerus (2002).
Gerakan tawaf seolah-olah dilakukan oleh satu unit atau satu kelompok manusia karena di dalamnya tidak ada identifikasi individual. Kita tidak dapat membedakan yang laki-laki dari yang perempuan dan yang berkulit hitam dari yang berkulit putih. Inilah, kata Syari'ati, transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita", yang merupakan umat dengan tujuan menghampiri Allah.
Demikian halnya dengan sai, yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Dalam ritual ini terlihat persatuan yang sesungguhnya karena dalam melakukan sai segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi, tak ada sesuatu pun yang menonjol.
Ketika melakukan sai, jemaah berperan sebagai Hajar, seorang budak perempuan dari Etiopia yang hina dan menghamba kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim. Dia berlari-lari antara kedua bukit tersebut untuk mencari air. Sahaya perempuan ini mempunyai hubungan akrab dengan Allah. Dialah ibu dari para nabi-Nya yang besar dan wakil dari makhluk-Nya yang cantik jelita. Maka, sai berarti sebuah pencarian atau gerakan yang mempunyai tujuan.
Pasca transendensi
Meski demikian, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana jemaah haji-setelah melakukan transendensi menuju Allah di rumah-Nya-mampu membumi kembali, hidup di tengah masyarakat dengan mengejawantahkan nilai-nilai yang telah diperoleh selama beribadah haji. Inilah yang akan mengantarkan mereka pada predikat haji mabrur atau sebaliknya, haji mardud. Jadi, haji mabrur akan diraih seseorang bukan di Tanah Suci, melainkan setelah kembali ke masyarakat.
Kata mabrur sendiri secara harfiah berarti orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, sebagaimana diungkapkan Nurcholis Madjid (alm), haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik (1997). Tentulah menjadi baik itu berlaku untuk segala perbuatan. Hal itu akan terlihat jelas di mata masyarakat, antara perilaku yang bersangkutan sebelum dan sesudah beribadah haji.
Di sinilah tantangan sebenarnya yang mesti dihadapi para haji. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang terjebak pada simbolisme, yaitu lebih mementingkan pakaian ketimbang isi. Celakanya, masyarakat juga kerap memperlihatkan perilaku yang sama. Mereka biasanya lebih menghormati seorang haji yang berpakaian formal kehajian, seperti peci putih, daripada seorang haji yang berpakaian biasa meskipun belum tentu perilaku keseharian yang pertama lebih saleh daripada yang terakhir. Jika seperti ini, haji tidak lebih dari peristiwa simbolik belaka

Jumat, 07 November 2008

Belajar dari Debat Obama Vs McCain

Tribun Jabar, Kamis 06 November 2008

LUAR biasa. Itulah barangkali kata yang tepat untuk dialamatkan kepada Pansus RUU Pilpres Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait keputusannya menetapkan debat calon presiden (capres) sebanyak lima kali untuk pilpres 2009. Bahkan di negara Amerika Serikat yang disebut-sebut kampiun demokrasi pun debat capres diselenggarakan tiga kali saja seperti yang telah disaksikan antara Barrack Obama (Partai Demokrat) dan dari John McCain (Partai Republik). Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia selangkah lebih maju dari AS dalam hal kehidupan berdemokrasi? Tentu tidak sesederhana itu penilaian yang laik diberikan terhadap kehidupan demokrasi sebuah negara.
Jika menggunakan perspektif komunikasi Harold Lasswell (1948) yang terkenal dengan ungkapannya who say what in which channel to whom with what effect (siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dan akibatnya apa), maka debat capres merupakan hal yang sangat penting, karena tidak hanya terkait dengan komunikator (capres), pesan (isu atau program), dan komunikate (khalayak) -tiga aspek yang biasanya selalu ada dalam proses komunikasi-, melainkan juga terkait media (televisi, radio, surat kabar, dan lain-lain), serta akibat atau efek debat tersebut. Dalam debat, para capres, misalnya, dituntut mampu mengemas sebaik mungkin program atau isu-isu mereka sebagai pesan politik mereka, dengan memanfaatkan media seperti televisi atau radio untuk memengaruhi opini publik sebagai khalayak. Kepiawaian dan kecerdasan capres memilih dan mengemas isu akan sangat berperan penting. Sehingga efek atau pengaruh debat sesuai dengan yang diharapkan capres. Jika medium yang digunakan adalah televisi, tentu para capres harus mempersiapkan diri lebih cermat lagi, karena khalayak media elektronik jauh lebih banyak dan tidak terbatas seperti radio atau surat kabar. Oleh karena itu, para capres dituntut mampu menampilkan performance sesempurna mungkin baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Yang pertama terkait dengan bagaimana, misalnya, seorang capres mengemukakan argumen, pola interaksinya termasuk ketika menangkis dan menyerang balik rivalnya, juga gaya bahasanya. Sedangkan yang kedua berhubungan dengan bagaimana penampilan capres ketika di-shot oleh kamera, gerak-gerik tubuh, mimik muka, dan lain sebagainya. Adakalanya komunikasi nonverbal dalam debat capres bisa mengalahkankomunikasi verbal. Di negara AS yang notabene masyarakatnya merupakan pemberi suara yang rasional (rational voters) hal seperti ini juga pernah terjadi. Demikianlah, misalnya, masyarakat Amerika yang menyaksikan langsung perdebatan John F Kennedy dan Richard Nixon di televisi mengatakan,Kennedy adalah pemenang dalam perdebatan mereka tahun 1960. Sedangkan masyarakat yang mendengarkan lewat radio mengatakan Nixon lah pemenangnya. Dalam hal ini performance nonverbal Kennedy, antara lain wajahnya yang ganteng dan masih muda, mampu memukau publik Amerika yang menyaksikannya. Lalu, bagaimana dengan aspek yang terakhir dari taksonomi Lasswell di atas, yaitu efek atau akibat dari debat capres? Menurut Mitchell S. McKinney dan Diana B. Carlin dalam Political Campaign Debates (Lynda Kaid: 2004), efek debat bagi publik ada empat: efek perilaku (behavioral effects), efek kognitif (cognitive effects), evaluasi citra capres (candidate image evaluation) dan efek laten (latent effect). Efek perilaku terkait dengan apakah pilihan suara publik akan berubah setelah menyaksikan acara debat capres. Dalam konteks ini penampilan yang meyakinkan dari seorang capres akan berpengaruh besar. Kita, bisa belajar dari debat Obama versus McCain. Obama yang sebelumnya sempat mengalami penurunan dalam perolehan suara pada jajak pendapat ternyata kembali merangkak naik setelah acara debat pertama. Ini artinya, Obama telah berhasil mengubah perilaku publik untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Efek kognitif berhubungan dengan pesan-pesan atau isu-isu yang diangkat capres, sehingga acara debat bisa menjadi sumber informasi yang kaya bagi publik. Dalam hal ini para capres dituntut untuk mengedepankan isu-isu yang bersentuhan dengan publik dan mengemasnya sebaik mungkin. Penguasaan capres terhadap isu-isu tersebut akan memiliki pengaruh sangat besar terhadap keberhasilannya dalam debat. Tentu kita berharap bahwa para capres yang akan maju pada pilpres 2009 nanti adalah mereka-mereka yang memahami dan menguasai berbagai persoalan yang tengah menimpa bangsa ini. Evaluasi citra capres terkait dengan persepsi publik yang menyaksikan acara debat terhadap karakter capres. Dalam konteks ini para capres harus memerhatikan betul baik aspek verbal maupun nonverbal. Saat seorang capres menyampaikan sebuah isu; atau saat memberikan kritik; mimik muka dan gerak-gerik tubuh ketika dicecar berbagai pertanyaan yang, misalnya, agak menyudutkannya akan dilihat dan dinilai langsung oleh publik. Dari karakter capres ketika berdebat itulah orang dapat menilai bagaimana karakter yang bersangkutan jika ia memerintah nanti. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Megawati pada pilpres 2004 sedikit banyak dipengaruhi oleh performance SBY pada debat capres. Oleh karena itu, para capres yang akan bersaing pada pilpres 2009 nanti hendaknya memersiapkan diri sebaik mungkin dalam acara debat capres tersebut. Sekali-kali janganlah berpikir bahwa debat itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap perolehan suara capres pada pemilu. Ingatlah bahwa sekarang ini rakyat Indonesia sudah cukup cerdas untuk menilai calon-calon pemimpin mereka di masa depan dengan kriteria-kriteria mereka sendiri. Bukan merupakan hal yang aneh jika masyarakat akar rumput (grassroot), yang berada di pedesaan sekalipun sering kali berbincang-bincang di saat-saat senggang mereka tentang persoalan-persoalan politik aktual yang terjadi di tanah air. (*)

Haji Mabrur

Republika, Kamis 06 November 2008

Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.
Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.
Istilah 'mabrur' secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam। Namun, istilah ini paling sering digunakan untuk ibadah haji.Kata 'mabrur' secara etimologis berasal dari kata barra-yabirru-birrun yang artinya berbuat baik atau patuh. Dan, kata birrun yang merupakan mashdar (kata benda) dari kata itu artinya kebaikan. Jadi, kata 'mabrur' artinya orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.Ada ayat dalam Alquran yang mengandung kata birrun dan tampaknya sangat relevan dengan makna dari haji mabrur, yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Penggalan dari ayat ini berbunyi, ''Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.''Memberikan sesuatu yang kita cintai kepada orang lain merupakan perbuatan yang luar biasa berat. Andaikan kita memiliki sebuah barang yang sangat kita sukai, apalagi masih baru, pastilah kita merasa enggan memberikannya kepada orang lain. Barangkali, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.Ayat ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mempunyai komitmen sosial yang tinggi. Dan, mabrur yang dilekatkan pada haji itu berkaitan erat dengan komitmen sosial tersebut.Seorang haji mabrur, dengan demikian, adalah seorang haji yang memiliki komitmen sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya sepulangnya dari Tanah Suci. Jadi, predikat haji mabrur tidak diperoleh seorang haji ketika berada di Makkah dan Madinah, tapi justru ketika sudah kembali hidup di tengah masyarakat.Berbagai ritual ibadah haji seperti ihram, thawaf, sai, lempar jumrah, tahallul, dan sebagainya, meskipun memperlihatkan sebuah perjalanan transendental menuju Allah, sesungguhnya sarat dengan makna komitmen sosial. Benar pula kalau dikatakan bahwa ibadah haji merupakan sebuah prosesi kepulangan kepada Allah dalam bingkai spiritual. Artinya, setelah itu, kita akan kembali kepada masyarakat dan mengejewantahkan kepulangan kepada Allah itu dalam kehidupan sosial kita.Inilah tantangan yang dihadapi para haji tatkala selesai menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Keberhasilannya memperoleh gelar haji mabrur jelas sangat bergantung kepada sejauh mana komitmen sosialnya ketika berada kembali di tengah-tengah masyarakat.Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. Anda para calon haji, semoga mampu meraihnya. Amin.

Etika Politik Calon Legislatif

Pikiran Rakyat Senin, 03 November 2008

SEJATINYA para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika mereka berhasil memasuki lembaga termasuk, mereka boleh dikatakan sebagai "orang-orang pilihan".
Akan tetapi, terkuaknya sejumlah kasus pelanggaran yang melibatkan beberapa caleg memperlihatkan kepada kita semua betapa mereka sesungguhnya belum siap menjadi "orang-orang pilihan" tersebut. Kasus ijazah bermasalah yang melibatkan Sukmawati Soekarnoputri, Agustina Nasution, dan Uki Widyastuti, juga Wulan Guritno (sertifikatnya tidak layak), yang berbuntut pada pencoretan keempatnya dari daftar caleg oleh KPU adalah bukti yang jelas. Deretan ini akan bertambah panjang jika dimasukkan pula kasus pelanggaran lain seperti pendaftaran ganda di dua parpol yang berbeda, caleg yang masih berstatus PNS, dan mereka yang dilaporkan sebagai politisi busuk karena diduga terlibat dalam kasus-kasus hukum.
Kasus di atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya hanyalah untuk mencari keuntungan an sich, terutama yang bersifat material, tanpa memedulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiaveli yang kesohor itu telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?

Etika politik
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Politis dalam konteks ini adalah berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Sebuah tindakan disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Maka, politisi adalah orang yang mempunyai profesi yang mengenai masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya (Franz Magnis-Suseno: 2001).
Inti dari permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan. Ia berkaitan dengan hak moral seseorang atau sekelompok orang untuk memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki. Pada sisi lain, betapa pun besar kekuasaan seseorang, ia selalu dapat dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Maka, ketika pertanggungjawaban itu tidak dapat diberikan, kekuasaan itu tidak lagi dianggap sah.
Berkaca dari pernyataan di atas, beberapa pelanggaran yang telah dilakukan sejumlah calon legislatif jelas telah mengandung cacat moral yang akan berujung pada tidak terlegitimasinya mereka dalam kekuasaan politik। Seandainya berhasil memasuki ranah kekuasaan sebagai anggota legislatif, mereka tetap akan dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di hadapan publik. Tentu hal itu akan mendelegitimasi kekuasaan mereka. Oleh karena itu, dihapusnya nama mereka dari daftar calon tetap oleh KPU terkait penggunaan ijazah bermasalah sesungguhnya harus dipandang sebagai upaya "penyelamatan" mereka dari kehidupan lebih buruk yang akan menimpa mereka di kemudian hari, yakni aib politik yang boleh jadi akan ditanggungnya sepanjang masa.

Moral vs hukum
Dalam sejumlah kasus, kita kerap menemukan adanya beberapa caleg yang disebut sebagai politisi busuk oleh masyarakat. Sayangnya, KPU sebagai pihak yang memberikan akses kepada publik untuk memberikan laporan dan pengaduan tentang perilaku caleg hanya bisa menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada parpol untuk menilai laik tidaknya caleg tersebut untuk terus maju sebagai caleg. KPU tampaknya hanya bertindak pada tataran administrasi belaka.
Ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa parpol sebagai lembaga yang paling berwenang terhadap nasib politik para calegnya selalu melandaskan pandangan dan sikap politiknya pada keputusan hukum. Para elite parpol senantiasa berdalih bahwa selama belum ada keputusan hukum tetap terhadap caleg yang dilaporkan sebagai yang bermasalah itu, mereka tidak memiliki kewenangan untuk mencoretnya. Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menerapkan asas praduga tak bersalah.
Memang keputusan hukum tidak diragukan lagi bersifat mengikat. Namun yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.
Di negara-negara yang tradisi demokrasinya sudah maju, persoalan moralitas dalam politik merupakan hal yang sangat menentukan karier seorang politisi. Mereka yang diduga terlibat pelanggaran moral, apa pun bentuknya, lebih memilih mundur dari arena pertarungan politik meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa pun akan melakukan hal yang sama jika terlibat kasus pelanggaran moral. Hal itu karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa pelanggaran moral merupakan aib politik yang akan mendegradasi legitimasi etis mereka pada level yang sangat rendah. Mengapa kesadaran seperti itu tidak terdapat pada diri para caleg kita khususnya dan politisi pada umumnya di negeri yang berdasarkan Pancasila ini?***
Penulis, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung dan Magister Ilmu Politik UI।

Pemuda Indonesia dan Jebakan Pragmatisme

Tribun Jabar, Jumat , 24 Oktober 2008
Pemuda Indonesia dan Jebakan Pragmatisme
I
BERIKAN kepadaku sepuluh pemuda..." adalah sepenggal kata-kata yang pernah diungkapkan oleh presiden pertama kita, Soekarno, pada zaman perjuangan kemerdekaan। Kata-kata tersebut tentu bukan sekadar retorika kosong, sebab pemuda dengan semangatnya yang menggelora memang kekuatan yang sangat dahsyat।

Pemuda, di belahan mana pun di dunia ini, adalah generasi yang akan menjadi tulang punggung bangsa dan negaranya di masa depan. Pada diri mereka harapan segenap bangsa disandarkan; pada semangat dan keberanian mereka suara dan kehendak rakyat disemayamkan. Pendek kata, pemuda, sebagaimana ungkapan yang sering disitir orang, adalah harapan bangsa.
Secara historis, peran pemuda di negara Indonesia tidak dapat dibantah। Soekarno, Hatta, Sjahrir, tanpa bermaksud mengabaikan tokoh-tokoh lain yang tidak tercantumkan di sini, adalah representasi kaum muda Indonesia ketika itu. Mereka berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi meraih kemerdekaan dari kaum penjajah sehingga berdirilah Republik Indonesia yang diakui dunia sampai hari ini.

Ideologi yang रपुह
Jika di masa lalu peran pemuda Indonesia begitu besar, apakah pemuda-pemuda Indonesia hari ini dapat melakukan hal yang sama, atau setidaknya mewarisi semangat perjuangan mereka? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu tidak cukup bijak kalau diajukan secara sederhana atau secara hitam-putih, misalnya ya atau tidak। Tetapi penulis berusaha mengedepankan bagaimana kondisi kekinian yang menimpa para pemuda di negara kita।

Di antara kondisi kekinian yang ingin penulis kemukakan di sini adalah problem kultural yang menghinggapi banyak pemuda Indonesia. Masalah kultural sebenarnya bisa mencakup banyak hal, seperti cara berpikir, bertutur, bersikap, berperilaku, gaya hidup (lifestyle) dan sebagainya. Tetapi penulis akan menekankan di sini pada aspek ideologi yang agaknya kurang dijadikan elan vital oleh pemuda masa kini.
Di tengah gencarnya arus globalisasi--kadang ada yang memelesetkan dengan gombalisasi--yang sulit dibendung, problem kultural di atas kian parah. Godaan gaya hidup hedonistis-kapitalistik yang notabene buah dari globalisasi di kalangan para pemuda luar biasa kuat. Parahnya, hal ini tidak saja terjadi di kalangan pemuda kota, tapi juga di kalangan pemuda desa karena adanya televisi. Iklan-iklan gaya hidup yang menawarkan kenyamanan dan kenikmatan hidup di media elektronik ini demikian gencar dan massif sehingga mampu meruntuhkan sendi-sendi pertahanan para pemuda tersebut.
Oleh karena itu, para pemuda yang tidak mempunyai bekal ideologi yang kuat akan dengan mudah terseret arus tersebut। Persoalannya adalah generasi muda masa kini, berbeda dengan generasi muda masa dahulu, pada umumnya mempunyai ideologi yang rapuh. Jika di masa lalu "ideologi perjuangan" mampu menjadi elan vital para pemuda dalam mengenyahkan penjajah, maka ideologi apakah yang dipegang para pemuda masa kini untuk menyingkirkan godaan-godaan gaya hidup hedonistik-kapitalistik tersebut?

Jebakan प्रगामातिसमे
Salah satu musuh besar dari para aktivis muda sejak zaman dahulu sampai sekarang adalah pragmatisme. Akbar Tanjung, Fahmi Idris, dan angkatan 66 lainnya pernah dituding sebagai aktivis-aktivis muda pragmatis ketika memasuki dunia birokrasi. Pasalnya, pragmatisme biasanya berorientasi pada tujuan politik sesaat atau jangka pendek sehingga pada gilirannya akan memudarkan sikap independensi dan kekritisan pemuda, dua hal yang merupakan karakteristik pemuda.
Pada masa sekarang jebakan pragmatisme justru jauh lebih kuat. Godaan pragmatisme yang sangat kuat akhir-akhir ini adalah berasal dari partai politik (parpol). Sejumlah 38 parpol yang telah dinyatakan sah dan berhak ikut bersaing dalam pemilu 2009 sangat gencar mendekati kalangan pemuda untuk dijadikan caleg-caleg mereka. Bahkan hampir semua parpol menjadikan kalangan pemuda dalam kerangka membangun citra (image buiding) yang baik ketika wacana kepemimpinan kaum muda mencuat dalam berbagai perbincangan nasional akhir-akhir ini.
Akibatnya, banyak sekali sekarang ini caleg-caleg dari kaum muda yang menyambut tawaran parpol tersebut secara taken for granted tanpa disikapi secara kritis. Alih-alih, mereka justru menjadikan hal tersebut sebagai peluang emas untuk meraih karier politik. Celakanya, hal ini seringkali tidak dibarengi kemampuan politik yang memadai sehingga pada saat memasuki dunia politik yang sesungguhnya mereka akan gamang. (*)

Sosialisasi Gemar Membaca Buku

Harian GalamediaJumat 24 Oktober 2008
DALAM sebuah perjalanan, penulis pernah transit di Bandara Frankfurt, Jerman, selama kurang lebih enam jam untuk menunggu pesawat berikutnya. Ketika penulis duduk-duduk sambil membaca buku yang telah dipersiapkan sebelum penerbangan, penulis melihat dua kelompok remaja dengan karakteristik berbeda, bahkan bertolak belakang. Yang pertama anak-anak Jerman dan yang kedua anak-anak keturunan Turki.Pada kelompok yang pertama, penulis melihat sesuatu yang mengagumkan. Mereka asyik membaca buku, bahkan ketika ada dua orang di antara mereka bermain catur, mereka tetap memegang buku. Sedangkan pada kelompok yang kedua, penulis melihat sesuatu yang merupakan kebiasaan anak-anak muda di Indonesia, bernyanyi-nyanyi, berteriak-teriak, tidak peduli pada orang-orang sekitar. Tidak ada satu pun dari mereka yang memegang buku. Lalu penulis membatin dalam hati, "Inilah potret yang merepresentasikan dua dunia yang berbeda: dunia maju dan dunia berkembang".Dari pengalaman di atas, penulis ingin mengatakan bahwa kebiasaan atau budaya membaca di kalangan masyarakat kita, bahkan dalam dunia pendidikan kita sekalipun, boleh dikatakan masih sangat jauh dari menggembirakan. Sedikit di antara anak-anak didik, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang gemar membaca.Karena itu, acara yang diselenggarakan Badan Perpustakaan Daerah (Bapusda) Provinsi Jawa Barat, yaitu "Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca", serta Peresmian dan Pengembangan Gedung Badan Daerah (Bapusda) Provinsi Jawa Barat yang dihadiri Gubernur Ahmad Heryawan (गलामेडिया,, 22 Oktober 2008) patut mendapat apresiasi yang tinggi dari semua pihak।Dalam sebuah kesempatan, budayawan Emha Ainun Najib pernah mengatakan, di Indonesia terdapat "kekeliruan" tahapan budaya yang berakibat cukup fatal. Yang dimaksud tahapan budaya di sini adalah dari budaya membaca ke budaya elektronik (televisi dan sejenisnya). Pada saat budaya membaca belum terbangun dengan kokoh di negara kita, masuklah budaya elektronik secara gencar dan masif. Akibatnya budaya membaca yang masih tertatih-tatih itu tergerus tanpa ampun oleh budaya elektronik.Sangat masuk akal jika budaya membaca itu mampu dikalahkan secara telak oleh budaya elektronik. Pasalnya, budaya yang terakhir ini menawarkan sesuatu yang menyenangkan karena fungsinya memang untuk menghibur. Sekalipun budaya elektronik ini bisa juga digunakan untuk media pendidikan, tetapi praktiknya sangat minim. Salah satu televisi kita yang dengan tegas-tegas menyatakan "televisi pendidikan" pun ternyata tidak ajeg (konsisten) dalam pelaksanaannya. Sementara itu budaya membaca yang membutuhkan keseriusan dan ketekunan itu tentu kian ditinggalkan masyarakat dan anak didik kita. Kalau kita mencoba ingin membuktikan tesis di atas pada anak didik, misalnya, maka kita dengan mudah dapat melakukannya. Kita cukup melihat anak-anak kita di rumah ketika pulang dari sekolah. Apakah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau menonton televisi? Jawabannya hampir bisa dipastikan bahwa yang terakhir itulah yang paling sering dilakukan. Sistem pengajaranDalam ranah pendidikan, hemat penulis, sistem pengajaran yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan negara kita pada semua jenjang belum mendorong budaya membaca di kalangan anak didik. Para pengajar, baik guru ataupun dosen, masih banyak yang memandang anak didik/mahasiswa sebagai objek belaka. Mereka diibaratkan seperti "botol kosong" yang siap diisi sepenuhnya oleh para pengajar. Pada saat yang sama guru atau dosen jarang sekali memberikan tugas kepada anak didik/mahasiswa untuk membaca sejumlah buku sebelum masuk kelas. Bukan sekadar membaca, tentu saja, tetapi juga meresumenya, bahkan jika mampu memberikan komentar atau kritik terhadap isi bahan bacaan tersebut. Sehingga ketika mereka masuk kelas, mereka sudah siap bertanya jawab dengan pengajar. Anak didik/mahasiswa kita umumnya sangat santai di luar kelas, sementara di AS mereka sangat sibuk belajar dan mengerjakan tugas jika ingin berhasil. Ruang perpustakaan benar-benar dimanfaatkan mereka untuk keperluan belajar dan mengerjakan tugas tersebut. Bandingkan dengan ruang-ruang perpustakaan di sini yang acapkali sepi pengunjung. Sosialisasi sejak dini Dari paparan di atas, penulis berkesimpulan, untuk mengembangkan kegemaran membaca, terutama di kalangan anak didik, yang pada gilirannya akan mampu menumbuhkan budaya membaca, kita mesti mulai menyosialisasikannya sejak dini. Artinya kita tidak cukup hanya berharap pada lembaga pendidikan, baik formal, nonformal maupun informal, apalagi kondisi lembaga pendidikan kita masih belum banyak mendorong kegemaran membaca di kalangan anak. Dalam konteks ini, peran keluarga menjadi sangat penting. Kedua orangtualah yang pertama-tama harus menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak sejak usia balita. Kita bisa memulainya dari menyediakan buku-buku anak-anak di rumah kita. Sediakan pula mainan-mainan yang dapat merangsang anak untuk membaca, seperti alfabet dari kayu, huruf-huruf dari plastik, puzzle berbentuk abjad, dan sebagainya.Tetapi yang jauh lebih penting dari menyediakan bahan-bahan tersebut adalah bagaimana kita dapat memanfaatkannya bersama-sama dengan anak-anak kita. Artinya, orangtua tidak sekadar membelikan buku dan peralatan lainnya, tetapi bagaimana mereka sendiri harus memberikan contoh kepada anak-anak dalam hal membaca. Anak-anak yang terbiasa melihat orangtuanya atau orang dewasa di sekitar mereka membaca buku akan tertarik menirunya. Ingatlah, anak-anak paling suka meniru segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka. Sosialisasi gemar membaca sejak dini menjadi keharusan bagi kita semua jika kita ingin budaya membaca benar-benar tumbuh di kalangan anak-anak kita.

Menyoal Penghargaan terhadap Buku

Membaca berita "PR" (Sabtu-4/10) dengan judul "21 Ton Buku Pesanan Dijual ke Tukang Loak" terasa sangat memilukan. Betapa tidak, buku yang belum pernah dibaca sama sekali alias masih baru itu, bernasib seperti barang-barang rongsokan, dijual dengan harga yang sangat jauh dari kewajaran. Adalah CV Geger Sunten, salah satu percetakan buku di Tasikmalaya yang terpaksa menjual buku paket murah pesanan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, mulai dari jenjang SD sampai SMA. Alasannya, sudah tiga tahun, pihak pemesan tidak mengambil atau membayar buku paket tersebut.
Tulisan sederhana ini tidak ingin membahas persoalan-persoalan teknis terkait dengan penerbitan buku tersebut, seperti kontrak kerja dan semacamnya, apalagi berpretensi untuk menghakimi pihak mana yang bersalah. Alih-alih penulis ingin mencoba melihatnya kepada hal yang jauh lebih esensial, yakni persoalan yang menimpa dunia perbukuan, atau secara lebih umum, dunia baca tulis dalam ranah pendidikan kita. Minimnya apresiasi pemerintah dan tradisi baca tulis yang masih rendah adalah dua hal yang ingin disorot dalam masalah ini.
Minim apresiasi
Apa yang dapat kita tangkap dari kasus di atas? Menurut hemat penulis, inilah potret dari minimnya apresiasi pemerintah dan pihak-pihak terkait, terhadap dunia perbukuan di negeri kita. Dunia perbukuan yang merupakan salah satu bentuk representasi dari baca tulis tersebut, tampaknya belum dianggap sebagai bagian integral dari peradaban negeri kita. Ia dipandang sebagai marjinal, seolah hidup di dunia antah berantah. Keberadaannya dipandang sebelah mata. Kepala Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, ketika menanggapi kasus ini mengatakan, "Percetakan buku tidak lebih atau seperti pembuat kerupuk yang dijual bebas ke masyarakat. Jika tidak ada yang beli, hal itu merupakan risiko dari usaha pihak percetakan." ("PR", 7/10). Sebegitu tidak berhargakah buku di hadapan aparat pemerintah?
Padahal, kita mengetahui dari sejarah bangsa-bangsa di dunia bahwa peradaban satu bangsa pastilah ditopang oleh hasil karya dari anak-anak bangsa tersebut. Peradaban Yunani tidak mungkin dihargai dunia di masa lalu, jika tidak mempunyai karya-karya besar dalam bidang filsafat yang banyak mengilhami para pemikir di berbagai belahan dunia. Siapa di antara kita yang tidak mengenal tokoh-tokoh filsafat Yunani seperti Plato, Aristoteles, Sokrates, dan sebagainya?
Demikian pula dalam sejarah Islam, kita mengetahui bahwa puncak peradaban Islam itu terjadi pada masa dua khalifah terkemuka dari Kekhalifahan Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan al-Ma`mun. Pada masa itu ada lembaga bernama "Baitul Hikmah" didukung sepenuhnya Khalifah, yang begitu giat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran filsafat, sastra, dan sebagainya, melalui penerjemahan sejumlah buku dari Yunani, Persia, dan lain-lain.
Maka, muncullah para pemikir Muslim ketika itu yang karya-karyanya sangat dikagumi dunia, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averoes), Ibnu Khaldun, Nasiruddin al-Thusi, dan sebagainya. Yang menarik mereka tidak sekadar mengadopsi begitu saja pemikiran dari para filosof Yunani, tetapi justru mengkajinya secara mendalam, mengadaptasikannya dengan tradisi Islam, dan bahkan melakukan kritik yang tajam. Al-Farabi, misalnya, terkenal dengan kritiknya yang tajam terhadap Logika Aristoteles dan itu diakui para pemikir dunia berikutnya. Banyak pihak yang tidak meragukan bahwa kemajuan peradaban Barat yang dapat kita saksikan sampai hari ini sangat dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Muslim tersebut.
Dari paparan historis di atas jelaslah bahwa dukungan pemerintah (baca: Khalifah) terhadap kegiatan baca tulis anak bangsanya sangat penting. Tanpa ada dukungan pemerintah melalui pembentukan lembaga tersebut, barangkali peradaban Islam tidak akan secemerlang seperti yang kita kenal. Maka, membaca berita tentang "kurang responsif"-nya sejumlah pihak, termasuk pemerintah atas kasus yang menimpa CV Geger Sunten, sungguh sangat ironis. Bukankah buku-buku tersebut sangat diperlukan oleh pihak sekolah, karena muatannya yang memang sudah disesuaikan dengan kebutuhan anak didik di sana? Dan bukankah buku-buku itu adalah hasil karya dari para pendidik di kalangan mereka sendiri?
Andai buku-buku itu diselamatkan, maka banyak pihak yang akan terselamatkan. Anak-anak didik tentu akan dapat mengaksesnya dengan harga yang relatif terjangkau, karena merupakan buku paket murah. Sementara itu, bagi para pendidik yang menulis buku-buku tersebut, selain ada honorarium, tentu yang lebih penting adalah tumbuhnya pada diri mereka kecintaan untuk membaca dan menulis, sehingga gairah mereka dalam dunia bacatulis akan menyala-nyala.
Tradisi baca tulis
Selain minimnya apresiasi pemerintah terhadap dunia perbukuan, tradisi baca tulis juga perlu dibahas di sini. Sebenarnya, pembuatan buku-buku paket murah di sekolah-sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya, telah memberikan harapan besar untuk menguatnya tradisi baca tulis dalam dunia pendidikan kita. Sayangnya, harapan itu kini "diempaskan" kembali. Yang paling ditakutkan adalah kejadian di atas bisa "membunuh" gairah para pendidik dalam dunia baca tulis.
Padahal, secara umum di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia mulai jenjang SD sampai PT, tradisi baca tulisnya jauh dari menggembirakan. Hal itu, ditambah oleh sistem birokrasinya yang tidak menjunjung tinggi meritokrasi, yakni penghargaan terhadap guru atau dosen yang didasarkan pada prestasi, antara lain menerbitkan karya tulis. Padahal, di negara-negara maju seperti sering dikatakan Prof. Deddy Mulyana (2008), sistem meritokrasi itu begitu ajeg diterapkan. Ada ungkapan dari kalangan mereka yang sangat relevan dalam hal ini, to publish or to perish (menerbitkan atau hilang sama sekali).
Di dunia PT, misalnya seorang Guru Besar akan dihormati kalau ia sudah berhasil menerbitkan karya tulisnya, baik berbentuk makalah dalam jurnal maupun buku. Kebiasaan mereka untuk saling menukar karya tulis jika bertemu adalah hal yang lazim terjadi. Sebaliknya, seorang Guru Besar yang tidak mampu menerbitkan karyanya, akan dengan "sadar diri" mengundurkan diri dari lingkungannya itu. Sebab, tanpa mengundurkan diri pun, lambat laun ia akan tersisih. Inilah yang agaknya sulit sekali (atau "mustahil"?) terjadi dalam dunia PT Kita.
Pada saat yang sama sistem pengajaran dalam dunia pendidikan kita, tidak dapat menumbuhkan budaya baca apalagi tulis. Jarang kita mendengar ada seorang guru/dosen yang memberikan tugas membaca sekian buku kepada para siswa/mahasiswa--sebagaimana lazimnya di negara-negara maju--dan membuatkan resume atau komentar atau bahkan kritik terhadap bahan bacaan tersebut. Alih-alih sistem pengajaran kita masih bertumpu pada model ceramah, di mana anak didik dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi.
Ala kulli hal, dari kasus di atas setidaknya kita dapat mengambil "ibrah" bahwa dunia pendidikan di negeri Indonesia, termasuk masalah dunia baca tulis, seperti yang terepresentasikan dalam perbukuan kita, masih menyimpan sejumlah persoalan yang serius, untuk tidak mengatakan berada dalam "ruang gawat darurat"। Kepada pemerintah dan semua pihak yang terkait, yakinlah bahwa tindakan penyelamatan terhadap kasus di atas, apa pun bentuknya, pastilah tidak akan merugi. Apalagi kita baru saja merayakan Idulfitri, sehingga peluang untuk terus "menabung" pahala terbentang di hadapan kita. (Iding R. Hasan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung)***
Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 13 Oktober 2008

Esensi Yang Terabaikan

Tribun Jabar, Sabtu , 20 September 2008 ,
Esensi yang TerabaikanIDING R HASAN, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung
SEJATINYA media massa, termasuk televisi, selain berfungsi untuk menghibur juga mengemban misi pendidikan bagi khalayak. Sebagai salah satu sarana sosialisasi, peranan televisi sangatlah penting. Berbagai nilai kebaikan sesungguhnya dapat ditanamkan ke masyarakat luas secara efektif melalui aneka ragam tayangannya.
Dalam konteks tayangan acara-acara keagamaan yang umumnya ditampilkan pada bulan Ramadan--sekalipun ada pula yang ditayangkan di bulan-bulan lainnya--tampaknya fungsi yang kedua tersebut belum terpenuhi dengan baik. Kita masih sering menyaksikan acara-acara televisi yang lebih banyak menonjolkan aspek hiburannya sekalipun dibungkus dalam kemasan religi. Tidak heran kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum lama ini memberikan rapor merah terhadap sebagian besar acara televisi yang ditayangkan pada minggu pertama dari bulan Ramadan tahun ini. Simbolistik-Verbalistik Sinetron religi, untuk menyebut salah satu acara keagamaan yang banyak ditayangkan oleh hampir semua stasiun televisi pada bulan Ramadan, pada umumnya terjebak pada simbolisme dan verbalisme keagamaan yang rigid. Ekspresi-ekspresi keagamaan yang bersifat simbolik jauh lebih menonjol ketimbang esensi keagamaan itu sendiri.
Demikianlah sebuah sinetron akan dipandang religius manakala sinetron tersebut kental dengan simbol-simbol keagamaan. Para aktor dan aktrisnya berpakaian Islami (meskipun dalam kesehariannya mereka umumnya sering tampil sebaliknya), ucapan-ucapannya sering menyitir ayat-ayat dari Kitab Suci, setting ceritanya dekat dengan masjid, dan sebagainya.
Sementara itu, kalau kita memerhatikan dengan saksama, alur ceritanya acapkali terasa dangkal, terkesan dibuat-buat, tidak realistis, menggurui, dan menyederhanakan persoalan. Misalnya dalam sebuah sinetron, seorang tokoh protagonis digambarkan luar biasa sabar dan pemaaf; sebaliknya tokoh antagonis digambarkan sedemikian jahat, penuh dengki, iri hati, dan sebagainya. Apa pun bisa dijadikan alasan untuk mencelakai si tokoh protagonis. Dan di akhir cerita, si penjahat biasanya menyadari kekeliruannya.
Sedemikian sederhanakah persoalan antara kebaikan dan keburukan di tengah masyarakat? Padahal dinamika yang terjadi dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya seringkali memperlihatkan hal yang sebaliknya, begitu kompleks dan sumir. Inilah yang jarang--atau mungkin enggan--digali dengan serius oleh para pembuat sinetron-sinetron religi kita. Mungkin pengecualian bisa dialamatkan kepada sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) baik yang pertama maupun jilid dua yang sedang tayang.
Ironisnya, sebagian dari pemirsa--boleh jadi mayoritas--menyukai sinetron-sinetron semacam ini. Fenomena ini, hemat penulis, tidak lepas dari corak keberagamaan masyarakat Indonesia yang memang umumnya juga bersifat simbolistik-verbalistik. Orang Indonesia agaknya lebih menyukai tampilan lahiriah daripada batiniah. Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan, misalnya, seorang yang pernah melaksanakan ibadah haji, jika dalam kesehariannya selalu memakai peci putih, akan lebih dihormati dan disegani daripada seorang haji yang selalu menggunakan pakaian keseharian biasa. Padahal boleh jadi perilaku yang pertama itu tidak lebih saleh dari yang kedua.
Mengedepankan Esensi Fenomena di atas selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama, terutama para pengelola media televisi. Sinetron-sinetron religi yang banyak ditonton oleh khalayak sudah seharusnya dipersiapkan dengan sangat matang dari berbagai aspek, bukan sekadar untuk mengejar tayang. Kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki concern terhadap masalah ini tentu tidak bisa dielakkan lagi.
Namun pertama-tama, hemat penulis, pemahaman atas makna religiusitas perlu dilihat kembali. Selama ini banyak kalangan, termasuk para pengelola televisi, memahami religiusitas tersebut secara simbolistik an sich. Manifestasi dari model pemahaman semacam itu terepresentasikan dalam berbagai tayangan keagamaan yang sarat dengan ekspresi simbolistik, termasuk sinetron.
Padahal makna religiusitas yang esensial adalah suatu kesadaran kemanusiaan yang dapat menuntun manusia untuk dekat bukan hanya dengan Tuhannya melainkan juga dengan sesamanya dan alam semesta. Maka, makin religius seseorang, makin dekat ia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Dalam konteks inilah sinetron religi itu seharusnya ditempatkan. Sebuah sinetron, meskipun tidak menampilkan simbol-simbol keagamaan, layak disebut religi manakala ia menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Tema-tema tentang perjuangan hidup, gugatan terhadap ketidakadilan, dan sebagainya dapat ditampilkan sebagai sinetron religi.
Konteks puasa pada bulan Ramadan adalah momentum yang sangat tepat untuk menampilkan sinetron-sinetron religi yang menonjolkan esensi keagamaan, sebab puasa sejatinya menekankan nilai-nilai esensial, bukan sekadar yang simbolik। Nabi Muhammad, misalnya, mengatakan bahwa banyak orang Islam yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali sekadar haus dan lapar. (*)

Menyoal Syarat Dukungan Capres

Seperti yang telah sering disebut-sebut oleh sebagian politisi Partai Golkar beberapa waktu sebelumnya dalam berbagai forum, akhirnya partai yang berlambangkan pohon beringin ini melalui fraksinya di parlemen (FPG) secara resmi mengajukan syarat dukungan bagi pasangan calon presiden (capres) sebesar 30% perolehan suara pemilihan umum (pemilu) secara nasional. Dukungan tersebut masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) FPG dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres).

Apa yang dilontarkan FPG ini tentu saja menuai reaksi yang cukup beragam terutama dari kalangan partai politik (parpol). Parpol-parpol medioker umumnya menentang usulan tersebut. PPP, misalnya, terang-terangan mengajukan ketidaksetujuannya dan menghendaki agar syarat dukungan pasangan capres tetap mengacu kepada UU 23/2003 tentang Pilpres dengan alasan bahwa undang-undang ini bahkan belum digunakan pada pemilu 2004 lalu. Demikian pula parpol-parpol lain semisal PAN dan PKS menyuarakan keberatan yang sama.

Yang cukup mengherankan adalah sikap FKB. Pada awalnya fraksi ini dengan tegas menentang usulan syarat dukungan 30% dan mengusulkan agar semua partai politik yang lolos parliamentary threshold bisa mencalonkan pasangan calon presiden. Tujuannya adalah agar masyarakat mempunyai banyak alternatif pilihan. Tetapi dalam finalisasi daftar inventarisasi masalah yang dibahas di parlemen kemarin, FKB justeru sepakat dengan FPG.

Implikasi Politik

Dari sudut pandang politik, syarat dukungan bagi calon presiden sebesar 30% yang diajukan FPG tentu saja akan menimbulkan implikasi sosial dan politik yang cukup serius, baik yang bersifat positif maupun negatif. Implikasi yang positif, misalnya, dengan dukungan 30% suara pemilihan umum secara nasional, sebuah pemerintahan di republik ini akan berlangsung kuat dan efektif. Dus, hubungan pemerintahan sebagai lembaga eksekutif di satu sisi dan DPR sebagai lembaga legislatif di sisi lain akan berimbang, sehingga prinsip check and balance pun dapat diterapkan dengan semestinya.

Apa yang terjadi pada SBY yang diusung Partai Demokrat, yang notabene merupakan partai politik medioker memperlihatkan hal yang sebaliknya. Betapa SBY dalam beberapa kasus tidak berdaya (dibuat tidak berdaya) untuk melakukan komunikasi politik yang seimbang dengan lembaga legislatif. Contoh yang paling mutakhir adalah ditolaknya calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan oleh Presiden SBY oleh DPR, sesuatu yang belum pernah terjadi pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Realitas politik ini tentu tidak terlepas dari minimnya dukungan politik terhadap SBY dari kalangan legislatif yang secara mayoritas diisi oleh wakil-wakil partai politik yang tidak mendukung SBY pada pemilu 2004.

Selain bisa menjadikan pemerintahan kuat dan efektif, syarat dukungan capres sebesar 30% akan menciptakan koalisi permananen di antara parpol peserta pemilu. Parpol seolah-olah dipaksa untuk membentuk koalisi sejak dini, pasalnya dengan jumlah parpol peserta pemilu pada 2009 yang dipandang berbagai kalangan masih terlalu banyak, akan sulit sekali bagi sebuah parpol untuk memperoleh dukungan perolehan suara secara nasional sebesar 30%. Partai Golkar sekalipun agaknya sulit untuk meraih dukungan sebesar itu.

Namun demikian, syarat dukungan capres sebesar 30% pada aspek yang lain tak pelak lagi akan membawa implikasi negatif bagi perjalanan politik Indonesia ke depan. Pertama, sebagai rakyat yang sesungguhnya merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam perspektif demokrasi, kita tidak lagi disuguhi calon-calon pemimpin alternatif; padahal demokrasi senantiasa meniscayakan banyak alternatif pilihan. Hal ini karena bisa dipastikan bahwa yang berhak maju sebagai pasangan capres paling banyak sekitar dua atau tiga pasangan saja.

Kedua, suara-suara yang menghendaki agar pemilu 2009 menjadi arena lahirnya pemimpin nasional dari kalangan muda atau muka-muka baru secara otomatis akan tergerus oleh persyaratan tersebut. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena pada akhirnya kita akan “dipaksa” memilih muka-muka lama. Mungkinkah parpol-parpol besar seperti Golkar dan PDIP akan memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk tampil di pentas nasional? Agaknya hal ini sulit terjadi. PDIP, misalnya, sejak awal sudah menjagokan Megawati Soekarnoputri sebagai satu-satunya capres, sehingga partai ini hanya sibuk mencari cawapres pendamping Mega. Sementara Golkar sebagaimana telah diketahui telah meniadakan konvensi yang pernah diterapkan semasa kepemimpinan Akbar Tanjung. Oleh karena itu, peluang tampilnya tokoh-tokoh di luar partai menjadi sirna. Ini berarti Golkar akan menominasikan ketua umumnya, Yusuf Kalla, sebagai capres atau cawapres.

Ketiga, sesungguhnya tidak ada jaminan yang pasti bahwa dukungan yang besar terhadap pasangan capres secara otomatis akan menampilkan kinerja yang lebih bagus dari sebelumnya. Sebab dengan persyaratan yang besar itu mau tidak mau parpol akan berkoalisi secara besar-besaran. Koalisi semacam ini terkadang cukup rentan sehingga mudah rontok di tengah jalan.

Kenegarawanan

Menurut hemat saya, yang sebaiknya mesti ditampilkan oleh para tokoh dan partai politik adalah sikap kenegarawanan (statesmanship). Sikap kenegarawanan adalah sikap yang lebih menitikberatkan kepentingan negara daripada kepentingan golongan atau partainya sendiri. Sikap inilah yang dewasa ini tampaknya sulit ditemukan pada para elit politik di negeri ini.

Membaca usulan yang telah diajukan FKB di atas ada semacam kekhawatiran bahwa apa yang sesungguhnya ingin diraih oleh fraksi ini adalah semata-mata untuk memuluskan kepentingan partainya dan secara spesifik ketua umumnya, bukan untuk kepentingan negara dalam jangka panjang. Orang pun bisa menilai bahwa usulan ini sekadar taktik belaka. Bukankah dalam berbagai survei atau jajak pendapat tentang capres 2009 nama ketua umum partai ini selalu berada di urutan terbawah? Maka, dengan “menghilangkan” peluang capres-capres pesaingnya yang notabene lebih unggul, peluang sang ketua umum kian terbuka lebar.

Dalam dunia politik hal-hal seperti ini memang sah-sah saja, sebab fraksi adalah kepanjangan tangan dari partai politik. Artinya, di pundak fraksi ada misi yang dibebankan partainya. Namun yang mesti diingat adalah bahwa ketika sudah berada di lembaga legislatif mereka merupakan wakil rakyat. Maka sudah seharusnya mereka senantiasa membaca dan menyelami aspirasi rakyat. Kecerdasan untuk menangkap aspirasi rakyat inilah yang sesungguhnya merupakan kesejatian demokrasi. Dan orang-orang dengan sikap kenegarawanan sejati akan mampu melakukan hal tersebut

Dimuat di harian Koran Jakarta, Selasa 3 Juni 2008

Ulama and State

A. Background of Study

Study of relation between ‘ulama and state in Muslim countries like Indonesia is very important, in spite of having litle concerns of political researcher.[1] Actually, on one hand, ‘ulama politically has a very strategic position among the community due to the their roles as the informally influential leaders. And the state, on the other hand, is the important party in relation to governing a much of society’s affairs. [2] So, the relation between both is likely to deeply elaborated.

The relation between ‘ulama and state in Indonesia has been clearly manifested at ‘ulama organization known as Indonesian Council of ‘Ulama (called, MUI). There are several previous studies about the MUI, among other things: Mohamad Atho Mudzhar, Fatwas of the Council of Indonesian ‘Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, Ph.D. Disertation, University of California, Los Angeles, United States of Amerika, 1990. This disertation has been translated into Indonesian under the title: Fatwa-Fatwa Majelis ‘Ulama Indonesia, published by INIS in 1993.

MUI established in 1975 on the inisiative of President Soeharto[3]. The asumption that MUI formed on the President inisiative according to somes MUI officials could not fully justified. Kafrawi Ridwan, for instance, the former Secretary General that involved much in the establishment of MUI said that the idea comes also from the Muslim community themselves about the need to a body for establishing communication bridge between them and government. Thus, he asserted that the MUI constitutes a government's will as well as umma.

The efforts toward establishment MUI actually were not done easily and shortly, but it need long time. In this regard, the role of Mukti Ali, the former Minister of Religious Affairs, was very important. He was who made many approachs to the ‘ulama, actively visited to many pesantren, Islamic mass organizations and others concerrned, in order to socialize the notion about the importance of the relation between ‘ulama and state for sake of supporting development.[4]

By his ability and broad knowledge, Mukti Ali succesfully satisfied the ‘ulama. He, for instance, emphasized the importance of religion in Indonesian country and government directions toward pesantren and Islamic schools, so that they were interested. Then Mukti Ali asked them to be so called "heaven technocrat" (teknokrat samawy) in order to participate in the development.

In addition, prior to establishment of MUI, there were several ‘Ulama Councils in some provinces, such as West Java, West Summaera and Aceh.[5] Of course, its existence must be referred to, particularly that these organizations have concretely contributed to each province. Therefore, Mukti Ali approached them too and ask them to come into a same, but nationally scale organization. In the beginning they seem to be not interested, but finally they welcomed it.[6]

Thus, the establishment of MUI closely related to the momentum of national development lauched greatly by the New Order government. President Soeharto, in his speech at the closing ceremony of The Workshop on Mubalig all over Indoneesia, for example, stated a significance of an 'Ulama Council Organization at national level to respond the challenges and needs of the development. According to him, to develop a community is impossible without a unity. Hence, the disunited community, especially the umma, could not develop at all.[7]

On the other hand, the establishment of MUI can be regarded as an alternative for the government to get communication access to Islamic community.[8] It has a close relation to the political policies of the government toward umma, in particular the political Islam. The government seems to be alergi dan trauma to the political Islam who oftenly deemed as a radicalist in voicing their aspirations. The stigmaitation that discredited Islam inevitably flourished. However, the government can not fully leave the Islam, at least to increasingly strengthen its legitimation. It is in this contex that the MUI be an appropriate alternative.[9]

The strong of political nuance of the establishment of MUI greatly impact on the existence and roles of this’ulama organization. Besides that, practically almost of the activities of it, including its officials fully financed by the goverment.[10] As a consequence, they can not do much in the benefit of umma, and sometimes they serves as a stamp of government policies, however is oftenly rejected by most of its officials.[11]

Moreover, the government of New Order tends to be authoritarian and hegemonic regime in all aspects of society life. This reality makes more difficult for the MUI position. The genuine role of the ‘ulama as communicator of umma aspiration in turn defeated by new role of them as communicator of goverment. “Government ‘ulama”[12] then become inevitably a trade mark of them, a label that actually denote pejoratively.

Therefore, the relation between ‘ulama and state in New Orde period tend to be subordinative. It means that those ‘ulama involved in such this institution are subjected to the lines of government policies. In other words, the interest of ‘ulama in this contex is cooptated by the interest of goverment. It is not suprisingly that those Muslims who are very critical to the goverment, since the early stated that the iniatiation of ‘ulama into the power could not serve much for the sake of umma.

As far as the phenomenon of relation between ‘ulama and state is concerned, we knew that it is not the new one in the history of Islam, even it can be traced back to early phase of Islam in the leadership of the Prophet Muhammad. But there are a clear difference between this kind of relation in the period of Prophet and The Guidely Right Chaliphs and the next Chalips, even until today.

In the period of Prophet and The Guidely Right Chaliphs, the relation between both can not be separated each other. This particularly true because the label of ‘ulama and political leader (umara) gathered in the same time at the Prophet and The Guidely Right Chaliphs.[13] We did not find the clear separation in that time between religion that now understood as the authoritical area of ‘ulama, dan politic that considered as the authoritical area of goverment.

As Fachry Ali pointed out, such condition likely took placed when the religio-politic structure within the social-politic structure of a community (community of Medina) has a broad strecth force encompassing the aspects of socio-economy and politic. Within such a structure will establish a strong and dominant ’ulama structure. As such, the Prophet Muhammad serves as religion and socio-politic leader at the same time. Hence, the socio-politic policies he made constitute a integral part of religious teachings.[14]

However, in the next caliphal, Umayyad, Abbasid and so on, the relation between ‘ulama and state did not follow that model any more. There was a shift in the relational pattern between both due to the fundamental change concerning the existence of caliphate itself. As we knew that the the system of government at that time has changed to be a monarchy by designating of the caliphs children as the successors of their parents. So, the Umayyad and Abbasid caliphate became a dinasty, like all the dinasties all over the world. In such conditions, the persons who occupied the government offices, from caliphates to their subordinates, not those who have the qualifications of ‘ulama any more, but the politicions who thought and acted only to get and strengthen the power.

In the history of relation between ‘ulama and state, the ‘ulama divided into two type.[15] First, the formal ‘ulama (al’ulama ar-rasmiyun) and second, the independent ‘ulama (al-‘ulama al-mustaqillun). The former are those who involved and subjected to the power of a bureaucratization. They receive salaries and other materials from government. As a consequence, they lost independence, authority and influence in the eyes of umma. On the contrary, the independent ‘ulama are those who did not want to involve in it. They were whom in the period of Mustapa Kemal Attaturk –when launched his secularization program—be the subject of oppression and torture.

It seems that the first type of ‘ulama has its relevance to those who involved in the MUI. The officials of this organization receive the salaries although not in the direct form and other facilities from government. As may be expected, that their influence and authority falls drastically in the eyes of Indonesian umma.

However, in the era of reformation marked by the falling of President Soeharto, the MUI shows significant changes in almost part of this organization. They begin to review its existence and function to be evaluated. Then, come into existence what is called “new paradigm” of MUI as guideline for all steps and actions of it, including its relation with the goverment. This new paradigm in turn provides a new pattern of the relation between ‘ulama in one hand, and state in other. In this regard, the study of ’Ulama and State : Study of Relation between ‘Ulama and State in Indonesian Post-New Order is very interesting.

To make clear, it is important to formulate several questions concerning this matter. That is, what changes did the MUI do during period of reformation, both internally and externally? Are these changes significant enough to the relation pattern between MUI and state? What are the factors that give many influences to these changes?

B. Theoritical Framework

The theories used in this study are: Firstly, civil society. There are several definitions of civil society, but the relevant to this study is one that defines civil society as “Social life areas organized and characterized by among others: voluntary, self-generating, self-supporting, independence vis-à-vis state, and bounding with the norms or law values followed by its citizens".[16]

From this perspective, civil society actually exists in various institution among community beyond the state influences. The voluntary institutions, mass media, schools, political parties, until the organizations established firstly by government but serve for society. In this sense, then the MUI that established firstly by active involvement of state, can be defined too as a manifestation of civil society.

However, it is important to note that not all these institutions have a high authonomy or indenpence vis-à-vis the state. Therefore, the condition of civil society in its history must be understood as a process which undertakes a progress or setback.[17] This is the case of MUI. In the period of New Order, for instance, this 'ulama organization had many difficulties and troubles to keep apart from the government intervention. This reflected ini some attitudes, statements and fatwas issued by MUI that along with the government guidelines.

There is also meaning of civil society from Alexis de Tocquiville that suits to this study. It based on democracy experiences in United States. Civil society, according to him, has two functios; it has high political capacity to be balancing force and at the same time reflective force to reduce conflict within the community due to the modern social formation process.[18]

This model of civil society closely relevant to the case of MUI in reformation era. This is because, MUI with its historical burden has not pretention to be anti-thesis of state. On the contrary, MUI is expected only to broad the function of balancing force and reflective force among the umma.

Secondly, theory of corporatism. This theory firstly introduced by Philipe Schmitter. He stated that corporatism is a multiple effort to associate the state to to the society called statization of various activities of mass organizations, and privatization of several state affairs.[19]

This theory is relevant enough to relational pattern of MUI and state. As we knew that the New Order regime did any effort to consolidate and strengthen state position vis-à-vis society. One of these efforts is state corporatism. So, there were many mass organizations that actually brought the government ambitions. To say a few example, National Committee of Indonesian Youth for the youth people affairs, Sport Committee of Indonesia for sport affairs, of course ‘Ulama Council of Indonesia for religious affairs.

Thirdly, the theory that will used for this study is critical discourse analysis.[20] This theory emphasizes on the constelation of strength happening in the production process and meaning reproduction. It seems to be relevant to look at the significant changes by MUI, particularly the textual ones. To give an example, the change about the Statutes of MUI involves many sentences change, both omitted or substituted by new sentences. According to this theory, the change of sentence or text not only refers to the truth linguistically an sich, but has certain meanings beyond the texts, or may be said contains ideological content. This is because, a text never free from the ideology and has ability to manipulate the reader toward an ideology.[21]

There are a lot of model of critical discourse analysis theory, perhaps the suitable one to this study is the model from Teun A. van Dijk. The critical discourse analysis of this model has several elements: sometings as a theme or main idea called macro structure; how the scheme or the statements are constructed called superstructure; what is the meaning of the messages conveyed called micro structure; the meaning coming from the interrelation between sentences called semantic; and a diction or choosing of words called stylistic. These elements of critical discourse analysis will be used in analyzing, particularly the statements or recommendations issued by MUI during the reformation era. Of course, not all of these elements will be used.

From what described aboved, it seems that there is an determinant factor influencing on the changes by MUI in reformation era in term of its relation with the goverment. That is, political system change after falling of New Order regime. This factor would be an independent variable in this research. Meanwhile the relation of MUI and the goverment as a dependent variable.

Both variable can be explained as following:

First, the variable of political system change post-New Order. This means that there is a political liberalization which the citizens are given the freedom to express their aspiration so that come into existence a large number of political parties in Indonesia. Second, the variable of the MUI relation to the goverment. This means that there is a new relation pattern between both in the reformation era which the former serves as a critical rather than before. This relation patter evidenced by substantive changes concerning, for instance, to the Statutes of ist organization, and in many statements and recommendations issued by it currently.

C. Method of Research

C. 1. Type of Research

This research is qualitative. The qualitative method is a research procedure resulting in severals descriptive data, both written or oral of persons or observed behaviours. Here, the individu or organization must be regarded as part of whole.[22]

C. 2. Technique of Collecting Data.

The collecting of data is done through following steps:

a. Document analysis: in this step, the researcher analizes the available data, that is, the new Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT) of MUI; the statements or recommendations of MUI during reformation era; and also magazines, journals, or other relevant researchs.

  1. Interview: in this step, the researcher interviews some of MUI officials.
  2. Unstructured observation: here, the researcher observes directly but unstructured by observing various developments concerning this 'ulama organization.

C. 3. Technique of Analyzing Data

The data attained such as documents or result of interview will be analized through critical discourse analysis as mentioned above. It emphasizes more on interpretations, since by the interpretation one can understand the inside world, deeply understand texts and discover the meaning behind it.[23]

In such research, one can not avoid of subjectivity. When interpretating a text, the experience, cultural background of reseacher, education, political afiliation, even partiality gives impact on interpretation.[24] Therefore, the different researcher may ahieve the different discovery and interpretation.

The quality of research of this kind not measured by validity (do the research really measure what to be measured or known) and reliability (do the research with the same instrumen will produce the same results if done by different person, place and time). But, it will be judged a good or bad one, depends on how well this research pay attention to social, economical, political contexts, and the other comprehensive anayisis.

Because this research is qualitative, the analysis has been done since the early collecting of. In each stage, the documentations or results of interview and observation are organized into certain category, then interpretated so that the background of MUI changes in reformation era and its influences on the relation pattern of MUI and state can be described well.

C.4. Unit of Analysis

The first unit of analysis the dokument of the changes mady by MUI in reformation era, like the Statutes that introduced a new paradigm, and some statements and recommendations issued in this period. At a level of text, these various changes are analyzed. And at a level of process, it focuses on the backlground and setting of why these change took place.

The second unit of analysis is the key person through an interview Those who are interviewed are the main MUI officials such as Din Syamsuddin (a Secretary General), Umar Syihab (Chief person, H. Amidhan (Chief person), and H.A. Nazri Adlani (Chief person). Those persons are considered know much about all the changes made by MUI in this period.

D. The Result of Research

The results found in the field demonstrate that MUI has did many changes both internally and externally. These changes were influenced much by the change of political system in Indonesia after the falling of President Soeharto. The authoritarian government that insisted any consolidations, to say one example, state corporation to the society affairs almost 32 years unpredictability falled away in Mei 21, 1998.[25]

As a results, the Indonesian people now enter into new era. Many said it as a reformation era, although there are a few scholars who did not agree with it. Among the indicators of the reformation era is the emergence of political liberalization which to great extent provides the freedom to the citizen; freedom for speech, freedom for critic, freedom for gathering and so on.[26]

And this phenomenon finally brought about the flourishing of political parties. Among those emerging political parties are the socially Islamic origine. As the continuation of that social origine, as could be expected, we found the party that asserted as Islamic party. This especially true in a symbol and base of the party such as PBB and PKS. But we found also that parties that did not need to express it as the Islamic parties, although the public considered them as the Islamic ones. Including such a party are PKB and PAN.[27]

As the late Kuntowijoyo pointed out, there were ony 11 parties that clearly expressed its Islamic bases. These parties regarded that the only manifestation for Islam in political area is Islam as an ideology. And the notion of Islam as an ideology can be traced back to SI and Masyumi.[28]

The emergence of the socially Islamic origine parties at the national political constelation brought several questions, not only from outside Islam but form within Islam itself. All the questions are addressing on a heading that the political Islam has came back, while the cultural one was left.[29] Some regarded it as a repolitization of Islam. And another said that this phenomenon form a revivalism of political Islam.[30]

Regardless of this political situation and its judgment that commonly pejorative, if wee see from the civil society perspective, no doubt that we found –in Indonesian reformation era—a free space which gives any individual person or organization to express their aspiration without any fear or oppression from any body or state. And within this political atmosphere that the MUI shows a new performance concerning its relation to the state. This change, according to Din Syamsuddin –a general secretary of MUI—constitute a part of MUI responds to the socio-political development in the reformation era.[31] MUI begins, for instance, to point out the criticism and independence vis-à-vis state.

But this tendency does not mean that MUI wants to be an anti-thesis force vis-à-vis state, but it only plays a function of balancing force. In other words, this organization merely wants to be taken into consideration or consulted by government when faced with a large numbers of problems of umma. And in the same time, it really to play a main role among the umma as the best example (uswah hasanah) in spreading Islamic values; peace co-existence, tolerance, respecting each other etc. [32] And this reflects another function of civil society, that is, reflective force.

We can find other new tendency of MUI in several substantial changes in the Statutes of MUI known as “new paradigm”.[33] Here we will find, for instance, many redactional changes in the Statutes and its significant meaning and reasons. The sentences such as “…in order to realize a stable national defence…”, or “…to realize a welfare and just society based on Pancasila” are omitted. And the substitutions are “…in order to realize masyarakat madani (civil society) that emphasize the values of equality, justice and democracy. And Pancasila as a base of this organization was also substituted by Islam.[34]

If we analyze from the critical discourse analysis theory, that redactional changes made by MUI not without reason. As this theory pinted out, the change of sentence or text not only refers to the truth linguistically an sich, but has certain meanings beyond the texts, or may be said contains ideological content, the MUI option of masyarakat madani rather than civil society as well as Islam rather than Pancasila clearly has religious (Islam) tendency. It means, here, that this organization has not any fear to express its Islamic tendency.

And we find also the same tendency in the statements or recommendations issued by MUI in many cases, among other things, the statements on the riot in Halmahera, Ambon, Maluku; the statements on United States aggression to Afghanistan following the bombing of WTC building in New York, Septembre 11, 2001; statementes on Israel aggression to Yaser Arafat headquater in Ramallah, Palestine; and statements on United States aggression on Irak.

Here, again, MUI uses many bare sentences particularly if compare it to the its statements in New Order period. In the case of Maluku riot, for example, we found the sentences, such as “…the government has to do seriously and concretely to settle the Maluku riot… and reject foreign intervention”. And in the case of US aggression to Afghanistan, we found, “…the government has to put off temporally the diplomatic relationship with US governments and its allies…”. And in the case of Israel aggression, we found “…the zionis aggression to Palestine constitutes a real state terrorism...”

From a macro structure[35] perspective as an element of critical discourse analysis theory, it seems that MUI has great concerns to the problem of justice, humanity and democracy. Regardless to whom these deeds associated, all forms of anti-humanity actions such as aggression, terrorism, bombing, and so on should be condemned or cursed. But MUI called all the parties, in particular US govermenrt to do any verifications before reacting. That is why, although not agree with the bombing of WTC builing, but accusing directly to a certain person or organization (here, Osama ben Laden and al-Qaeda) without any verification, according to this 'ulama organization, constitutes an anti-humanity actions.

But in the same time, the Islamic tendeny also made MUI hold on partial attitudes toward or what typically called "right wing". Some observers said that it is a sectarian politic tendency. Here, for example, MUI used some tendencious words, such as "jihad fi sabilillah" (fight in the path of Allah) and "kafir harbi" (the unbelievers whom could be fighted) in its statements to the case of Maluku riot. For many, the use of this terms makes some fears because it reminds them to the "Islamic state".

E. Conclusion

As mentioned above, that MUI after falling of New Order regime demonstrates a new patter of its relation to the state. In corresponding with the emergence of politcal liberalization which to great extent provides a free space to each individu or organization, MUI tends to be critical and independent vis-à-vis state. In other words, there were many changes made by it in the reformation era. And this changes are reflected not only in the Statutes of MUI, but also in many statements or recommendations issued concerning many of umma problems in Indonesia.

But in the same time, we found also the other tendency of this organization as voicing the sectarian politic (Islam) at least in the eyes of the Islamphobist, such as the using of terms "jihad fi sablilillah" and "kafir harbi"

Dimuat dalam Jurnal Jauhar, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005.



[1] Study of ‘ulama in Indonesia largely emphasizes on their strategic roles among the society in the domain of social, politic, economy, education and so on. Only a litle of it focuses on their roles in the real or practical politic. See, for example, Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta, Rajawali Pers, 1983; Mahrus Irsyam, ‘ulama dan Partai Politik, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1984.

[2]. See, Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, penerj. Ahmadie Thaha, Jakarta, Lingkaran Studi Indonesia (LSI), 1987, p. 219.

[3] See, the interview of Kafrawi Ridwan, “Adanya MUI, Kehendak Pemerintah dan Umma”, Mimbar ‘ulama, N0. 263 Rabiul Awal 1421/Juli 2000, pp. 16-17.

[4] To see further about this matter, see, Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, Op. Cit., p. 220.

[5] To know about the existence of ‘ulama councils in some districts, see, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, Eleventh Edition.

[6] Perhap due to this reason that in this organization there is no instruction line from central MUI to MUI in Provinces, except the coordination line.

[7] See, 20 Tahun Majelis ‘ulama Indonesia, Jakarta, Majelis ‘Ulama Indonesia, 1995, p. 19.

[8] See, Martin Van Bruinessen, “Indonesia’s ‘ulama and Politics”, Prisma, No. 49, June 1990, p. 64.

[9] In addition to stigmaization in discrediting political Islam, the New Orde goverment also restructured the political parties by fusing them into two big parties; PPP and PDI. Thus, the political Islam can not do much in political area. To know more about it, see, for example, William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta, LP3ES, 1994, Second Edition, p. 5; Nasir Tamara, “Islam Under the New Order: A Political History”, Prisma, N0. 49, June 1990.

[10] Some of responsible of MUI are members of DPA (now, liquidated), suc as KH. Hasan Basri, Kafrawi Ridwan, MA, Prof. KH. Ibrahim Hossein.

[11] About the apologetical argumentations, see, 20 Tahun Majelis ‘Ulama Indonesia, Op. Cit. , p. 20.

[12] Among the Islamic umma, the government ‘ulama oftenly classified as “‘ulama su’”, the ‘ulama who does perform the goodness due to their subordination to the government.

[13] See, Dr. Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta, Pustaka Ciganjur, p. 34.

[14] See Fachry Ali, “Pasang Surut Peranan Politik ‘Ulama Sebuah Kerangka Hipotesa Struktural, Prisma, No. 4, April 1984, p. 20.

[15] Azyumardi Azra, “MUI: Proses Birokratisasi ‘ulama”, in Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999, p. 70.

[16] Muhammad AS Hikam, “Civil Society di Indonesia Sekarang dan Masa Mendatang” in Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, 1999, p. 3.

[17] Ibid.

[18] Ibid., p. 25.

[19] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Widya Sarana Informatika, 1999, hal. 104.

[20] Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKIS, 2003, Second Edition, p. 3.

[21] Drs. Alex Sobur, M.si, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2002, Second Edition, p. 60.

[22] Norman K. Denzin and Y.S. Lincoln, “Introduction: Entering the Field of Qualitative Research”, in Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research, London, Sage Publications, 1994, p. 25.

[23] Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Op. Cit., p. 61.

[24] W. Lawrence Newman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Boston: Allyn dan Bacon, 1997, p. 68.

[25] This accident called unpredictble due to the uncertainty of socio-political situation in Indonesia prior to that historical moment. In the beginning, the President Soeharto did not want to retire from his office, instead he planed to form the Reformation Council. But Harmoko, chief of DPR/MPR asked him to retire because of the demand of almost all the societies components. It made the situation increasingly uncertained. However, only in a few days, the smiling general retired, so that the people were very surprised as if they did not believed in it. To know more about this accident chronologically, see, for example, Hamid Basyaib, Agar Indonesia Tetap Bernyanyi Pergolakan Menjelang & Pasca Reformasi, Jakarta, Penerbit Lentera Basritama, 1998.

[26] A. Dahlan Ranuwihardjo, “Memasuki Abad Kedua Puluh Satu dengan Reformasi Paripurna”, in Tim KAHMI JAYA (eds.), Indonesia di Persimpangan Jalan Reformasi dan Rekonstruksi Pemikiran di Bidang Politik, Sosial, Budaya dan Ekonomi Menjelang Milenium Ketiga, Bandung, Mizan, 1998, Third Edition, p. 27.

[27] Bahtiar Effendy, “Fenomena Partai Islam” in Repolitisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000, p. 205.

[28] The-11 Islamic political parties are PUI, PKU, New Masyumi Party, PPP, PSII, PSII 1905, Masyumi, PBB, PK, PNU and PPP. See Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat Islam” in Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta, Alvabet, 1999, pp. 89-90.

[29] Study on political Islam versus cultural Islam done by many political rersearcher. See, for example, Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta, Logos, 2001.

[30] Eef Saefulloh Fatah, “Menuju Format Baru Politik Islam: Membangun Publik dan Oposisi”, in Zaman Kesempatan Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, Bandung, Mizan, 2000, p. 248.

[31] Interview with Prof. Dr. Din Syamsuddin in Pusat Dakwah dan Muhammadiyah Building, Septembre 30, 2001.

[32] Ibid.

[33] Interview with Drs. H. Amidhan in the office of MUI as Istiqlal Mosque, Septembre 7, 2001.

[34] See, Wawasan dan PD/PRT Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Sekretariat MUI, 2000, p. 1.

[35] Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Op. Cit., p. 5.