Rabu, 16 September 2015

Setelah Perombakan Kabinet (Koran Jakarta 14 Agustus 2015)

Oleh Iding Rosyidin*

Iding RosyidinPresiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) akhirnya merombak (reshuffle) kabinet. Ada lima menteri dan sekretaris kabinet yang diganti. Menko Polhukam Tedjo Adhy Purjiatno, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Adrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dipensiunkan.
Mereka diganti Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Polhukam, Darmin Nasution menjadi Menko Perekonomian, Rizal Ramli menduduki Menko Kemaritiman, Thomas Lembong menjabat Menteri Perdagangan dan Pramono Anung selaku Sekretaris Kabinet. Sementara Sofyan Djalil digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Isu perombakan kabinet telah lama mengemuka. Hal ini dipicu antara lain persoalan ekonomi yang tidak kunjung membaik sampai hampir satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Indikator paling kasat mata menurunnya kinerja ekonomi karena nilai tukar rupiah yang kian melemah terhadap dolar AS. Belakangan nilainya makin melemah mendekati 14.000 rupiah per 1 dolar AS.
Bukan rahasia lagi, soliditas kabinet ini tidak terlampau kuat. Koordinasi kerja antarmenteri kerap tidak sinkron di mata publik. Yang paling menghebohkan ketika diduga salah seorang menteri menjelek-jelekkan presiden di tempat umum. Apakah perombakan kabinet cukup tepat untuk mengatasi berbagai masalah tadi? Dari sisi kenerja ekonomi, Menko Perekonomian Sofyan Djalil sejak awal memang dianggap tidak mumpuni karena latar belakang dan pengalamannya di bidang ekonomi kurang begitu kuat. Darmin Nasution penggantinya mungkin dianggap lebih mampu karena sebagai mantan Gubernur BI. Dia tentu menguasai masalah moneter, apalagi problem yang tengah dihadapi sekarang kemerosotan nilai tukar rupiah.
Kehadiran Rizal Ramli mungkin bisa menjadi sesuatu yang positif. Mantan menko perekonomian di zaman Pemerintahan Abdurrahman Wahid itu dikenal memiliki kemampuan kuat dalam bidang ekonomi. Meskipun ditempatkan sebagai Menko Kemaritiman, pengalamannya sebagai menko akan cukup membantu. Selain itu, aspek ketokohan Rizal Ramli akan menjadi poin tersendiri untuk kabinet kerja pascaperombakan. Secara psikologis, efeknya terhadap pasar cukup baik.
Hanya, mungkin yang menjadi pertanyaan banyak pihak ditunjuknya Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Rachmat Gobel. Sebagai pengusaha muda, kapasitasnya masih dianggap belum memadai untuk mengatasi masalah-masalah perdagangan nasional.
Andi Widjajanto diganti Pramono Anung bisa menjadi salah satu perekat soliditas kabinet kerja. Santer diketahui bahwa terjadi kerenggangan hubungan antara Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Megawati Soekarnoputri) dalam waktu-waktu terakhir. Jokowi diberitakan mulai jarang berkonsultasi dengan Mega, sehingga hubungan keduanya semakin menjauh.
Menurut PDIP, penyebab renggangnya hubungan Jokowi- Mega adanya orangorang di sekitar Jokowi yang sengaja membatasi gerakan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu untuk bertemu Mega. Dalam bahasa Ketua Umum PDIP, mereka adalah orang-orang yang menyalip di tikungan. Ironisnya, orang-orang yang dituding tersebut nota bene adalah orangorang yang sebelumnya didukung PDIP seperti Andi Widjajanto.
Dalam konteks inilah, kehadiran Pramono Anung merupakan petanda positif. Dia dikenal sebagai tokoh lama PDIP dan mampu mengartikulasikan berbagai tema. Dia juga dekat dengan Mega. Pramono bisa menjadi jembatan penghubung yang tepat antara Jokowi dan Mega. Bagaimanapun Jokowi tidak bisa mengabaikan Mega karena PDIP-lah pengusung saat pemilihan presiden.

Koordinasi
Persoalan lain yang mesti diselesaikan adalah koordinasi kabinet. Jokowi harus mau mengubah gaya kepemimpinannya supaya koordinasinya berjalan lancar. Kebiasaannya blusukan mungkin perlu ditinjau ulang. Tentu bukan karena dianggap tidak baik, hanya mesti dilihat efektivitasnya.
Indonesia adalah sebuah negara, bukan provinsi, apalagi kabupaten atau kota. Cakupan geografinya sangat luas dan otomatis permasalahannya jauh lebih melimpah. Karena itu, blusukan tidak akan terlalu bermakna kalau terlalu sering dilakukan. Mungkin sesekali saja dilakukan pada tempat-tempat yang memang mendesak sekali untuk dilihat secara langsung.
Mungkin karena kebiasaannya itu Jokowi pada akhirnya kesulitan untuk koordinasi kabinet dengan baik, bahkan dengan wakilnya. Dalam beberapa kasus antara Jokowi dan JK sendiri terdapat perbedaan pendapat yang sayangnya tersajikan di tengah publik. Dalam masalah PSSI, misalnya, Jokowi dan JK memberi pernyataan berbeda. Jokowi cenderung setuju pembekuan, sedangkan JK sebaliknya. Dari sisi komunikasi organisasi, jelas ini sangat tidak baik.
Selain itu, Jokowi sendiri mesti memperbaiki perfoma komunikasinya di hadapan publik. Ia kerap kali membuat blunder dalam berkomunikasi. Salah menyebut tempat kelahiran proklamator Indonesia Bung Karno hanyalah satu dari sekian kekeliruan yang harus segera dibenahi.
Dari perspektif komunikasi, ini bisa mengurangi kredibilitas sebagai komunikator. Padahal kredibilitas, menurut Aristoteles dalam Rhetoric-nya merupakan salah satu faktor utama dari ethos komunikator. Begitu kredibilitas merosot, seorang komunikator akan sulit dipercaya publik. Jika tidak segera diperbaiki, kredibilitas Jokowi bisa bernasib begitu.
Terlepas dari itu semua, pascaperombakan kabinet pemerintahan Jokowi-JK harus segera bekerja keras terutama untuk mengatasi masalah ekonomi. Nilai tukar rupiah harus segera distabilkan karena inilah masalah yang paling rentan untuk merembet ke bidang-bidang lain.

Penulis Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam Kolom Opini Koran Jakarta, Jumat 14 Agustus 2015 dan bisa diakses di

NU Setelah Bermuktamar (REPUBLIKA, 8 Agustus 2015)

NU Setelah Bermuktamar
Sabtu, 08 Agustus 2015, 16:13 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur, telah berakhir. KH Aqil Said Siroj kembali terpilih sebagai ketua Tanfidziyah PBNU untuk periode 2015-2020.

Said Aqil Siroj memperoleh dukungan 287 suara yang disusul oleh KH As\'ad Ali dengan 107 suara, dan yang terakhir KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang menda patkan 10 suara. Sementara, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang juga terpilih kembali menjadi rais aam tidak bersedia mengemban amanat tersebut dan digantikan oleh KH Ma'ruf Amin.

Berakhirnya Muktamar ke-33 NU tidak serta-merta membuat persoalan menjadi selesai. Justru yang tampak mengemuka adalah munculnya berbagai persoalan yang berpotensi menjadi ancaman kohesivitas organsiasi sosial-keagamaan terbesar di In - donesia ini. Inilah residu yang kerap kali hadir setiap kali sebuah perhelatan besar semacam muktamar atau kongres diselenggarakan.

Bak partai politik, sejak awal penyelengga raannya muktamar yang diselenggarakan di tempat para pendiri NU ini memang terkesan sangat gaduh. Pembukaan dan beberapa sidang pleno mengalami penundaan karena kerap tidak mencapai kesepakatan di kalangan muktamirin. Hal ini terutama terkait dengan pembahasan sistem utama pemilihan pimpinan NU yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi(AHWA).

Sistem AHWA ini merupakan model representasi di mana orang-orang yang terpilih menjadi anggota AHWA saja yang berhak memilih. Dengan demikian, tidak semua anggota muktamirin berhak memberikan suaranya.

Sistem AHWA inilah yang kemudian menjadi puncak persoalan karena tidak semua pihak sepakat. Bagi para penolaknya, AHWA merupakan bentuk rekayasa politik dari rezim pimpinan NU sekarang. Tak kurang Gus Solah sebagai seorang calon ketua Tanfidziyah PBNU secara terang-terangan menuduh adanya unsur rekayasa untuk memaksakan pemilihan dengan sistem AHWA.

Tuduhan tersebut agaknya cukup beralasan jika melihat perjalanan bagaimana sistem AHWA kemudian diterapkan dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang. Sistem ini ternyata telah dipersiapkan jauh-jauh hari atau pada masa pramuktamar. Bahkan, pada saat pendaftaran muktamar, para peserta diminta untuk mengisi formulir kesediaan untuk menggunakan sistem AHWA dalam muktamar.

Munculnya kelompok-kelompok yang menentang sistem AHWA yang kemudian bermetamorfosis menjadi penolak hasil muktamar jelas merupakan buntut dari penerapan sistem tersebut. Mereka bahkan mengancam akan melalukan muktamar tandingan jika dalam waktu selama tiga bulan ke depan hasil muktamar tidak segera ditinjau ulang.

Potensi perpecahan bukan tidak akan terus bergulir jika tidak segera disikapi secara bijak oleh pimpinan NU terpilih. Apalagi mereka yang merasa kecewa terhadap hasil muktamar adalah para pendukung Gus Solah yang kalah. Lebih-lebih kekalahan Gus Solah terjadi di "rumah"-nya sendiri, tempat di mana ia tumbuh besar bersama para pendiri NU. Tentu kekalahan tersebut terasa cukup menyakitkan terutama di kalangan para pendukungnya.

Inilah pekerjaan rumah terbesar yang mesti diatasi oleh KH Said Aqil Siroj bersama KH Ma'ruf Amin agar soliditas dan kohesivitas NU tetap terjaga dengan baik. Keduanya sebaiknya melakukan akomodasi terhadap kelompok Gus Solah dengan merangkul mereka dalam kepengurusan maupun dalam bentuk lainnya.

Ketidakbersediaan Gus Mus untuk dipilih kembali sebagai rais aam mesti dipahami sebagai sebuah "warning" oleh duet KH Said Aqil Siroj-KH Ma'ruf Amin bahwa memang ada sesuatu yang menggelisahkan hati beliau di dalam tubuh NU. Apalagi ketidak sediaannya itu dibarengi oleh pernyataan Gus Mus yang cukup memperlihatkan bahwa ada masalah besar yang tengah mendera NU.

Independensi
Persoalan lain yang patut menjadi perhatian serius adalah masalah independensi NU. Dalam konteks ini, independensi dapat dilihat dalam kaitannya dengan partai politik dan pemerintah. Pergelaran muktamar kali ini, meski dari awal dikesankan bebas dari kepentingan politik, di mana panitia mencopot semua spanduk dukungan terhadap calon- calon pimpinan di area sekitar mukatamar, tapi aroma politik sulit diabaikan.

Muncul dugaan bahwa selama muktamar banyak orang partai politik yang disusupkan ke dalam muktamar untuk memengaruhi para muktamirin. Jika dugaan ini benar tentu ke depan bakal ada konsesi-konsesi antara NU dan partai politik tersebut. Bagi sebuah ormas sosial-keagamaan, kecenderungan tersebut tentu sangat memprihatinkan.

Dalam kaitannya dengan pemerintah, masalah independensi NU juga bisa dipertanya kan. Meski secara personal, KH Said Aqil Siroj mendukung Prabowo Subianto pada saat Pilpres 2014 yang lalu, tetapi secara umum NU relatif dekat dengan pemerintah.

Jika sinyalemen yang menyebutkan banyaknya orang partai politik tertentu yang masuk dalam muktamar benar, maka kemungkinan besar NU makin dekat dengan pemerintah. Apalagi muktamar dibuka oleh Presiden Joko Widodo dengan menggunakan sarung dan peci yang merupakan "pakaian khas" orang-orang Nahdliyin. Secara semiotika, hal tersebut dapat dimaknai sebagai simbol kedekatan atau kemesraan antara NU dan pemerintah. Dalam situasi seperti inilah independensi akan menjadi persoalan.

IDING ROSYIDIN
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jumat, 31 Juli 2015

SBY (tidak) Sama dengan SBY, Pikiran Rakyat 13 Mei 2015

SBY (Tidak) Sama dengan Mega
Oleh: Iding Rosyidin
Description: C:\Documents and Settings\lenovo\Local Settings\Temporary Internet Files\Content.Word\DSCN0833.jpg
            Jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersedia kembali dicalonkan untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres di Surabaya bulan Mei ini, maka hampir pasti tidak akan terbendung. SBY jelas masih merupakan simbol dan ikon dari partai yang berlambang logo mobil merci tersebut yang sulit ditandingi. Dengan kata lain, tanpa harus bersusah-payah pun SBY akan dengan mudah menjadi ketua umum.
            Sebagai pendiri Partai Demokrat SBY telah menjadi tokoh paling penting dari partai politik yang pernah berkuasa tersebut. Magnet dan daya tarik SBY tampaknya masih tetap kuat di internal Demokrat sehingga kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Ia tetap menjadi sosok utama yang dapat melakukan kohesivitas Partai Demokrat yang belum akan tergantikan mungkin dalam waktu beberapa lama.
            Dalam beberapa hal, keberadaan SBY di Partai Demokrat sama dengan kedudukan Megawati Soekarnoputeri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Keduanya dipandang sebagai tokoh pemersatu dan perekat semua faksi politik yang berada di partainya masing-masing. Eksistensi keduanya menjadikan tokoh-tokoh lainnya hampir tidak terlihat atau tidak dapat muncul ke pentas.
            Jika Mega telah maju dan terpilih kembali untuk menjadi Ketua Umum PDIP secara aklamasi, apakah SBY juga akan melakukan hal yang sama? Pertanyaan ini menjadi menarik ketika sejumlah elite Demokrat, terutama yang dikenal sebagai loyalis SBY, rajin menyuarakan ke publik bahwa suara-suara arus bawah seperti yang direpresentasikan sejumlah DPC Demokrat menghendaki agar SBY bersedia dicalonkan kembali sebagai Ketua Umum Demokrat.

Ujian Kenegarawanan
Jika kemudian SBY tergoda untuk maju kembali sebagai calon ketua umum dan bersedia dipilih secara aklamasi seperti halnya Mega, peluangnya memang sangat besar. Tetapi jika langkah itu yang diambil SBY, ada banyak persoalan yang justeru tidak menguntungkan bagi SBY sendiri secara personal.
            Selain akan dipandang tidak konsisten dengan janjinya yang hanya akan mengawal Demokrat sampai kongresnya yang sekarang ini, sisi kenegarawanan SBY juga akan dipertanyakan publik. SBY yang sudah pernah menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode dan dalam beberapa hal dianggap cukup berhasil tentu bisa turun derajat kenegarawanannya jika ia mau “merendahkan” dirinya dengan kembali menjadi ketua umum.
            Justeru sekaranglah saatnya SBY memperlihatkan kepada publik bahwa ia bisa menjadi tokoh nasional atau guru bangsa yang melampaui semua kepentingan parsial partai-partai politik. Ia sudah harus berani keluar dari belenggu-belenggu sempit yang hanya akan mengerdilkan dirinya dalam kerangkeng partai politik.
            Apalagi SBY selama ini dikenal sebagai pemikir politik yang cukup besar. Sekalipun berasal dari dunia militer, tetapi ia bukanlah militer yang banyak bergerak di lapangan pertempuran, melainkan lebih sering berkutat dalam pemikiran. Pengalamannya sebagak Kassospol ABRI di masa lalu menjadi bukti yang tidak dapat dibantah.
            Oleh karena itu, yang diperlukan dari SBY sekarang ini adalah gagasan-gagasan politik besar untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia ke depan. Sebagai pendiri partai yang kemudian dinamainya dengan Demokrat, tentu SBY memiliki pandangan dan gagasan besar tentang nilai-nilai demokrasi yang dijunjungnya. Maka, kalau ia hanya menjadi ketua umum, selain dianggap tidak demokratis karena akan menutup ruang gerak kader-kader potensial lainnya, juga ruang gerak pemikiran demokrasinya sendiri menjadi terbatas.
            Dengan kata lain, bagi SBY wadah yang bernama partai politik sebenarnya terlalu kecil untuk dijadikan tempatnya berkiprah dalam politik Indonesia. Ada banyak ruang atau forum besar lainnya yang lebih tepat bagi SBY untuk melanjutkan perjuangannya sebagai tokoh bangsa.
            Di sinilah terletak ujian yang sesungguhnya bagi SBY. Apakah ia akan tergoda oleh bujukan-bujukan politik yang senantiasa dihembus-hembuskan oleh para loyalisnya agar bersedia kembali menjadi Ketua Umum Demokrat ataukah tidak. Jika tergoda, maka SBY tidak lebih seperti Mega di PDIP yang senantiasa “dimitoskan” bahwa kalau orang lain yang memimpinnya, PDIP akan hancur.
            Tetapi jika pada akhirnya SBY mampu berpikir jernih dan lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, maka kebesarannya sebagai tokoh politik nasional akan tetap terjaga. Ia tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh politik lain semacam Mega atau mungkin Aburizal Bakrie (ARB) di Golkar yang mudah dibujuk rayu oleh para loyalisnya.
            Tentu semuanya berpulang kepada SBY sendiri. Apakah ia akan memilih sama dengan Mega atau sebaliknya mengambil sikap yang berbeda dengannya. Masih ada waktu bagi SBY untuk memertimbangkannya.
 
*Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute.

Description: NPWP


               




Pilkada Untuk Rakyat, Suara Pembaruan Kamis 30 Juli 2015

Pilkada Untuk Rakyat
Oleh: Iding Rosyidin
Description: Description: Description: C:\Documents and Settings\lenovo\Local Settings\Temporary Internet Files\Content.Word\DSCN0833.jpg
            Tidak berlebihan kalau disebutkan bahwa pemilihan umum baik pada level nasional maupun lokal sebagai pesta atau hajatan demokrasi. Pasalnya pada momen itulah partisipasi rakyat benar-benar dapat dirasakan dan dilihat secara langsung. Bahkan kegembiraan demokrasi sungguh dapat dinikmati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Pemilu atau pilkada sesungguhnya memang untuk rakyat.
            Kini kegembiraan demokrasi tersebut terancam. Pasalnya di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain di Kota Surabaya, pilkada serentak ternyata tidak begitu menarik perhatian bagi para calon kepala daerah. Alhasil, sampai waktu pendaftaran ditutup kontestan pilkada serentak hanya satu pasangan, yakni Petahana Tri Rismaharini yang kali ini berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana.
            Malangnya, kalau sampai pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal, maka penundaan ke pilkada berikutnya menjadi pilihan. Dalam Peraturan KPU No. 12 disebutkan bahwa jika hanya ada satu pasangan calon, maka waktu pendaftaran calon akan diundur selama tiga hari. Jika setelah waktu tambahan tidak juga ada pasangan calon lain, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada periode berikutnya.
            Apakah bijak keputusan menunda pilkada gegara diikuti oleh hanya satu calon pasangan atau calon tunggal?            Haruskah kegembiraan demokrasi yang tengah dinanti rakyat diulur sampai dua tahun dengan asumsi pilkada serentak tahap pertama 2015 dan berikutnya 2017?

Sebuah Hajatan
            Satu hal yang mesti ditekankan adalah bahwa pemilu atau pilkada adalah sebuah hajatan untuk rakyat, bukan untuk pemimpin. Kalau kemudian di sebuah daerah pilkada serentak hanya diikuti oleh satu pasangan calon, maka hal itu tidak ada kaitannnya dengan rakyat sebagai pemilih. Rakyat tetap dapat memilih meskipun hanya ada calon tunggal. Jangan sampai hak itu dibajak oleh pemerintah atau penyelenggara pilkada atas nama peraturan atau undang-undang.
Selain itu, tuduhan dari sementara kalangan yang menganggap pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal sebagai tidak demokratis bahkan berbahaya bagi demokrasi agaknya terlalu berlebihan. Hal ini seperti dikatakan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang mengkhawatirkan bakal adanya skenariosasi calon tunggal oleh kelompok tertentu di pilkada-pilkada berikutnya.
Memang mungkin saja hal itu bisa saja terjadi, tetapi bukan berarti tidak dapat dicegah. Asal semua proses pilkada dilakukan secara demokratis dan transparan, termasuk menerapkan prinsip Luber dan Jurdil, maka potensi tersebut dapat dihadang. Di samping itu, pengawasan dari publik dapat pula dimaksimalkan sehingga skenario tersebut terdeteksi sejak dini.
            Oleh karena itu, tidaklah arif dan bijaksana untuk menunda pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Hemat penulis, sebaiknya pilkada tetap diselenggarakan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama meskipun pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon semua proses pilkada dapat berlangsung normal. Sosialisasi, kampanye bahkan debat pun bisa saja tetap dilakukan, misalnya dalam bentuk tanya jawab antara calon dengan para pakar di bidangnya. Meski tidak semarak jika hal itu dilakukan dengan banyak kontestan, tetapi tetap saja bisa menarik perhatian.
            Kedua, penundaan pilkada hanya karena ada satu pasangan calon belum tentu juga dapat memberikan jaminan munculnya pasangan-pasangan lainnya. Bagaimana kalau pilkada ditunda sampai periode pilkada berikutnya sementara pasangan calon tidak juga bertambah, apakah kemudian akan ditunda sampai pilkada berikutnya? Dan jika tidak juga bertambah, apakah seterusnya akan mengalami penundaan?
            Ketiga, penundaan pilkada jelas akan membuat publik kecewa. Di satu sisi, mereka sudah memiliki persiapan untuk berpartisipasi politik dalam pilkada dalam rangka memilih pemimpin mereka, tetapi di sisi lain, mereka ternyata tidak jadi menyalurkan partisipasinya tanpa ada jaminan kejelasan kapan mereka benar-benar akan turut berpartisipasi.
            Keempat, bukan tidak mungkin penundaan pilkada itu justeru merupakan skenario politik dari partai-partai politik tertentu. Seperti diketahui ada partai politik yang memang menginginkan penundaan pilkada karena tengah menghadapi konflik internal yang belum terselesaikan. Kalau pilkada benar-benar ditunda mungkin mereka akan bertepuk tangan. 
            Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka pihak penyelenggara pilkada, dalam hal ini KPUD harus berpikir kembali akan keputusan untuk menunda pilkada ke pilkada berikutnya jika hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau calon tunggal.

Mekanisme Lain
            Memilih pemimpin dengan calon tunggal sebenarnya bukan hal yang aneh. Justeru dalam konteks Indonesia model pemilihan semacam ini sudah ada preseden yang bisa dijadikan perbandingan, yaitu dalam pemilihan kepala desa (pilkades) yang telah berlangsung lama.
            Dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah di Indonesia ketika hanya diikuti oleh satu calon atau calon tunggal pemilihan tetap diselenggarakan sebagaimana mestinya. Hanya saja dibuat aturan main. Misalnya calon harus dapat memeroleh 60 persen suara warga desa baru dia terpilih secara sah menjadi kepala desa. Jika tidak, pemilihan diulang.
            Mekanisme pemilihan calon tunggal semacam ini tidak ada salahnya jika diadopsi ke dalam pilkada. Jadi, pilkada tetap dilaksanakan sekalipun hanya ada satu pasangan calon yang menjadi kontestan. Masalah besaran prosentase suara yang mesti diraih pasangan calon tunggal tersebut dapat dibahas bersama-sama. Jika tidak sampai memenuhi prosentase itu, baru pilkada diulang atau ditunda.
            Mekanisme yang sangat sederhana namun elegan ini tampaknya cukup tepat untuk dijadikan solusi dari muncunya pasangan calon tunggal di sejumlah daerah di Indonesia. bisa saja cara mengubah isi pasal di UU Pilkada dengan dikeluarkannya Perppu oleh pemerintah. Sepanjang untuk kebaikan bersama, hal itu pasti akan mendapat dukungan publik.
            Dengan demikian, selain pemerintah melalui pihak penyelenggara tetap dapat melaksanakan pilkada serentak sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan, yang paling penting pemerintah tetap mampu memberikan kegembiraan demokrasi bagi rakyat. Sekali lagi, pemilu atau pilkada sesungguhnya adalah hajatan demokrasi untuk rakyat.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta




Tantangan Rhoma, Koran Sindo Rabu 22 Juli 2015

Tantangan Rhoma
Oleh: Iding Rosyidin
            Tiba-tiba Raja dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di penghujung bulan Ramadhan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam, Damai, dan Aman).
Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah digadang-gadang sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014 yang lalu.Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.
Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?

Menjual Rhoma
            Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara memeroleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk pasarnya semakin membesar.
            Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.
            Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadi Rhoma Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan, umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.
            Atas dasar popularitasnya itu Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.
Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah Ketua Umum ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan.
PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu. Dalam konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski popularitasnya sangat tinggi dengan julukan da’i sejuta umat karena massa yang selalu berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.

Faktor Diferensiasi
            Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakterisktik pembedanya yang jelas.
Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang ditargetkan. Masalahnya faktor diferensiasi inilah yang justeru menjadi salah satu problem besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antar satu dengan yang lain tidak terdapat diferensiasi yang signifikan.
Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat, misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya. Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman,  jelas tidak akan dapat lepas dari problem tersebut.
Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya. Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman akan berhadapan vis-à-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah memiliki basisnya masing-masing.
            Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di kalangan umat Islam Indonesia.
Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan. Demikian pula tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka untuk semua pihak, termasuk kalangan non-Muslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu memicu konflik internal di antara para kader.
Karena itu, meskipu secara teoretis mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya sulit dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu. Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam, seperti PKB dan PAN.
Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui secara terang-terangan, tetapi sulit disangkal kebenarannya. Dari penjelasan tersebut, jelas tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan ceruk pasarnya.
Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah tersebut ataukah tidak. Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah partai pendatang ini ke depan.
Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang matang, maka boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar ekspresi kekecewaan sulit dibantah.
           
Penulis, Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

              

Rabu, 25 Februari 2015

Solusi Eelegan Jokowi? (Koran Sindo 20 Pebruari 2015)

Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.
Rabu sore (18/02) kemarin Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai penggantinya, yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri.
            Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad (AS) dan Bambang WIdjojanto (BW) diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi menunjuk tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK, yaitu Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK.

Win-Win Solution
            Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai Kapolri baru. Namun ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justeru membatalkan pelantikan BG dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.
Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif teori negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam quadran kolaboratif, yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini Polri dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-sama mendapatkan keuntungan dan pada saat yang sama juga terhindar dari kerugian atau potensi buruk yang kemungkinan didapatkannya.
            Bagi BG secara personal, meskipun keputusan Jokowi terlihat merugikan karena kesempatan menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang, tetapi sebenarnya dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan praperadilan, tetapi bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya.
Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur penetapannya oleh KPK, bukan substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika prosedur penetapan diperbaiki kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka. Sekalipun BG dilantik menjadi Kepala Polri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan tersangka.
Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian menjadi tersangka. BG sendiri tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar-benar terjadi. Bagi polri secara kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga menguntungkan.
Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus berlanjut karena bukan tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik kelembagaan tersebut telah banyak menguras energi, tenaga dan pikiran yang sia-sia, bahkan mengancam matinya proses penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik, diharapkan bisa menjadi pereda suasana ketegangan itu. Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya terancam menjadi tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan, KPK bakal pulih kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai plt pimpinan sehingga lembaga ini dapat berjalan secara sempurna.
Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan normal karena dua orang pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka. Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada komisioner KPK yang dirugikan secara personal, yakni AS dan BW. Namun karena undang-undang sendiri menyatakan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus nonaktif, maka tidak ada jalan lain bagi mereka berdua selain nonaktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi kedua komisioner nonaktif tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mereka berdua boleh “mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.

Dukungan Publik
            Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak positif yang besar baginya, terutama terkait dengan dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik selama ini tampaknya lebih condong pada pembatalan pelantikan BG. Dengan kata lain, publik lebih memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam hal penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi.
Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka terhadap KPK tetap tidak surut. Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan Wali Kota Solo itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik ini.
Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, tetapi setidaknya dengan membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan antara kedua lembaga penegak hukum tersebut. Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait langkah Jokowi di atas adalah mampunya sang presiden keluar dari tekanan-tekanan dari elite-elite partai politik, khususnya yang berada di dalam KIH.
Selama ini, Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan itu sehingga berbagai keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite politik tersebut ketimbang kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih mendengarkan aspirasi publik dan lebih mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Independen atau Tim 9 yang dibentuknya sendiri.
Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendasikan oleh tim yang dipimpin oleh Buya Syafi’i Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat diapresiasi publik. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas keputusannya tersebut adalah reaksi DPR.
DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik bahkan sebelum proses praperadilan selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih merusak kewibawaan lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena keputusannya yang menyetujui BG sebagai calon Kapolri tidak digubris oleh Jokowi.

            Namun Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain telah mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota dewan tidak bisa begitu gegabah untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama dengan elite-elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa melenggang aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi yang elegan.   

Menimbang Keputusan Jokowi (Pikiran Rakyat, 18 Pebruari 2015)

Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan gugatan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG) seperti yang dibacakan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada Senin 16/02 kemarin. Dengan kemenangan berada di pihak calon tunggal Kapolri tersebut status tersangka BG yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Januari lalu otomatis dibatalkan. Karena secara tegas hakim memutuskan penetapan tersangka BG tidak sah. Kenyataan ini pada gilirannya membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhir-akhir ini terus didesak untuk segera membuat keputusan terkait BG seolah tidak punya pilihann lain kecuali melantiknya sebagai Kapolri baru. Hal ini karena dengan tidak sahnya status penetapan BG sebagai tersangka sebagaimana diputuskan hakim, BG dianggap tidak lagi memiliki masalah hukum. Dengan kata lain, BG telah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi Kapolri. Namun demikian, meski di atas kertas Jokowi tinggal menindaklanjuti hasil proses praperadilan dengan melantik BG, agaknya tidak cukup mudah baginya untuk melakukan hal tersebut. Setidaknya ada dua persoalan yang kemungkinan besar dapat menjadi ganjalan atau kerikil tajam bagi Jokowi ke depan dengan mematuhi keputusan hakim di praperadilan tersebut. Pertama, terkait sentiment publik di mana pada umumnya publik menilai BG memang memiliki masalah cacat hukum sehingga tidak layak menjadi orang nomor satu di jajaran polri. Opini publik tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pengalaman selama ini bahwa orang-orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka belum pernah ada yang bebas begitu saja, bahkan biasanya berakhir di penjara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rekam jejak (track record) yang dimiliki KPK jauh lebih baik dari lembaga-lembaga penegak hukum lainnya di Indonesia seperti kepolisian dan kejaksaan. Hanya lembaga inilah yang mampu melakukan pemberantasan korupsi dan menangkap para koruptor bahkan di lingkaran elite kekuasaan. Tidak ada ceritanya seorang menteri di negeri ini ditangkap dan dipenjarakan kecuali setelah ada lembaga ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau mayoritas publik Indonesia berada di belakang KPK dalam kisruh Polri-KPK terkait penetapan BG sebagai tersangka. Sekalipun kini status tersangka BG dicabut hakim praperadilan, tetapi diyakini bahwa publik tetap akan mendukung KPK. Kenyataaan inilah yang nanti bakal dihadapi Jokowi dan berpotensi mengganggu pemerintahannya nanti. Kedua, secara substansi hukum sebenarnya BG belumlah aman. Kemenangan yang berada di pihaknya lebih pada aspek prosedur dan mekanisme hukum penetapan seseorang sebagai tersangka. Artinya, yang dimenangkan oleh hakim praperadilan adalah soal proses penetapan, bukan subtansi tindak pidananya. Oleh karena itu, bisa saja jika prosedur penetapannya diperbaiki, BG akan kembali menjadi tersangka. Oleh karena itu, jika Jokowi melantik BG sebagai Kapolri, sama saja dengan menanam sesuatu yang bermasalah. Jokowi tentu akan dipersalahkan publik karena dianggap tidak konsisten dengan pemilihan pejabat publik yang selama ini sering diungkapkannya. Yakni, tidak akan memilih orang yang bermasalah secara hukum atau orang yang berpotensi bermasalah. Dari sudut ini, BG jelas termasuk orang yang berpotensi memiliki masalah hukum ke depannya. Menyelamatkan KPK Selain itu, ada hal lain yang harus dipertimbangkan Jokowi terkait pelantikan BG, yakni soal nasib KPK. Mungkin sebagian kalangan berpandangan bahwa dengan kemenangan BG dalam proses praperadilan, KPK berada di pihak yang salah. Kemudian mereka berusaha membangun opini publik tentang kesalahan KPK sehingga pada gilirannya kredibilitas lembaga ini akan merosot. Tentu hal tersebut sangat disayangkan kalau benar-benar terjadi. Oleh karena itu, Jokowi harus mempertimbangkannya sematang mungkin sebelum mengambil keputusan yang sangat penting ini. Jika pun pada akhirnya Jokowi tidak memiliki jalan lain kecuali melantik BG sebagai Kapolri, maka hendaknya mantan Gubernur DKI tersebut berusaha untuk menyelamatkan KPK. Salah satunya adalah dengan cara “menghentikan” proses pengaduan hukum para komisioner KPK yang agaknya terlalu mengada-ada. Kasus penetapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, misalnya, kelihatan sekali seperti dipaksakan bahkan tampak seperti upaya balas dendam. Demikian pula pengaduan hukum atas Ketua KPK Abraham Samad yang sesungguhnya lebih berada di wilayah etika ketimbang tindak pidana. Dengan kedudukan dan kewenangannya sebagai presiden, tentu Jokowi dapat melakukan hal tersebut. Dalam konteks ini, Jokowi dapat melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait. Intinya, Jokowi harus berusaha agar jangan sampai kemenangan BG itu dimaknai sebagai kejemawaan polri terhadap KPK, sehingga KPK kemudian berada di pihak yang disudutkan. Inilah yang harus benar-benar dipertimbangkan Jokowi jika benar-benar ia melantik BG sebagai Kapolri.